must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Jumat, 27 Februari 2009

Korupsi: Refleksi Budaya Indonesia*)

Oleh: A. Saputri Mulyanna**)

“Kita harus memahami bahwa ketidaksempunaan adalah hakikat manusia. Karena itu, jangan malu jika berbuat salah asalkan engkau mau memperbaikinya”

(George Soros)

Potret kelam bangsa Indonesia mencuat. Wacana korupsi layaknya sudah tak asing lagi di telinga kita. Ia bagai santapan siang saja. Yang setiap saat kita cicipi. Hampir setiap hari wacana itu terkuak di beberapa media massa. Media cetak, terlebih media elektronik. Indonesia, seolah tak pernah kecolongan olehnya. Ketika menelisik lebih jauh tentang penyebabnya: ada-ada saja.

Sebagaimana dilansir dalam Harian Online Kabar Indonesia, Muh.Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, dalam opininya menuliskan bahwa Arbi Sanit (2004) menganggap, merebaknya tindak pidana korupsi di kalangan pejabat atau birokrat, akhir-akhir ini dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk transactive (kesepakatan timbal balik), extortive (pemerasan atau paksaan dengan menggunakan kewenangan publik), defensive (menghindarkan dijadikan yang lebih besar), dan supportive (suatu korupsi yang mendukung tindakan yang lain, sehingga berlanjut). Tak tanggung-tanggung, kini tak mengenal lagi antara tua-muda, antara atasan-bawahan, antara masyarakat menengah ke atas-masyarakat menengah ke bawah, atau antara birokrat-nonbirokrat. Parahnya, golongan penegak keadilan pun ikut tergilas olehnya. Pihak yang sepatutunya menjadi handa-taulan bagi masyarakat luas, justeru bertingkah yang tak pantas dicontohi. Sehingga, jadilah korupsi bagaikan sebuah virus penyakit. Virus massal yang semua orang punya kesempatan tertular olehnya. Virus yang kini semakin mewabah kemana-mana. Noktah yang semula dianggap asing, akhirnya dianggap biasa.

Korupsi, momok menakutkan namun kini menjadi biasa saja. Korupsi kini tlah menjadi sebuah power yang siap menghipnotis siapa saja. Mak tak heran, power itulah menyeret pelakunya untuk bertindak ’bodoh’. Hingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang sulit tuk ditebas lagi. Dan kemudian terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Naas, disadari atau tidak, ia berhasil digubah menjadi sebuah budaya. Tak bisa dipungkiri, korupsi, kini telah membudaya di Indonesia. Budaya hitam yang sangat tak pantas untuk dilestarikan. Betapa tidak, kerakusan para koruptor telah merugikan banyak orang. Sungguh egois! Benarkah Indonesia telah ditakdirkan bersanding dengan korupsi?

Selayang Pandang Makna Korupsi

Korupsi, berasal dari kata “Corruptio”(bahasa Latin) = “corruption” (Bahasa Inggris). Hal/ proses/ terjadinya:

a. Pembusukan (moral/biologis).

b. Perusakan.

c. Pembinasaan.

d. Pemerosotan moral-ethika-kesusilaan.

e. Penyuapan terhadap pejabat sehingga pejabat itu tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

f. Penyuapan yang terjadi terus menerus sebagai tradisi yang mendarah daging mengakibatkan kemerosotan mental pejabat sehingga pejabat terbiasa menyalahgunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, baik secara materiil, moril maupun politik, sambil mengabaikan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

Berdasarkan penjabaran di atas, penulis dapat menarik benang merah, bahwa korupsi adalah suatu tindak penyelewengan dan ketidakdisiplinan terhadap segala ketentuan yang berlaku. Atau, sebuah penyelundupan dan penyalahgunaan kesempatan demi pemuasan nafsu. Atau, langkah instant dalam mendulang kekayaan. Dan masih banyak kesimpulan lain yang bisa dirumuskan. Singkatnya, korupsi adalah suatu sikap amoral yang merugikan diri, terlebih orang lain.

Kini, korupsi yang dianggap jahat, telah bersembunyi rapi dibawah ketiak kita. Korupsi yang menjadi musuh bebuyutan sejak zaman nenek moyang, berhasil bersembunyi di instansi-instansi yang justru dianggap baik. Gedung DPR dan MPR, tak tanggung-tanggung bisa melahirkan para koruptor itu. Gedung titipan rakyat, justru menyengsarakan rakyat. Uang untuk kemaslahatan rakyat, justru digunakan untuk menikam rakyat. Hampir seperti tingkah Tom & Jerry. Kadang berlaku baik, namun punya maksud jahat dibalik kebaikannya.

