must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Jumat, 27 Februari 2009

Korupsi: Refleksi Budaya Indonesia*)

Oleh: A. Saputri Mulyanna**)

“Kita harus memahami bahwa ketidaksempunaan adalah hakikat manusia. Karena itu, jangan malu jika berbuat salah asalkan engkau mau memperbaikinya”

(George Soros)

Potret kelam bangsa Indonesia mencuat. Wacana korupsi layaknya sudah tak asing lagi di telinga kita. Ia bagai santapan siang saja. Yang setiap saat kita cicipi. Hampir setiap hari wacana itu terkuak di beberapa media massa. Media cetak, terlebih media elektronik. Indonesia, seolah tak pernah kecolongan olehnya. Ketika menelisik lebih jauh tentang penyebabnya: ada-ada saja.

Sebagaimana dilansir dalam Harian Online Kabar Indonesia, Muh.Takdir Ilahi, Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta, dalam opininya menuliskan bahwa Arbi Sanit (2004) menganggap, merebaknya tindak pidana korupsi di kalangan pejabat atau birokrat, akhir-akhir ini dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk transactive (kesepakatan timbal balik), extortive (pemerasan atau paksaan dengan menggunakan kewenangan publik), defensive (menghindarkan dijadikan yang lebih besar), dan supportive (suatu korupsi yang mendukung tindakan yang lain, sehingga berlanjut). Tak tanggung-tanggung, kini tak mengenal lagi antara tua-muda, antara atasan-bawahan, antara masyarakat menengah ke atas-masyarakat menengah ke bawah, atau antara birokrat-nonbirokrat. Parahnya, golongan penegak keadilan pun ikut tergilas olehnya. Pihak yang sepatutunya menjadi handa-taulan bagi masyarakat luas, justeru bertingkah yang tak pantas dicontohi. Sehingga, jadilah korupsi bagaikan sebuah virus penyakit. Virus massal yang semua orang punya kesempatan tertular olehnya. Virus yang kini semakin mewabah kemana-mana. Noktah yang semula dianggap asing, akhirnya dianggap biasa.

Korupsi, momok menakutkan namun kini menjadi biasa saja. Korupsi kini tlah menjadi sebuah power yang siap menghipnotis siapa saja. Mak tak heran, power itulah menyeret pelakunya untuk bertindak ’bodoh’. Hingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang sulit tuk ditebas lagi. Dan kemudian terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Naas, disadari atau tidak, ia berhasil digubah menjadi sebuah budaya. Tak bisa dipungkiri, korupsi, kini telah membudaya di Indonesia. Budaya hitam yang sangat tak pantas untuk dilestarikan. Betapa tidak, kerakusan para koruptor telah merugikan banyak orang. Sungguh egois! Benarkah Indonesia telah ditakdirkan bersanding dengan korupsi?

Selayang Pandang Makna Korupsi

Korupsi, berasal dari kata “Corruptio”(bahasa Latin) = “corruption” (Bahasa Inggris). Hal/ proses/ terjadinya:

a. Pembusukan (moral/biologis).

b. Perusakan.

c. Pembinasaan.

d. Pemerosotan moral-ethika-kesusilaan.

e. Penyuapan terhadap pejabat sehingga pejabat itu tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

f. Penyuapan yang terjadi terus menerus sebagai tradisi yang mendarah daging mengakibatkan kemerosotan mental pejabat sehingga pejabat terbiasa menyalahgunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, baik secara materiil, moril maupun politik, sambil mengabaikan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

Berdasarkan penjabaran di atas, penulis dapat menarik benang merah, bahwa korupsi adalah suatu tindak penyelewengan dan ketidakdisiplinan terhadap segala ketentuan yang berlaku. Atau, sebuah penyelundupan dan penyalahgunaan kesempatan demi pemuasan nafsu. Atau, langkah instant dalam mendulang kekayaan. Dan masih banyak kesimpulan lain yang bisa dirumuskan. Singkatnya, korupsi adalah suatu sikap amoral yang merugikan diri, terlebih orang lain.

Kini, korupsi yang dianggap jahat, telah bersembunyi rapi dibawah ketiak kita. Korupsi yang menjadi musuh bebuyutan sejak zaman nenek moyang, berhasil bersembunyi di instansi-instansi yang justru dianggap baik. Gedung DPR dan MPR, tak tanggung-tanggung bisa melahirkan para koruptor itu. Gedung titipan rakyat, justru menyengsarakan rakyat. Uang untuk kemaslahatan rakyat, justru digunakan untuk menikam rakyat. Hampir seperti tingkah Tom & Jerry. Kadang berlaku baik, namun punya maksud jahat dibalik kebaikannya.

Titik Nadir Bangsa Indonesia

Sangat miris, mendengarkan Indonesia berhasil meraih nominasi 10 besar Negara ter-Korup di dunia. Sebagaimana dilansir oleh sebuah lembaga penelitian ekonomi independen terdahulu yang berasal dari Hongkong--Independent Comitte Anti Corruption (ICAC). Hal ini dikuatkan oleh penelitian Transparency International (TI) yang bermarkas di Berlin. Bahwa 10 negara paling korup tersebut adalah Nigeria, Pakistan, Kenya, Banglades, Cina, Kamerun, Venezuela, Indonesia, Rusia, dan India.

Kenyataan yang lebih menyakitkan, peringkat itu ternyata mencapai titik puncak pada tahun 2001. TI menobatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terkorup di dunia. Bahkan, survei PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, menyimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia (http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/). Sungguh menakjubkan! Layakkah dijadikan sebuah indikator kebanggaan? Tentu tidak!

