must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 26 April 2009

Andar, Jangan BHP!

Oleh: Yana Yan*)

Terik Sang Surya mulai membuatku gusar. Peluh sudah tak sanggup kubendung. Ia kini tumpah membasahi jidat dan beberapa bagian tubuhku. Dan aku kembali mengusapnya, entah untuk yang keberapa kalinya.
“Hidup mahasiswa!!! Hidup mahasiswa!!!”
Aku menoleh, kutemukan segerombolan mahasiswa tengah memadati sisi kanan jalan menuju gedung rektorat kampusku. Sesekali terdengar teriakan-teriakan lantang dari Sang Orator yang terus membahana di ruang dengarku.
“Lagi demo ya Dik?” seorang wanita setengah baya tiba-tiba melontarkan pertanyaan untukku.
Udah tahu nanya! Aku bergumam dalam hati.
Aku menyumbangkan senyum manisku untuknya, lalu kuberikan sebuah anggukan, sebagai simbol tanda setujuku.
“Demo apa ya Dik?” lagi-lagi Ibu itu mengejar tanya.
“Ah,, Ibu ini,” batinku. Lalu kujawab pertanyaannya tadi dengan menggelengkan kepalaku. Dan akhirnya, Ibu itu diam. Mungkin karena sudah paham dengan kondisiku.
Angkot yang kutumpangi tiba-tiba berhenti. Padahal tidak biasanya angkot akan berhenti di jalan ini. Aku dan Ibu tadi saling berpandangan.
“Kenapa berhenti Pak?” seorang gadis berjilbab tepat di samping Ibu tadi akhirnya angkat bicara.
“Sepertinya kita tidak bisa lewat di jalan sana. Ada demo. Mahasiswa-mahasiswa itu akan bergerak mengelilingi kampus,” jawab Pak Sopir sambil membalikkan dirinya ke belakang, memandangi kami satu per satu.
“Angkot ini tidak bisa masuk ke kampus lagi. Coba lihat di depan sana, angkot-angkot pada berhenti. Malah ada yang berbalik arah.” Tambah Pak Sopir.
Benar juga.
“Ya sudah, saya turun di sini saja.” Kembali kubergumam. Aku pun melompat turun dan membayar ongkos.
Samar-samar, teriakan sang pendemo mulai ditangkap inderaku. Aku semakin tertantang untuk mendekati sumber suara itu.
Tiba di perempatan jalan, aku terhenti. Asaku membuncah. Nyaliku terpacu lebih cepat. Kobaran semangat dari mereka_mahasiswa-mahasiswa itu_ tiba-tiba menjilat naluriku. Diseberang jalan, mataku tiada henti mengumbar pandangan ke arahnya. Kepalannya, teriakannya, langkahnya, hentakan kakinya, jiwanya,,, semua membuatku bungkam tak berkutik. Memaksa jiwaku untuk menyumbangkan rasa salut dan bangga kepadanya.
“Kawan-kawan seperjuangan yang saya hormati dan saya cintai. Pendidikan kini menjadi barang mahal. Dan sebentar lagi, mungkin saja ia akan menjadi barang langka. Bukankah kemerdekaan itu hak segala bangsa? Bukankah salah satu misi Negara kita adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah dengan BHP misi itu akan terwujud? Dengan melilit perut dan leher kita? Saya yakin, bukan cara seperti itu yang kita tunggu kawan-kawan…”
Teriakan-teriakan itu terus terdengar lantang di angkasa. Nyaliku tiba-tiba bangkit, seiring dengan gentarnya mereka bersuara. Keinginanku untuk bergabung dalam barisan itu harus kutelan, meski terasa sangat pahit. Aku tak mungkin gabung bersama mereka. Kebisuanku, tak mungkin mampu mengobarkan semangat mereka, bahkan mungkin akan ciut melihatku diam di depan sana. Kebisuanku tak akan mampu menyelipkan daya guna buat teman-teman itu.
“Seandainya kalian tahu betapa aku ingin bergabung bersama kalian…” gumamku lirih.
“Andar?!! Kok bengong disini?” suara Retno tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Aku menggoyangkan kedua tanganku. Menjawab pertanyaan Retno dengan bahasa isyaratku. Kuyakin, Retno paham maksudku. Tentang rasa salutku terhadap teman-teman disana.
“Andar,, Jangan BHP!” Retno kembali bersuara.
Aku mengernyitkan dahiku tanda tak mengerti.
“Jangan BHP! Jangan Buat Hidup Pincang!” Retno menjelaskan.
Aku kembali mengernyitkan dahi. Aku semakin bingung dengan ucapan Retno barusan.
“Hmm,, jangan pernah buat hidup kita jadi pincang dengan segala keinginan kita yang belum nyata. Aku tahu, keinginanmu sedari dulu untuk bisa menjadi orator ulung seperti mereka. Tapi, jangan sampai keinginan yang membuncah itu membuat kita menjadi hamba yang tak bersyukur. Coba kita lakukan sisi lain. Aku yakin, setiap orang punya potensi masing-masing yang orang lain belum tentu punya. Tapi terkadang, banyak diantara kita yang tak pernah menyadari hal itu. Jangan pernah bercermin kepada orang atas mimpi-mimpi yang akan kita rajut. Karena sebenarnya kitalah yang menentukannya, bukan siapa-siapa,” terang Retno panjang lebar.
Aku semakin tak berkutik. Kali ini, bukan karena teriakan Sang Orator itu, tapi karena bisikan Retno yang sungguh lebih mengikis nuraniku. Kutatap sahabatku itu, dan kurangkul segera.
Terima kasih Rabb, Kau izinkanku bertemu dengannya.

***


*) Ketum FLP (Forum Lingkar Pena) Ranting Unhas

Tidak ada komentar: