must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Sabtu, 25 April 2009

Menulis: Mozaik Yang Tak Pernah Pudar Oleh: Yana Yan*)

“Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian...”
(Pramoedia Ananta Toer)

Panorama hidup terus saja menggelinding. Bersama waktu, ia mengalir. Menjejaki hari dalam setiap bingkainya. Tak ada yang mampu menyetelnya, selain kehendak Sang Pencipta. Berbagai warna terus tertoreh dalam bingkai yang kita sebut kehidupan. Wacana-wacana juga hadir menghiasi setiap sudutnya. Membahana dalam ruang dengar kita. Mengumbar berbagai cerita yang telah terpotret dunia. Seiring berputarnya waktu, sejarah akhirnya terangsang untuk mencatatnya. Biar ia tak punah ditelan masa. Dan kata, kemudian mengikatnya dalam sebuah bingkai yang kita sebut tulisan.

Mengukir Sejarah Lewat Tulisan
Menulis, artinya mengartikulasikan peradaban manusia dalam sebuah media. Menjadikannya abadi, tanpa takut tertelan masa. Realita pun terus dikenang. Meski sandiwara-sandiwara hidup terus saja bermain dengan sangat liarnya.
Sekedar merenungi sejarah masa silam, tahun 2001, seolah menjadi milik DR. 'Aidh al-Qarni. Kala bukunya “La Tahzan”, menjadi best seller. Namanya menjulang tinggi. Lima tahun berikutnya (tahun 2006), kesempatan emas berpindah tangan ke Habiburrahman El Shirazy. “Ayat-Ayat Cinta” miliknya, menjadikannya bagai raja pena. Seolah tak ada yang tak mengenal dirinya. Semua terangsang membedah karya mega-best seller itu. Tak berapa lama kemudian, terlahir lagi Andrea Hirata. Melalui novel tetraloginya (Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi, dan Maryamah Karpov), namanya pun mendulang. Mereka genggam kejayaan lewat menulis. Mereka ukir sejarahnya lewat tulisan.

Karena Kata Tak Pernah Mati
Sedikit menoleh kebelakang, melihat perjalanan sejarah bangsa ini. Bung Karno, presiden perdana Republik Indonesia. Banyak sejarah yang ia ukir. Bukan hanya lewat teriakannya sebagai seorang orator ulung. Tapi lebih dari itu, ia kugkung sejarahnya diatas sebuah kertas. Ia museumkan kisahnya melalui goresan pena. Dan lihatlah, Indonesia masih mengenalnya, hingga saat ini. Gaung Bung Karno masih terdengar. Bung Karno masih hidup!
Tengok pula seorang Soe Hok Gie. Pergulatan pemikiran dan perjuangan Sang revolusioner itu hadir ditengah karyanya. Satu diantaranya adalah Catatan Seorang Demonstran. Perjalanan hidup seorang Gie dapat kita jamah. Fenomena-fenomena besar dalam hidupnya ia muntahkan dalam setiap lembaran tulisannya. Ia tancapkan kisahnya di Gunung Semeru dengan penanya. Gie menggulirkan bongkahan batu di dalam dadanya, dan menjadikannya gerak nyata dengan menulis tinta. Lagi-lagi, pena menghidupkannya. Ia menunjukkan sebuah teater spektakuler dalam memainkan sandiwara hidupnya.
Meski waktu demikian panjang, tapi ruang kita sungguh sangat terbatas untuk menjejaki semua ceritanya. Maka, tak berlebih jika kita membiarkan tulisan-tulisan itu berkata. Biarkan sejarah mencatatnya, mempropagandakan nilai-nilai kebaikan. Karena kata tak pernah mati!