Penanganan kasus korupsi di Indonesia kini semakin terlunta. Bahkan tak jarang menuai sesat. Buntu! Inilah parade kehidupan yang mewarnai perjalanan bangsa kita. Memang, Indonesia tak tinggal diam dan berbangga hati menyabet prestasi-prestasi konyol itu. Keresahan dan ketidakterimaan beberapa rakyat dan pemerintah Indonesia pada khususnya, sepatutnya meninggalkan seberkas tanda syukur di hati kita. Dengan mengusung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang dikhususkan untuk menangani kasus-kasus korupsi, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), lembaga khusus untuk mengawasi perputaran uang Negara, dan atau (Waskat) (Pengawasan Melekat) di instansi-instansi atau slogan-slogan lainnya. Kesemuanya tercipta dengan harapan bisa menjadi titik terang dalam kegelapan yang telah terlanjur ada. Memberantas budaya korupsi yang semakin menjamur.

Tak salah, harapan memang tak selamanya terkabul. Mungkin, rakyat Indonesia diciptakan untuk menangguhkan sikap sabar dalam dirinya. Bersabar menanti mimpinya menjadi nyata. Melihat bangsanya terbebas dari cengkeraman tangan-tangan korupsi.

Membumihanguskan Budaya Korupsi

Sudah banyak kata yang terangkai untuk menebas budaya korupsi di Indonesia. Sudah banyak kalimat yang tersusun demi merumuskan kiat penghapusan korupsi yang kian merebak. Namun, susunan kalimat itu hanya sebuah wacana indah belaka. Retorika manis yang memang siap dan akan selalu siap tuk diumbar. Tapi, apa guna keindahan retorikas tanpa ada sebuah pengaplikasian?

Efek samping korupsi, kini telah dirasakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Tetapi sayang, sangat jarang yang dapat merumuskannya. Alhasil, ungkapan itu tak dapat diintegralkan menjadi strategi dalam pemberantasan korupsi. Jadi, sudah saatnya ada langkah konkret yang bisa kita lakukan. Sekali lagi: ‘yang kita lakukan’, bukan ‘yang kita tawarkan’. Sistem apapun, sebaik apapun ia, jika tak ada wujud konkret, terkesan sia-sia saja. Bukankah UUD sekalipun tak akan bermakna jika tidak diaplikasikan? Pancasila juga begitu. Pemberantasan kasus korupsi pun demikian. Undang-undang Korupsi baru, UU No. 3/1971 kini telah hadir. Namun, ia tak ada bedanya dengan sebuah wacana biasa jika tak ada kesadaran tuk mengimplementasikannya. Bukan saatnya lagi mengkambinghitamkan siapapun atas menjamurnya tindakan konyol ini. Bukan zamannya lagi menyalahkan siapapun atas menjalarnya jiwa-jiwa koruptor. Penanganan masalah korupsi telah diatur dalam UU No 3/1971. Kebijakan pemerintah pun sudah jelas. Wajar, jika Selo Sumardjan, saat ditanya oleh M. Yusuf A.S. dari MedTrans tentang bagaimana caranya memberantas korupsi di Indonesia. Ia hanya menjawab pendek, "Ambil tindakan!!" Hanya satu yang bisa menjadi penangkal: diri sendiri. Karena sesungguhnya pilihan itu hanya ada 2: mau atau tidak. Dan pilihan itu selalu ada di tangan kita.

"Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia." Begitu yang diungkapkan ahli sosiologi terkemuka, Selo Sumardjan, dalam pengantarnya untuk buku ‘Membasmi Korupsi’ karya Robert Klitgaard (1998). Tentu bukan orang-orang berjiwa ‘NATO’ (red: No Action, Talk Only) yang kita harapkan. Tapi orang-orang yang mau bertindak untuk membumihanguskan budaya korupsi yang terlanjur ada. Jika korupsi benar telah dijadikan sebuah budaya, maka wajar saja pelestarian itu terus menerus berlangsung.

Di tengah kondisi riil saat ini, harus ada pilar yang menyangga. Dan kesadaran pribadi adalah obat paling mujarab dalam menangkal penyakit ganas itu. Adanya sikap ‘menghalalkan segala cara’ yang semakin fenomenal, cukup menjadi indikator rendahnya moral bangsa. Tak salah lagi pernyataan Octariano: kita harus memiliki kesadaran moral yang kokoh, yang dapat dimanifestasikan melalui cinta diri. Yang dimaksud tentulah bukan egoisme dan individualisme, melainkan cinta akan kemanusiaannya. Cinta semacam ini akan mendorong diri kita mencintai orang lain. Octariano menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul "Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permesif: Topeng Relativisme moral Praktis". Moral, adalah pedoman setiap insan dalam meniti kehidupan. Karenanya, ini bisa menjadi salah satu kunci utama kesadaran diri (self awareness). Langkah jitu dalam membumihanguskan korupsi.

“ Tak seorangpun dapat kembali ke masa lalu untuk memulai awal yang baru, tapi setiap orang dapat memulai hari ini untuk membuat akhir yang baru…”

*)Pernah diikutlombakan dalam Lomba Jurnalistik Nasional Badan Pers Nasional (BPN) ISMKI

**)Penulis adalah Ketua Umum FLP(Forum Lingkar pena) Unhas, Makassar,

Aktivis PII(Pelajar Islam Indonesia), juga mahasiswi Ners Unhas.


Tidak ada komentar: