must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Selasa, 11 November 2008


Tema: Tawaran Solusi Akademika terhadap lingkungan saat ini

Only One Earth

“ Tak seorangpun dapat kembali ke masa lalu untuk memulai awal yang baru, tapi setiap orang dapat memulai hari ini untuk membuat akhir yang baru…”

Sebuah fakta yang tak dapat terelakkan, Indonesia yang katanya kaya akan sumber daya alamnya justru tak mampu memberikan kesejahteraan sepenuhnya. Sangat ironis memang. Sawah terbentang luas. Bahkan dengan bangganya kita memamerkan padi-padi yang sudah kuning keemasan siap panen. Hutan dengan segala sumber produk didalamnya, turut menambah kekayaan itu. Pohon-pohon pun berjejer rapi dari Sabang sampai Merauke. Laut juga terhampar dari utara ke selatan, pun dari barat ke timur. Seolah ingin meneriakkan ke seluruh pelosok bumi: “Lihatlah aku!!”
Seiring bergulirnya waktu, ternyata kekayaan itu hanya menyisakan luka yang tak sepantasnya dimiliki oleh sebuah negara yang bermodal tinggi, layaknya Indonesia. Sadar atau tidak, terkadang hujan tak lagi menjadi rahmat bagi kita. Hujan baru beberapa hari saja turun, musibah banjir sudah menebarkan kesedihan dan menyisakan air mata. Curahan hujan dari langit secara langsung menjelma menjadi banjir yang tak bisa terbendung. Banjir menghancurkan sawah, kebun, tanaman. Tak hanya itu, nyawa bahkan bisa menjadi taruhannya. Longsoran tanahpun menyusul dan menambah petaka untuk dipikul masyarakat. Akhirnya, segala bentuk kekayaan tadi hilang tak bermakna. Hal ini tak hanya berlaku untuk kalangan ke bawah saja. Kalau bumi sudah mengamuk, tentu semua kalangan turut merasakan. Tengok saja pengalaman kemarin, saat Tsunami menyapa kota Aceh dan sekitarnya. Ia hadir sebagai peristiwa yang telah mencuri perhatian seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dunia bahkan dibuatnya sedikit menoleh. Nah, tak ada diskriminasi atas siapa yang akan menjadi korban. Si Kaya dan Si Miskin, sama-sama menanggung susah. Mungkin saat ini kita masih bisa tersenyum saja melihat bencana-bencana itu. Kita masih bisa mengeluarkan tawa meski isu ”Global warming” lagi marak-maraknya di bahas di beberapa sudut dunia.
Namun, adakah senyum dan tawa itu kita miliki ketika bencana-bencana itu tlah ada di depan mata kita ? Pasti tidak! Tentu kita akan merasakan hal yang sama dilakukan oleh korban amukan bumi itu. Sedih! Potensi malapetaka dahsyat secara perlahan atau bahkan mulai agak cepat, pasti akan menjadi ancaman bagi kita sendiri. Ada apa?? Marahkah Tuhan atas tindakan kita? Atas keegoisan kita? Atas kesombongan kita?Dan bahkan atas kerakusan kita? Memperlakukan semaunya tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun dari kita. Setelah dengan enaknya menikmati segala kekayaan didalamnya..!!! Tidakkah terbersit rasa malu dalam diri kita sedikitpun kepadanya. Kepada bumi itu, sumber dari segala kebutuhan kita. Sejuta tanya mungkin sempat terbendung dalam benak kita. Benarkah Indonesia ditakdirkan dengan kondisi demikian? Mungkinkah hal ini telah menjadi takdir Tuhan yang tak dapat lagi diubah? Rasanya sangat sulit untuk mengiyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bukankah Tuhan sendiri yang mengatakan, bahwa Ia tak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri.1) Lantas, apa yang mesti kita lakukan sekarang? Melongo dan terus menikmati sisa-sisa kekayaan bumi ini? Semoga tidak! Sangat naif, jikalau kita menjadikan orang sebagai tumbal atas sikap kita. Kita yang berbuat, pastinya kita yang bertanggung jawab.
Mari kita amati pernyataan Alm. Mansyur Semma, seorang pengamat politik Universitas Hasanuddin: “Bila ada kebijakan nasional menanam sejuta pohon sebagai simbol kepedulian memeliharan lingkungan dan mengurangi pemanasan global, maka perlu ada kebijakan nasional untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan puluhan juta anak-anak, perempuan, jompo, dan penyandang cacat. Bukankah kebodohan dan kemiskinan menjadi sumber masalah bagi rendahnya kesadaran terhadap lingkungan hidup?” 2)
Memaknai pernyataan Beliau, tak bisa dipungkiri bahwa kesadaran lingkungan kita memang masih rendah. Keserakahan masih tak terkendali. Sengaja atau tidak, ternyata bumi ini kian menderita. Benarkah ’kerusakan alam’ ini adalah hasil ciptaan manusia sendiri? Tapi, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi? Dan apa yang mesti kita perbuat untuk memberikan solusi yang terbaik demi kelestarian sebuah lingkungan hidup? Mungkin, jika dikaitkan dengan kemiskinan dan bagaimana masyarakat harus berpikir untuk mengenyangkan ‘perut’, hal inilah yang menjadi sebab utama mendorong penduduk menguras alam sehingga merusak lingkungan, sebagaimana apa yang dituliskan oleh Alm. Mansyur Semma di atas. Jika disebutkan bahwa jumlah orang-orang miskin di Indonesia telah mencapai puluhan juta orang (Bank dunia menulis angka 49 juta)3), maka ’kemarahan alam’ ini semakin menambah jumlah itu. Dalam keadaan susah begini, sungguh tega para perusak hutan. Jangankan turun tangan membantu rakyat yang jadi korban, mereka bahkan rame-rame atur siasat baru untuk pindah lokasi menjarah dan merampok alam. Sungguh memprihatinkan! Jangan sampai kerusakan alam ini adalah hasil ciptaan manusia sendiri.
Kita boleh berdalih bahwa mereka, Sang Penjarah hutan itu, juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. No bodys perfect. Betul! Tapi jangan sampai kita hanya membiarkan kasus itu mengalir begitu saja tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Kita tentu tak ingin membiarkan angin menghapus jejak kelam itu begitu saja. Sederet kasus dan peristiwa yang pernah menerjang Indonesia, idealnya menjadi sampel buat kita. Layaknya dalam kehidupan manusia, semakin banyak masalah yang menyerang, semakin banyak pula peluang baginya untuk menjadi sosok manusia dewasa. Lahirnya sederet masalah dan peristiwa, tentu akan memberikan peluang yang besar pula kepada kita untuk bersikap lebih dewasa. Tentu jika kita memang berniat untuk lahir menjadi pribadi dewasa. Setiap bencana yang terjadi hendaknya menjadi cermin lebar buat kita, buat masyarakat Indonesia. Sebagai benda mati, cermin itu tentu tak akan menghampiri kita untuk memantulkan bayangannya. Jadi, kita yang harus berkaca pada cermin itu. Berkaca pada setiap masalah dan peristiwa yang telah terlanjur ada. Jangan sampai kita terus terjatuh pada lubang yang sama.
Mengutip teori 3 M-nya Aa Gym: “Mulailah dari hal yang terkecil, Mulailah dari sekarang, dan Mulailah dari diri kita”. Mungkin terdengar sangat sederhana buat teman-teman, tapi tidak untuk saya. Teori ini mengandung makna yang begitu dahsyat buat saya. Bukankah untuk melakukan sebuah perubahan selalu dimulai dari hal-hal yang terkecil? Benar pepatah yang mengatakan: “Ala bisa karena biasa”. Di tengah kondisi real saat ini, harus ada penerapan sikap yang harus kita laksanakan. Karena itu bukan menyangkut masalah kepentingan siapa mendapatkan apa. Sekecil apapun usaha itu, pastinya akan sangat membantu mengatasi penderitaan bumi kita satu-satunya. Jangan sampai Indonesia terus kecolongan bencana. Setiap bulan bukannya berganti musim, tapi justru berganti korban dan bencana. Semoga tidak! Kalau bumi ini tenggelam, kemana lagi kita akan mengungsi?
Think globally, act locally. Berpikirlah secara global, dan berbuatlah secara lokal. Ungkapan ini sepertinya sudah tak asing lagi di telinga kita. Saat dimana isu Global Warming lagi marak-araknya diperbincangkan, orang-orang ramai meneriakkan: Think globally, act locally! Lantas, sejauh mana implementasi dari teriakan itu? Tentu bukan teriakan-teriakan lagi yang kita perlukan. Bukan perdebatan lagi yang kita nantikan untuk keluar dari masalah ini. Retorika-retorika seindah apapun bentuknya, hanyalah sebuah fatamorgana belaka tanpa ada pengaplikasiannya. Sebab, dalam sejarah manusia, pengaplikasian itu jauh lebih penting.