Titik Nadir Bangsa Indonesia

Sangat miris, mendengarkan Indonesia berhasil meraih nominasi 10 besar Negara ter-Korup di dunia. Sebagaimana dilansir oleh sebuah lembaga penelitian ekonomi independen terdahulu yang berasal dari Hongkong--Independent Comitte Anti Corruption (ICAC). Hal ini dikuatkan oleh penelitian Transparency International (TI) yang bermarkas di Berlin. Bahwa 10 negara paling korup tersebut adalah Nigeria, Pakistan, Kenya, Banglades, Cina, Kamerun, Venezuela, Indonesia, Rusia, dan India.

Kenyataan yang lebih menyakitkan, peringkat itu ternyata mencapai titik puncak pada tahun 2001. TI menobatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terkorup di dunia. Bahkan, survei PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, menyimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia (http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/). Sungguh menakjubkan! Layakkah dijadikan sebuah indikator kebanggaan? Tentu tidak!

Penanganan kasus korupsi di Indonesia kini semakin terlunta. Bahkan tak jarang menuai sesat. Buntu! Inilah parade kehidupan yang mewarnai perjalanan bangsa kita. Memang, Indonesia tak tinggal diam dan berbangga hati menyabet prestasi-prestasi konyol itu. Keresahan dan ketidakterimaan beberapa rakyat dan pemerintah Indonesia pada khususnya, sepatutnya meninggalkan seberkas tanda syukur di hati kita. Dengan mengusung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang dikhususkan untuk menangani kasus-kasus korupsi, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), lembaga khusus untuk mengawasi perputaran uang Negara, dan atau (Waskat) (Pengawasan Melekat) di instansi-instansi atau slogan-slogan lainnya. Kesemuanya tercipta dengan harapan bisa menjadi titik terang dalam kegelapan yang telah terlanjur ada. Memberantas budaya korupsi yang semakin menjamur.

Tak salah, harapan memang tak selamanya terkabul. Mungkin, rakyat Indonesia diciptakan untuk menangguhkan sikap sabar dalam dirinya. Bersabar menanti mimpinya menjadi nyata. Melihat bangsanya terbebas dari cengkeraman tangan-tangan korupsi.

Membumihanguskan Budaya Korupsi

Sudah banyak kata yang terangkai untuk menebas budaya korupsi di Indonesia. Sudah banyak kalimat yang tersusun demi merumuskan kiat penghapusan korupsi yang kian merebak. Namun, susunan kalimat itu hanya sebuah wacana indah belaka. Retorika manis yang memang siap dan akan selalu siap tuk diumbar. Tapi, apa guna keindahan retorikas tanpa ada sebuah pengaplikasian?

Efek samping korupsi, kini telah dirasakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Tetapi sayang, sangat jarang yang dapat merumuskannya. Alhasil, ungkapan itu tak dapat diintegralkan menjadi strategi dalam pemberantasan korupsi. Jadi, sudah saatnya ada langkah konkret yang bisa kita lakukan. Sekali lagi: ‘yang kita lakukan’, bukan ‘yang kita tawarkan’. Sistem apapun, sebaik apapun ia, jika tak ada wujud konkret, terkesan sia-sia saja. Bukankah UUD sekalipun tak akan bermakna jika tidak diaplikasikan? Pancasila juga begitu. Pemberantasan kasus korupsi pun demikian. Undang-undang Korupsi baru, UU No. 3/1971 kini telah hadir. Namun, ia tak ada bedanya dengan sebuah wacana biasa jika tak ada kesadaran tuk mengimplementasikannya. Bukan saatnya lagi mengkambinghitamkan siapapun atas menjamurnya tindakan konyol ini. Bukan zamannya lagi menyalahkan siapapun atas menjalarnya jiwa-jiwa koruptor. Penanganan masalah korupsi telah diatur dalam UU No 3/1971. Kebijakan pemerintah pun sudah jelas. Wajar, jika Selo Sumardjan, saat ditanya oleh M. Yusuf A.S. dari MedTrans tentang bagaimana caranya memberantas korupsi di Indonesia. Ia hanya menjawab pendek, "Ambil tindakan!!" Hanya satu yang bisa menjadi penangkal: diri sendiri. Karena sesungguhnya pilihan itu hanya ada 2: mau atau tidak. Dan pilihan itu selalu ada di tangan kita.

"Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia." Begitu yang diungkapkan ahli sosiologi terkemuka, Selo Sumardjan, dalam pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard (1998). Tentu bukan orang-orang berjiwa ‘NATO’ (red: No Action, Talk Only) yang kita harapkan. Tapi orang-orang yang mau bertindak untuk membumihanguskan budaya korupsi yang terlanjur ada. Jika korupsi benar telah dijadikan sebuah budaya, maka wajar saja pelestarian itu terus menerus berlangsung.

