must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Rabu, 16 Desember 2009

Indahnya Berbagi

Oleh: A. Saputri Mulyanna


Waktu terus berdetak. Tak pernah menengok ke belakang, apalagi berhenti. Sedetik pun tak pernah. Lambat dan pasti, ia terus menjalankan titah Tuannya. Tak membantah dan mendebat, meski menghadapi dunia yang tak pernah berhenti berdebat. Waktu tak pernah menyerah dan angkat tangan, meski terkadang ada yang menghujat geraknya. Ia terus berspekulasi dengan tugas dan tanggungjawabnya. Menyediakan 24 jam dalam sehari sebagai modal awal bagi makhluk-Nya untuk bertarung dalam peta kehidupannya masing-masing. Meski ia tak tahu, bahkan mungkin tak mau tahu, untuk apa orang-orang memanfaatkan dirinya. Yang jelas, ia telah menjalankan tugas, menisbahkan dirinya untuk dimanfaatkan; baik atau buruk. Terserah kalian, mau memanfaatkan aku seperti apa. Yang jelas, aku sudah menghibahkan diriku untuk kalian. Mungkin begitulah jika waktu ingin berlisan.

                sekali lagi- Siapa pun di dunia ini, semua akan mendapat jatah waktu 24 jam dalam sehari. Sama! Itu adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat digugat. Kita –pemberdaya waktu- adalah Sang Musafir yang terus berkelana, menyusup dari lorong waktu yang satu ke lorong waktu berikutnya. Pernyataan ini cukup memberikan artikulasi yang cukup tegas, bahwa waktu dapat menjadi modal besar untuk mencetak karya terbaik, membuka kunci kesuksesan. Namun, tidak tepat jika waktu dijadikan sebagai barometer penentu kesuksesan seseorang. Bukankah –sekali lagi- waktu kita sama? Sama-sama 24 jam dalam sehari? Yang membedakan adalah pemanfaatan kita terhadap waktu itu. Apakah dalam 24 jam itu telah kita maksimalkan atau tidak. Cukup. Pembicaraan kita tentang waktu saya rasa sudah cukup. Selanjutnya, mari kita bercerita tentang salah satu parade kehidupan yang sempat terlakoni oleh Sang Musafir dari salah satu lorong waktu yang telah terbentang.
***

Sabtu, 12 Desember 2009
                Pertemuan ke-2 bergelut di salah satu tempat bimbingan belajar sebagai seorang tentor. Jika awalnya Dewi masih terasa asing untuk menginjakkan kaki di gedung ini, sekarang ia sudah mencoba untuk beradaptasi. Dengan tidak mengasingkan diri tentunya. Beradaptasi dengan suasana lingkungan barunya: dengan tentor yang lain, dengan siswa-siswinya, dengan lingkungan ruang kerjanya, dan bahkan beradaptasi dengan perputaran waktu hidupnya itu sendiri. Semua kini terlakoni dengan izin-Nya.
Hari ini, Dewi mendapat  jadwal untuk mengajar anak SD (tepatnya kelas 5 dan 6). Dan inilah kali pertama Dewi berhadapan langsung dengan anak-anak lugu itu. Meramu kisah dalam balutan suasana formal di sebuah kelas. Perannya sebagai seorang instruktur di organisasi yang digelutinya, tetap membuatnya sedikit linglung menjamu bocah-bocah polos itu. Maklum, selama ini Dewi hanya terbiasa menghadapi anak-anak SMP, SMA, hingga mahasiswa, dalam bingkai pentrainingan. Kekritisan, keseriusan, hingga pelafalan kalimat-kalimat ilmiah yang biasa terucap dalam ruang kelas, kini harus terganti. Kisah kali ini harus dikemas secara ringan dan santai, tapi tetap harus tepat sasaran. Bahasa tingkat tinggi yang biasa terlontar dalam setiap sesi pentrainingan pun harus berganti menjadi bahasa sederhana. Sesederhana mungkin.
                Dua jam berlalu. Waktu mengajar selesai. Akhirnya, tantangan untuk berhadapan dengan anak SD hari ini berhasil Dewi taklukkan. Dan hasilnya,,, cukup memuaskan! Dengan langkah tegak penuh semangat, Dewi meninggalkan gedung itu. Sambil terus membatin. Berdialog dengan ruang pribadinya; Sangat seru ternyata bergabung dengan dunia mereka dalam forum formal seperti ini. Meski bawaannya harus di non-formalkan terus selama bersama mereka. Yang kemudian menyeret aku untuk menerapkan kurikulum ‘Bermain sambil belajar’. Mungkin sudah sejak dulu telingaku sudah tidak asing lagi dengan metode seperti itu. Dan saat inilah metode itu harus aku aplikasikan. Ya, diaplikasikan untuk orang lain, bukan untuk diriku pribadi. Aku akhirnya mendapat pelajaran penting dari mereka. Kuluman senyum pun berulang kali tergambar di balik wajah Dewi, sembari menatap tajam Sang Raja Siang di ufuk sana yang sebentar lagi beranjak dari peraduannya.
Dalam perjalanan pulang, Dewi terus merekam moment yang baru saja ia lakoni bersama murid-murid barunya. Tak henti ia terus berspekulasi dalam hati; satu pelajaran penting yang aku dapatkan dari bocah-bocah lucu itu. Dan itu tidak aku dapatkan dalam mata kuliahku di kampus: Indahnya Berbagi! Episode kehidupan selama kurang lebih 2 jam ini, secara tidak sadar menghentakkan alam bawah sadarku tentang titik substansial ketika kita bisa berbagi dengan orang lain. Jujur, kali ini aku merasa ilmu yang kumiliki berguna setelah melakukan proses transformasi kepada mereka. Yang sebelumnya, terkadang aku berpikir bahwa ilmuku biasa-biasa saja. Dan saat ini, aku telah menjadikan yang biasa itu menjadi luar biasa di mata mereka. Transformasi ilmu itu lahir antara aku dengan mereka, bocah SD itu. Bocah dengan segala keluguannya, namun menyisakan banyak makna dibalik gerak polosnya. Aku mencoba untuk men-transfer apa yang aku ketahui tentang sub pelajaran pada saat itu. Dan mereka pun telah men-transfer keceriaan, keseriusan, keikhlasan, kesabaran, kebersamaan, kesopanan; kepada aku. Meski ke-6 sub Bab yang ia berikan itu terbingkai indah dalam sebuah ‘keluguan’. Mereka menyentil kesadaranku tentang efek fundamental dari sebuah “keceriaan, keseriusan, keikhlasan, kesabaran, kebersamaan, dan kesopanan”. Mungkin, masih banyak lagi sub Bab lainnya, tapi paling tidak yang ke-6 itulah yang bisa kudapatkan pada pertemuan ini. Dan kesemua itu, ternyata bermuara pada 1 Bab utama: ‘Indahnya Berbagi’.  
Begitulah, Dewi terus membatin. Mencerna alur hidup yang baru saja ia lakoni. Ucapan Ibunya yang pernah terlisan beberapa tahun yang lalu, kini ikut menjelma dalam ruang pikirnya. Ilmu itu akan bermanfaat ketika kita membaginya dengan orang lain, Nak. Ilmu yang kita miliki itu akan sangat terasa ketika kita telah membaginya kepada orang lain. Kalimat itu terbukti!
***