Yang Tertulis Akan Abadi Sebagai Pesona Perlawanan
Napoleon Bonaparte, panglima perang Perancis tersohor bahkan pernah takut dengan pena. Katanya, dia lebih baik berhadapan dengan seratus orang bersenjatakan bedil, daripada harus berhadapan dengan sebuah tulisan pena seseorang. Sang Napoleon seolah menegaskan, betapa dahsyatnya makna sebuah tulisan. Hingga ia mampu disandingkan dengan sebuah senjata bedil, bahkan mampu melebihi kekuatannya.
Lihat saja bangsa ini. Zaman penjajahan membangkitkan asa para pejuang kita dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan. Mereka menyeret langkah melawan kemunafikan-kemunafikan. Tengoklah Bung Karno, Sultan Hasanuddin, R.A. Kartini, Chairil Anwar, dan masih banyak lagi. Kisahnya sampai saat ini masih terdengung dalam benak kita. Karena sejarah telah mencatatnya. Dan hingga kini, mereka tetap menyisakan catatan-catatan emas yang masih tersimpan rapi dalam lembaran-lembaran buku sejarah kita.
Kawan! Sudah sepantasnya kita mengukuhkan diri melalui sebuah karya. Sudah saatnya kita mencegah terjadinya kemandulan berkarya. Ketika rahang tak lagi mampu menggertak, biarkan tulisan menggertaknya. Menikam segala bentuk kebiadaban zaman. Mengguyur segala bentuk ketidakadilan dengan sejuta makna yang terkandung. Merogoh segala bentuk puncak ketegangan. Menenggelamkan multikrisis yang kian menempa. Dengan mengusung sendi-sendi kebajikan. Mengumpulkan puing-puing kebenaran yang masih berserakan. Membentuk sebuah dinamika hidup yang abadi dan bermoral. Jadikan ia sejarah yang layak untuk diwariskan. Biarkan ia menjadi prasasti-prasasti indah yang siap tuk dikenang di kemudian hari. Agar generasi tak akan tersesat, meski dalam negaranya sendiri.
Jangan pernah menyumbangkan diri kita sebagai manusia yang berintellectual abortus, seperti yang pernah diungkapkan oleh Jabir, dalam menjabarkan pemikirannya tentang Sketsa Pemikiran Soe Hok Gie. Dan tahukah siapa intellectual abortus itu? Dialah orang-orang yang terlalu cepat mati (mati muda) sebelum sempat melakukan kerja besar dari pemikiran-pemikirannya.
Sekali lagi kawan, menulislah ! Jangan biarkan kertas-kertas putihmu kosong melompong, tanpa bekas sedikitpun. Jangan biarkan hatimu resah melihat ketidakberesan dunia. Jangan biarkan kebusukan-kebusukan hidup berlalu begitu saja, dan hilang diterpa angin tanpa menyisakan jejak sedikitpun. Bangkitlah dari mimpi-mimpi kosong. Jangan biarkan ketakutan seorang Taufik Ismail menjadi nyata. Menyaksikan Indonesia semakin giat melahirkan generasi yang pincang menulis. Teruslah berkarya, dan biarkan dunia melihatnya. Karena aku, kamu, kita semua,,,adalah Sang Penulis Sejati. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian. Tak penting seberapa banyak kesempatan yang kita miliki. Yang terpenting, seberapa banyak kesuksesan yang kita toreh dari setiap kesempatan yang kita punya.
Dan, izinkan kuakhiri goresanku dengan mengutip tulisan Soe Hok Gie (And The Sixth Rider is The Fear) dalam Zaman Peralihan yang mengomentasi tentang rasa takut, : ” Manusia, adalah apa yang dipikirkannya. Jika anda adalah seorang yang berani dan jujur, dan itu yang anda pikirkan, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengubahnya.”
***
Makassar, 19 April ‘09

Selasa, 21 April 2009

Sajak-sajak Yana Yan

Jejak Sejarah Hari Ini

Pesta demokrasi baru saja dirayakan
Hati, mungkin mulai resah
Menanti apa jawabnya gerangan
Tak ada yang tahu
Apa yang terjadi besok, lusa, dan seterusnya
Namun,
Dengan segenap pengharapan,
rakyat terus menanti
Dengan penuh kesabaran,
rakyat terus meringkih
Adakah mimpi yang kelak nyata?
Melihat negerinya menjadi bersih,
dari noda yang selama ini tak pernah lekang

Kini,
Sejarah mulai terangsang
Mencatat segala fenomenanya
Mengukir cerita tuk hari esok
Ya, hari ini
Kan menjadi bagian kenangan masa depan
Adakah cerita indah untuk kita sisakan?
Tuk kita ceritakan
Buat anak cucu kita kelak??


Cerita tentang Rakyat


Rakyat terus mengusung kebenaran
Tapi pecuma, keadilan tak berpihak
Rakyat terus mengusung kedamaian
Tapi sayang, perdamaian tak menoleh
Rakyat terus mengusung nasionalisme
Tapi miris, orang-orang tak pernah paham
Rakyat terus mengusung kesabaran
Tapi nihil, orang-orang tak pernah sadar

Kini, rakyat hanya bisa menjerit
Meringkih dalam dekapan keluarga
Sembari menyembunyikan asa
Dan menggelindingkan ego
Karena Kau tak pernah tahu
Dan semoga bukan karena tak mau tahu