Di tengah kondisi riil saat ini, harus ada pilar yang menyangga. Dan kesadaran pribadi adalah obat paling mujarab dalam menangkal penyakit ganas itu. Adanya sikap ‘menghalalkan segala cara’ yang semakin fenomenal, cukup menjadi indikator rendahnya moral bangsa. Tak salah lagi pernyataan Octariano: kita harus memiliki kesadaran moral yang kokoh, yang dapat dimanifestasikan melalui cinta diri. Yang dimaksud tentulah bukan egoisme dan individualisme, melainkan cinta akan kemanusiaannya. Cinta semacam ini akan mendorong diri kita mencintai orang lain. Octariano menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul "Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permesif: Topeng Relativisme moral Praktis". Moral, adalah pedoman setiap insan dalam meniti kehidupan. Karenanya, ini bisa menjadi salah satu kunci utama kesadaran diri (self awareness). Langkah jitu dalam membumihanguskan korupsi.

“ Tak seorangpun dapat kembali ke masa lalu untuk memulai awal yang baru, tapi setiap orang dapat memulai hari ini untuk membuat akhir yang baru…”

*)Pernah diikutlombakan dalam Lomba Jurnalistik Nasional Badan Pers Nasional (BPN) ISMKI

**)Penulis adalah Ketua Umum FLP(Forum Lingkar pena) Unhas, Makassar,

Aktivis PII(Pelajar Islam Indonesia), juga mahasiswi Ners Unhas.


Mengejar Asa


Malam membentang bintang

Kutelusuri jalan,

Membelah kegelapan

Memecah kesunyian malam.

Roda kehidupan kembali berputar

Pagi, kemudian menggantikan malam

Lalu muncul siang,

dan hadir sore,

dan malam kembali muncul.

Hari akhirnya berganti

Satu episode kehidupan terlaksana

Hingga terukir sketsa hidup

Yang tak bisa dimusnahkan

Terangkai dalam bingkai

yang tak dapat direnovasi

Yang lalu biarkan ഇയ berlalu

Meski noktah penyesalan tiada henti mengintai,

Tak kan kubiarkan ia menyelimutiku

Merusak sketsa yang pernah kuukir

Mematahkan bingkai yang pernah kubuat

Aku kan terus melaju

Melaju jauh,,

Jauh kedepan!

:meski malam menghantui

meski pagi menantangku

meski siang menggenggamku

Dan,

Kekerdilan asaku takkan buatku bungkam

Tuk melangkah...

Dalam Diamku

Dalam rentetan waktu,

kutelusuri setiap ranah

Nalar terpacu

melawan setiap keganasannya

Hati menjerit

menahan kecamannya

Namun,

Tak perlu kuberlari darinya

Segala asa siap kumuntahkan

Untuknya...

Ya, untuknya!

Dalam pergantian siang,

kemudian menjadi malam,

Lalu kembali pagi

Aku bergulat nafsu

Ditemani asa yang semakin kerdil

Dengan segala daya

Tapi hanya tipu yang kudapat

Ternyata, aku menuai sesal

Kesadaran baru kerenggut

Tameng-tameng kehidupan,

kini berjejer siap menghujatku

Aku bimbang

Kuhembuskan kebingungan

disetiap desahan nafasku

Ingin ku segera lari

Namun, dunia ternyata begitu sempit

Dan waktu

kini semakin mengintai

Aku pun menyerah

:pada keganasannya

pada kekuasaannya

pada kehebatannya,

Aku taubat!

aku menyerah!

Dan diam adalah perisaiku...

Senin, 23 Februari 2009

Karena Menangis, hati Menjadi Tenang



Menangis tak selamanya sakit. Terkadang, menangis adalah pelampiasan jiwa yang terkekang. Atau pun hanya sekedar perwakilan jiwa yang sakit. Tapi ketahuilah, setelah anda melaluinya, jiwa akan terasa lapang. Tak sesak lagi! Menangislah, jika itu membuatmu tenang.

Laskar Mentari Kecolongan*)

Kode Etik Laskar Mentari:

“Jangan pernah mengaku gaul kalo’ tak punya banyak teman...

Jangan pernah mengaku baik, kalo’ tak pernah mentraktir teman...

Jangan pernah mengaku pintar, kalo’ tak pernah memberi contekan kepada teman...

Jangan pernah mengaku kaya, kalo’ tak pernah memberikan pinjaman uang kepada teman yang lagi kere’...”

Diatas sebuah karton merah terang, ukuran 1x1 meter, kalimat itu ditulis. Entah atas dasar apa kalimat-kalimat itu dibuat. Yang jelas, sudah hampir 2 tahun, tulisan itu masih tertempel erat di depan pintu kamar Lindang. Markas besar komplotan “Laskar Mentari”. Meski sebelumnya sudah beberapa puluh orang yang memberi komentar kepadanya setiap kali melihat tulisan itu. Tapi Lindang enjoy-enjoy saja.

“Bodoh amat mikirin mereka. Kamar, kamar gue. Terserah gue kan?!!” begitu Lindang selalu memuntahkan jawaban kepada siapa saja yang menegur tulisan itu. Bibir manyun pun dengan segera ia sumbangkan.

***

Pagi yang cerah. Matahari sudah menyemburat tinggi di angkasa. Sinarnya menyusup perlahan diantara celah jendela kamar Lindang sejak 1 jam yang lalu. Memberikan setitik cahaya pada ruang yang masih gelap itu. Tirai putih yang kini sudah menyerupai warna coklat muda, masih terbentang lebar di tempatnya. Pertanda, Si Empunya belum menggesernya sedikit pun. Di atas sebuah kasur yang sudah hampir setipis papan, Lindang masih saja menggeliat dengan guling tipis kesayangannya. Sesekali dengkuran nyaring keluar dari mulutnya. Aming, tetangga kamarnya, justru seringkali berterimakasih atas dengkurannya itu. Karena ia tak perlu lagi menyetel alarm setiap pagi. Sangat cukup dengkuran itu yang membangunkannya. Lindang senyum-senyum saja mendengar pujian Aming padanya. Sembari mengelus dada tanda bangganya.

Kukuruyuukkk... Kukuruyuukkk... Kukuruyuukkk...

HP batangan Lindang berdering, mengumandangkan nada sahutan ayam. Lamaaa sekali. Dan kian lama kian membesar. Lama alarm itu bereaksi, namun Lindang tak jua berkutik.

Gubrakkkk!!!!

“Woeyy,,maling woeyy...Maling...ada maling....!!!”

Dengan memasang jurus patokan ayam, Lindang langsung bangkit dari tidurnya dan melompat dari kasur. Sambil mengucek-ngucek mata, dengan langkah perlahan ia mendekati pintu kamarnya. Dibalik pintu, ia mendekatkan telinganya dengan penuh konsentrasi mendengar suara di balik pintu itu.

“Mmm,,sepertinya ada orang yang sedang berlari,” batin Lindang, sambil terus menempelkan telinganya di pintu kamarnya. Tak berapa lama, akhirnya terdengarlah suara ribut-ribut di lorong kamar. Lindang pun keluar...

“Tak salah lagi, itu pasti Andong dan Aming. Pasti mereka sudah menangkap pencurinya,” Lindang menerka dengan sangat yakin.

Dengan wajah celingukan, ia pun keluar kamar. Sementara, batangan sapu ijuk yang siap ia hunuskan ke pencuri tadi, masih tergenggam erat di tangannya.

“Ndang, kamu kenapa?!!” tanya Aming keheranan melihat batangan ijuk yang digenggam Lindang.

“Eh, pencurinya mana? Tadi saya dengar ia mendobrak pintu kamarku. Untung saya kunci 3 kali lipat dari biasanya. Ini menjadi peringatan buat kalian-kalian, kalo malam, jangan pernah lupa mengunci pintu kamar. Nah, kalo’ kejadiannya seperti tadi, kita tetap aman kan dari tindak jahil pencuri...” Panjang lebar Lindang menjelaskan, membuat kedua temannya semakin mengerutkan kening. Tambah bingung!

“Mmm,, kumat lagi deh virus cerewetnya,” gumam Andong, namun tak sampai terdengar Lindang. Takut penjelasannya semakin panjang.

“Ooo, jadi ada pencuri? Terus apa yang dicuri?” dengan laga’ polosnya Aming bertanya.

“Huu,,,makanya, kalo’ tidur tuh jangan tidur mati. Biar sekalipun pencurinya menculik kamu, kamu nggak bakal rasa,” Lindang berkomentar lagi, sambil memperbaiki posisi sarung di badannya yang hampir saja melorot.

“Tapi saya sama sekali nggak dengar suara pencurinya. Padahal, dengkuran Lindang selalu saya dengar.”

“Weleh-welehhhh...wong tadi aku dengar sendiri kok pencuri itu mendobrak pintu kamarku. Telingamu tuh, yang lebih peka ke bunyi dengkuranku dibanding suara pencuri.”

Ya’ellaa... atau mungkin karena memang dengkuran Lindang yang jauh lebih besar daripada suara pencurinya ya,” Aming terus mencari pembenaran, tak mau kalah dengan Lindang.

“Ah, sudah,,sudah. Bukan saatnya berdiskusi disini. Begini, sepertinya pencuri tadi itu belum sempat mengambil apa-apa. Keburu terlihat. Makanya dia langsung lari.” Mas Bayu, sebagai pihak yang dituakan di kosan itu akhirnya memberi arahan, menengahi pertempuran mulut antara Lindang vs Aming.

“Iya, tuh pencuri kaya’nya memang bukan pencuri profesional. Mencuri kok pagi-pagi begini?”

“Pencurinya penakut kali, jadi nggak berani bereaksi kalo malam,” Lindang kembali menimpali ucapan Aming. Tak ada habis-habisnya..

“Eitss,,, ngomong-ngomong, sekarang jam berapa nih?” Lindang tiba-tiba tersentak, sambil memukul jidatnya. Ia melongo kepada kawanan sekos-annya. Dan...

“Waaaaaaaaaa.....aku final!!!” Lindang berteriak sekencangnya, sambil melompat lari masuk ke kamarnya. Sementara, Aming dan Andong saling berpandangan, heran.