Terkadang, apa yang kita anggap biasa akan menjadi luar biasa di mata orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat orang lain? Dan menjadi pertanyaan sederhana untuk kita, seberapa banyak yang telah kita persembahkan kepada orang lain pada hari ini? Seberapa banyak orang yang telah tersenyum karena diri kita? Adakah orang di sekitar kita yang merasa mendapatkan manfaat atas keberadaan diri kita? Atau, jangan-jangan yang terjadi justru sebaliknya. Kita telah menjadi momok di mata mereka yang terus dihindari, bahkan dilupakan. Atau kita telah menjelma menjadi orang yang terus membawa kekesalan, melahirkan kebencian dan mendatangkan musibah di mata mereka. Semoga tidak!
Bukankah kesuksesan hakiki adalah ketika kita mampu merasakan kebahagiaan? Dan ternyata, salah satu sumber kebahagiaan itu adalah ketika kita telah berbagi dengan orang lain. Senyum yang terpancar dari orang lain, akan menyusupkan kebahagiaan yang murni dalam jiwa kita. Coba ketuk sedikit daya ingat kita, saat beberapa hari yang lalu ketika kita bertemu dengan seorang bocah dekil di perempatan jalan, saat mobil yang kita tumpangi dicegat oleh lampu merah. Di tengah terik siang yang sangat mencekik, ia datang dengan penuh harap memamer belas kasih. Dibalik kaca mobil, terpantul wajah kusam-kerutnya penuh iba. Hingga akhirnya ia berhasil mengetuk nurani kita yang terdalam. Dan kita pun membuka kaca mobil dan mengulurkan tangan untuk memberi recehan yang masih tersisa di saku depan tas, atau recehan yang sedang tergeletak pasrah di dasboard mobil. Meski dalam jumlah yang tak bernilai menurut kita, tapi ternyata yang tak bernilai itu justru telah membuatnya sangat berkesan. Hingga terlampiaskan dibalik wajah dekilnya; senyum tulus, lepas, penuh rasa. Saat itulah, terjadi transformasi rasa. Terpantul bahagia yang seketika memancarkan sinar dalam hidupnya. Semua muncul dibalik recehan tak bernilai itu. Efek gravitasi akhirnya terbukti. Rasa bahagia yang tertanam dibalik wajahnya, ikut mengalir dalam diri kita. Senyum tulus yang ia pertontonkan, telah mewujud menjadi satu rasa dalam diri kita: bahagia! Kepenatan yang mungkin sebelumnya melekat pada diri kita, seketika luluh oleh senyum tulus itu. Maka, benarlah rumus yang telah dituliskan oleh Mas Nunu dalam Quantum Ikhlasnya: Memberi = Menerima. Tidak logis, tapi benar. Setidaknya, senyum yang terwujud itu adalah bukti penerimaan atas pemberian yang telah kita berikan.

***

Dikemas kembali pada: Kamis, 21042011: 01.03
Dalam ruang imajinasi hidup yang terus menjelma.