***

“Sahar, kamu memang kawanku yang pwaaaaling baik seujung jagat raya. Pintar!”

“Eh, maksudmu?” Sahar terbengong mendengar komentar Lindang.

“Karena bantuanmu tadi, lembar jawabanku tidak bolong semua. Yah, meski tidak dapat bahan contekan semua, paling tidak lembar jawabanku tidak putih polos seperti sedia kala,” jawab Lindang sambil senyam-senyum tanda bahagia.

“Yahhh...syukurlah. Trus, kamu jawabnya berapa nomor? Kan tadi tersisa waktu 10 menit lagi saat kamu masuk ruangan,” Sahar menghentikan langkahnya, menanti jawaban apa yang hendak keluar dari mulut Lindang.

“Jawabnya 2 nomor. Nomor 9 dan nomor 10.”

“Lha, itu kan jawaban yang saya kasih ke kamu.” Sahar tercengang, matanya dibiarkan melotot memandang Lindang.

“Ya emang iya. Trus kenapa? Tidak ikhlas?” Lindang menatap wajah Sahar, serius.

“Bukan itu yang kumaksud. Dari 10 nomor, kamu cuma jawab 2 nomor?” Sahar balik menatap Lindang. Dan terjadilah aksi tatap-menatap.

“Huu,,kamu kaya’ anak eS-De saja, Har. Kalo ada 10 pertanyaan, dan hanya 2 yang saya jawab, itu artinya 8 nomor tidak saya jawab. Gittuuu...ngerti? Eh, kamu belajar matematika nggak sih waktu eS-De dulu?”

“Ahhh...terserah. Mau belajar ke’, mau tidak belajar ke’, bodoh amat. Yang jelas tadi aku jawab semua soalnya. Situ aja yang merasa sok pintar. Mau dapat nilai berapa kalau cuma jawab 2 nomor?” Sahar semakin gemas melihat kepolosan kawannya yang satu ini.

“Pusing amat. Itu kan keputusan Bu Imah mau ngasih nilai berapa. Apalagi Keputusannya nggak bisa diganggu gugat. So, mending kita ke kantin saja sekarang. Perutku sudah puyeng mondar-mandir dari tadi minta diisi,” timpal Lindang sambil menarik tangan Sahar yang masih bingung. Dengan langkah sempoyongan, mereka pun menuju kantin.

***

“Mmm,,,ngomong-nomong, Aming dan Andong kok belum nongol-nongol?”

“Ya, Sahaaar,,, mulai deh.. Saya kan sudah berjuta-juta kali bilang, saya paling tidak suka diganggu kalo lagi makan. Kalo makan ya makan, nggak usah mikir yang lain dulu. Apalagi mikirin dua makhluk itu, rugi!”

“Dasar makhluk aneh. Makan pake’ konsentrasi segala,” Sahar setengah berbisik. Wajahnya dibiarkan menunduk sambil memainkan sendok dan garpu di kedua tangannya. Meski ia tahu, sebenarnya Lindang menatapnya tajam. Namun, ia pura-pura tak tahu.

“Bu, minta bakso satu mangkuk lagi,” teriak Lindang ke Ibu kantinnya.

“Heyy, masih pukul 10 pagi Mas!” Sahar tersentak mendengar permintaan Lindang barusan.

“Makan bakso sampe 3 mangkuk sekaligus. Itu lambung atau baskom seh. Hati-hati loh, ntar lambungnya melar keisi bakso semua. Ntar, ususnya mampet, dipenuhi bakso semua. Ntar, otaknya buntu tersumbat bakso semua. Ntar, overdosis baru,,,” belum sempat Sahar menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Lindang memotong.

“Udah..udah..udah...Kamu kaya’ lebih pintar dari dokter saja, Har. Dokter saja nggak berpanjang lebar ngomong ini itu kalo konsult kesana. Yawdah, saya batalkan saja pesananku. Daripada ntar otakku buntu beneran, mana mau. Nggak tahan eke.” Lindang langsung beranjak dari tempat duduknya. Berlari menuju tempat Ibu kantin meramu bakso. Meramu? Emang jamu mau diramu. Jamu bakso kali ye...

“Bu, maafkan daku. Saya nggak jadi pesan. Temanku tuh melarang makan bakso banyak-banyak,” layaknya seorang mahasiswa yang sedang meminta nilai tambahan ke dosennya, begitulah aksi Lindang saat ini, memelas! Sambil menunjuk-nunjuk ke arah Sahar.

“Katanya masih pagi, Bu. Saya takut nanti otak saya buntu tersumbat bakso. Nanti saya takut lambung saya melar keisi bakso semua,” Lindang kembali menambahkan, berhubung Bu Kantinnya cuek bebek saja. Ga’ punya rasa, ga’ punya hati...Lha?!!

“Penjelasannya cukup?” Bu kantin akhirnya bersuara, kini malah balik nanya.

Ya’ellaaa,,ini Ibu. Maaf ya Bu ya, pesanan baksonya saya pending dulu. Besok dah, saya ke sini lagi pesan baksonya.”

“Pending,,pending.. Kalo’ bakso ini saya pending, dan saya simpan untuk kamu makan besok, mau?”

“Ya nggak lah Bu. Masa’ mau makan bakso yang sudah setengah basi?” Lindang menjawab sembari mengernyitkan keningnya.

Yawdah, makan aja bakso ini sekarang mumpung belum setengah basi.”

“Gratiss??” Lindang malah balik nanya dengan penuh semangat.

“Enak aja gratis. Mana ada...”

“Bu, baksonya satu!” tiba-tiba Aming nongol dibalik lemari kaca, memecah pergulatan antara Bu kantin dan Lindang yang tak jua selesai.

“Ah, untungnya.. Si Dewa penyelamat akhirnya datang juga,” sambil mengelus dada, Lindang berlari menjumpai Sahar yang sedari tadi menunggunya. Tapi sebelumnya, tak lupa ia berterima kasih kepada Bu kantin. Sekedar info, sampai saat ini Lindang cs. belum tahu siapa nama Bu Kantin yang sebenarnya. Entah nama Bu Kantin memang begitu dari sononya, atau karena beliau bekerja di kantin ini. Ah, pusing amat, Rektor aja ngga’ pusing. Yang jelas namanya Bu Kantin, titik!

Sementara Aming, hanya tersenyum tipis saja melihat aksi Lindang yang aneh. Ah, biassaa...

***

“Eh, Ming, Andong kemana? Tumben jam segini nggak ke kantin.” Lagi-lagi, Sahar merusak konsentrasi makan Aming. Tapi untungnya yang dihadapi bukan Lindang. Yang diganggu sedikit saja saat makan, ngomelnya minta ampun.

“Mmm..tadi saya sempat ketemu di depan fakultasnya. Dan dia kelihatan sangat buru-buru...”

“Mau bayar utang kali’. Tuh anak kan udah dapat kiriman dari kampung,” kembali dengan tampang polosnya, Lindang memotong.

“Ihhh,,,bukan itu. Makanya dengar dulu baru ngomel. Dasar Raja Ngomel Lo.” Dengan sedikit buru-buru, Aming memasukkan satu buah pentolan bakso ke mulutnya. Tinggal satu.

“Mmm, Andong buat kasus lagi. Tadi pagi, ternyata dia ada kuliah. Eh, malah asyik bergulat denganku di kosan. Meneketehe kalau dia punya jadwal kuliah dadakan. Kebetulan, dosen yang masuk tadi itu adalah dosen terkiller di fakultasnya. Dan parahnya lagi, dia ketahuan nitip tanda tangan ke temannya. Berlipat ganda deh hukumannya.”

“Nah, trus dia dihukum apa?” Sahar menimpal, seolah tak sabar menanti jawabnya.

“Katanya, tadi dia dipanggil ke ruangan dosen.”

“Wah, parah tuh. Andong mau diapain di sana?”

“Disuruh mijetin dosennya.”

“Wahh,,parah. Dosennya cewek apa cowok?”

“Onta-onta. Cowwokk... Bapa’-Bapa’, bego!”

“Parah tuh. Bisa-bisa Andong dapat bonus tendangan ampuh kalo’ salah pijit.” Lindang akhirnya bersuara, setelah sebelumnya terdiam mendengar penjelasan Aming. Kali ini, Lindang terlihat berusaha menahan tawa.

“Hey fren..how are you today?” sapa Andong tiba-tiba dengan logat inggris sialannya. Mentang-mentang kuliah di jurusan Sastra Inggris, ngomongnya sok orang Inggris.

How are you-how are you. Emang Lo mau jadi orang Inggris? Pake’ bahasa inggris segala. Udah, pake’ bahasa lokal saja. Lebih enak, tau!” Lindang, yang sama sekali anti-bahasa inggris memprotes Andong dengan penuh semangat.

“Hanya orang yang tak tau berterima kasih yang mau melestarikan budaya negara lain. Apalagi yang pernah menjajah negeri kita. Dasar tak punya jiwa nasional. Nggak kasihan ya ma pahlawan-pahlawan kita yang telah bersusah payah merenggut kemerdekaan ini. Sementara kita...”

“Bu, bakso satu!” Andong memotong penjelasan Lindang yang lagi semangat-semangatnya.

Tiba-tiba....

“Wadduhhh, eh, teman-temanku yang saya hormati, yang saya banggakan. Kebelet nih,, saya ke WC dulu ya. Kalo’ ntar saya nggak kembali-kembali, tolong baksoku dibayarkan dulu ya...”

“Eh, Lindang,, Lindangg....”

Belum sempat ngomong apa-apa, Lindangnya udah kabur. Dasar! Gue tau maksud Lo.

“Hehehe, akhirnya bisa juga. Ternyata bisa juga yah, makan bakso 2 mangkuk gratis. Mereka memang teman yang baik, suka menolong teman yang lagi kere’ begini,” Lindang bergumam dalam hati, sambil meloncat-loncat kecil dengan girangnya. Kali ini, langsung kembali ke kos-an.

Katanya mau ke WC? Katanya kebelet,,? Dasar!

***

Sore menjelang. Aming, Lindang, Andong, dan Sahar kembali berkumpul di markas besarnya, kamar Lindang. Kamar jamuran, namun masih dianggap nyaman. Bukan karena fasilitasnya yang lengkap. Tapi karena kamar Lindanglah yang memiliki pasokan makanan tambahan yang selalu ada. Bahkan, Sahar pun kalah, yang notabene tinggal dengan orang tuanya. Hampir setiap minggu, Lindang mendapatkan kiriman makanan dari kampungnya. Tak tanggung-tanggung, segala jenis buah, bahkan yang tidak pernah ada di supermarket sekalipun, sudah pernah diimpor ke kosan ini. Yahh, lumayan..!

Kamar Lindang akhirnya bernilai sejarah di mata mereka. Disinilah komplotan ‘Laskar Mentari’ itu bertengger. Yup, 2 tahun yang lalu, mereka sepakat bahwa nama ganknya adalah Laskar Mentari. Mereka berharap, kelak bisa menjadi sukses seperti Lintang cs. Mereka tak mau mengambil kata Pelangi, karena tidak mau disebut Sang Plagiator Ulung (padahal yang sebenarnya, merekalah ahlinya urusan copy-paste karya orang, apalagi kalo ada tugas makalah). Alasan lain, katanya karena Mentari sinarnya jauh lebih terang dibanding pelangi. Mereka berharap, kesuksesannya akan jauh lebih bersinar dibanding kawanan Laskar Pelangi itu (red: Lintang cs.)

Tapi sayang sejuta sayang, meski telah melakukan publikasi secara besar-besaran di seantero kampus tentang keberadaan Laskar Mentari-nya, sampai saat ini mereka belum terkenal-terkenal juga. Entah sampai kapan. Nasiiib...nasib...

“Eh, eh, eh,,,Kode etiknya kita kok nggak ada? Lagi direnovasi ya?” akhirnya Sahar memulai pembicaraan, memecah kesunyian yang tumben mewarnai markas itu.

“Ah, nggak. Memangnya kenapa?” jawab Lindang dengan santai, sambil menyiapkan minuman dingin untuk teman-temannya.

“Tapi kok nggak ada di pintu?”

Whats? Hilang?!!!” Andong ikut menimpali. Rencana awal untuk melahap mie istant, ‘Indomie Kaldu’ kesukaannya ditunda. Dasar anak kos!

Tanpa ada yang memberi komando, keempat komplotan Laskar Mentari itu berlari ke depan menuju pintu Lindang, tempat tertempelnya Kode etik itu.

“Astaga...”

“Eh, istigfar tuh yang sempurna!” bentak Aming ke Lindang.

“Oh iya, ralat. Astagfirullahal’adziiim...jangan-jangan, pencuri yang tadi neh yang ambil kode etik kita. Hmm,, meski dihajar tuh!” sambil mengepalkan tangan dan menyipitkan mata, Lindang terus berkoar mengumpat pencuri itu.

“Bukan masalah dihajar atau tidak pencuri itu. Tapi, apa untungnya coba dia ambil kode etik kita. Mau dijual? Dijamin deh nggak laku...”

“Eh, atau jangan-jangan, pencuri itu mau mencontek bebas hasil karya kita. Makanya, dari dulu saya bilang, kode etik kita tuh harus punya hak cipta. Biar orang lain nggak bebas niru kode etik kita. Nah, kalo begini jadinya, gimana?” Lindang kembali berceloteh dengan bebasnya.

Hak cipta? Emang undang-undang... Keberadaan Laskar Mentari saja belum diakui di kampus, mau pake’ hak cipta lagi. Tapi, benar juga ya? Apaan sih...

“Ah, aku nggak mau tahu. Yang jelas Lindang yang harus bertanggung jawab. Kejadian ini tidak boleh dianggap enteng. Ini masalah kode etik kita kawan-kawan. Ini masalah prinsip kita. Kalo hilang, apa lagi yang kita punya?” Sahar berkoar-koar penuh semangat di depan teman-temannya, layaknya seorang orator ulung yang sedang berorasi di depan gedung DPR.

“Ihh,, enak saja nyalahin orang. Emangnya ini kemauanku...ya nggaklahhh...” ucap Lindang membela diri.

“Kok gitu aja repot sih. Kan bisa ditulis ulang,” teriak Andong tak mau kalah.

“Enak aja ngomong. Kalo gitu mah semua orang bisa. Masalahnya, kalau aslinya nggak ada, berarti nilai sejarah Laskar Mentari tuh pudar. Begitu!” Sahar kembali menjawab.

“Oh tenang kawan-kawan... Begini saja, kebetulan Om-ku (red: Paman) adalah seorang Komandan polisi. Serahkan saja kasus ini padaku. Nanti saya yang lapor ke Pak Polisi. Biar kita tangkap tuh pencuri.” Aming yang sedari tadi diam seribu kata, akhirnya berkutik juga.

“Tambah lagi nih anak,,, masalah begini bawa-bawa nama polisi. Bikin malu tau!”

“Eh, tungu, tunggu, tunggu...” Lindang tiba-tiba bersuara sambil mengacungkan tangan.

“Ya, silahkan Pak Lindang”

“Begini, sebenarnya tadi pagi tuh saya dapat surat depan pintu kamar saya. Tadi lupa mendiskusikannya di kantin. Keburu lari, hehehe.”

“Sialan lo! Nah, kawan-kawan, ketahuan kan tadi Lindang nggak kebelet. Tapi lari, nggak mau bayar. Aku deh yang dapat imbasnya. Meski dikata baru dapat kiriman, tapi uang-uang itu untuk bayar utang-utangku yang sudah bertumpuk.”

“Eh, Andong, curhat jangan disini dan jangan sekarang. Bukan waktunya tau!” Aming menimpali ucapan Andong tadi. Dan Lindang, semakin berbesar hati mendengar ucapan Aming barusan, merasa dirinya dibela.

“Iya, lagian kamu beruntung, Ndong. Bisa mengaplikasikan kode etik kita poin ke-2. “Jangan pernah mengaku baik, kalo tak pernah mentraktir teman yang lagi kere’. Kebetulan aku lagi kere’ berat neh! ” Lindang akhirnya berkomentar. Ia rasa, diam bukan jalan keluar yang terbaik untuk saat ini.

“Yang nggak pernah traktir tuh sapa? Lo aja kali. Kaya’nya kita harus nambah 1 poin lagi nih di kode etik kita. “Jangan pernah mengaku manusia, kalo’ sukanya minta ditraktir mulu’.”

“Jadi, nggak ikhlas nih?” sambil menahan tawa, Lindang menimpali ucapan Andong, malu disebut bukan manusia. Karena hanya dia yang selalu minta ditraktir dengan landasan poin ke-2 kode etik Laskar Mentari.

“Ya mau gimana lagi. Nasi udah menjadi bubur,” jawab Andong dengan nada pasrah. Tumben nggak pake’ logat Inggrisnya...

“Mau dengar nggak suratnya?!!” teriak Lindang, pura-pura menganggap urusannya dengan Andong sudah beres. Dan berhasil! Perhatian teman-temanya yang lain kembali fokus ke surat tadi.

“Iya,,buruaaann!!!”

Lindang pun mulai membaca.

Salam persahabatan! Kepada kawan-kawanku komplotan Laskar Mentari yang saya hormati. Sebelumnya mohon maaf atas tindakan jahilku tadi pagi. Kedatanganku ke pemukiman markas Laskar Mentari tak ada maksud apa-apa, kecuali ingin mengambil kode etik Laskar Mentari. Tapi, bukan bermaksud saya ingin mencurinya dari kalian. Saya hanya ingin membaca dan memahaminya lebih jelas. Terus terang saja, saya adalah salah satu penggemar berat Laskar Mentari. Dan besar harapan saya untuk bisa menjadi sahabat Laskar Mentari. Nah, di kampus, saya sering mengintai kalian. Dan suatu hari, saya pernah mendengarkan kalau Laskar Mentari tuh punya kode etik yang harus dilaksanakan oleh seluruh warganya. Dan saya juga pernah dengar kalao ternyata kode etik itu ditempel dipintu markas Laskar Mentari. Makanya, saya terus mengintai kalian untuk mencari alamat markas Laskar Mentari. Dan akhirnya, saya tahu kalo markasnya itu di Kamarnya Lindang. Oleh karena itu, saya sangat terdorong untuk melihat kode etik itu. Dan saya akan berusaha untuk bisa mengaplikasikan seluruh isi dari kode etik itu, demi memenuhi keinginan saya untuk bisa menjadi sahabat Laskar Mentari. Mohon maaf, kalau tindakan saya kelewatan.

Hormatku,

Lintang (Laskar pelangi)

“Waaaa,,, Lintang mau jadi sahabat kita!!!” Aming langsung berteriak, sambil memukul-mukul Andong yang kebetulan paling dekat dengannya.

“Iya, senang ya senang. Tapi tidak dengan cara seperti ini kamu mengapresiasikannya. Sakit tau!” Aming akhirnya berpindah posisi ke samping Sahar.

“Wahh,, biar dikata kode etik kita hilang, tapi kalo yang nyuri tuh Lintang dan endingnya seperti ini, bukan main senangnya,” Aming kembali berteriak.

Akhirnya, Laskar Mentari punya penggemar juga...

*)Special 4 my first_book