Berbicara tentang sebuah pengaplikasian, tentu tak lepas dari sebuah kesadaran. Memang tak gamblang berbicara tentang sebuah kesadaran. Karena hal itu akan kembali kepada setiap individu. Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing untuk lebih bersikap arif. Begitupun cara kita menyikapi segala permasalahan yang ada. Termasuk permasalahan lingkungan hidup yang tak pernah kunjung usai. Jangan sampai lingkungan itu sendiri yang memberitahu kepada kita bahwa setiap bencana alam yang terjadi adalah karena ulah tangan kita sendiri. Lalu selanjutnya kita saling lempar tanggung jawab. Apa kata dunia?!!
Berdasarkan fenomena tersebut, di manakah bentuk tanggung jawab kita? Sebagai bahan renungan: Pikirkan apa yang dapat kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Dan apa yang dapat kita katakan kepada mereka. Atau lingkungan hidup yang seperti inikah yang akan kita wariskan kepada mereka? Akhir dari sebuah permasalahan, tentu akan tuntas dengan adanya solusi jitu. Solusi yang tak hanya sekedar solusi. Tapi solusi yang terus diperbaharui. Solusi yang memiliki tindak lanjut ke depannya. Hal terpenting adalah adanya penerapan kesadaran seluruh elemen masyarakat. Kesadaran akan arti pentingnya peranan lingkungan hidup. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan dalam dan luar sekolah. Disini, pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam merealisasikannya. Alternatif lain adalah perlunya penyuluhan dan kerjasama kemitraan antara Lembaga Masyarakat. Dengan pertimbangan bahwa kesadaran lingkungan tak hanya milik kaum pelajar saja. Tapi juga kepada lapisan masyarakat. Alasan lain, perlu penerapan persyaratan AMDAL dalam dunia bisnis. Misalnya dalam proses pembangunan. Jangan sampai, peningkatan kegiatan pembangunan dewasa ini justru berperan utama dalam kerusakan lingkungan.
Kawan! Masyarakat kini semakin kritis. Tanpa disadari, ternyata perkembangan pembangunan hanya menyisakan momok menakutkan bagi sebagian masyarakat. Akankah pembangunan ini memberi keuntungan? Akankah pembangunan itu dapat mendamaikan, memadukan, dan menyelaraskan bisnis dan profil lingkungan yang sehat, aman, dan produktif ? Atau justru hanya membawa malapetaka?
Andai semua elemen masyarakat bisa bersatu untuk menyelamatkan bumi yang tunggal ini. Andai semua elemen masyarakat punya kesadaran untuk bersikap lebih arif terhadap bumi satu-satunya ini. Tapi, bukan saatnya kita berandai-andai. Sekaranglah saatnya kita bergerak melakukan sebuah perubahan!
Akankah keindahan bumi pertiwi hanya menjadi kamuflase yang tak kunjung ada? Semoga tidak! Kalau memang ingin bersikap untuk memberikan solusi yang terbaik demi kelestarian sebuah lingkungan hidup, maka mulailah sekarang. Do it now!
“Kegelisahan akan kehidupan terkadang membuat kita tak lagi berpikir jernih. Kegelisahan yang bersumber dari keprihatinan atas kondisi sekitar akan menjadi modal utama untuk bergerak dan tak hanya tinggal diam”


1) dalam Q. S. 13:11
2) dibawakan dalam sebuah talk show tentang Global Warming @ PKPUnhas, tahun 2007
3)(FAJAR, Rabu 28 Novemeber 2007)



*) Penulis adalah Aktivis FLP Ranting Unhas,
Mahasiswi Ners A’ 07 Unhas

Minggu, 09 November 2008

Mimpi Yang Sempurna

Sinjai, 21 Juni 2008)

Segala sesuatu berawal dari niat. Niat menjadi acuan atas segala tingkah. Niat adalah cermin atas sikap yang akan kita ukir nantinya. Kala niat itu baik, maka goresan yang diukir pun akan baik. Niat tak jauh beda dengan motivasi. Selalu ada yang membuat kita semakin semangat untuk berbuat. Kita sekolah, tentu ada motivasi. Kita membaca, tentu ada motivasi untuk apa kita melakukanya. Bahkan, kita makan pun tentu ada motivasi yang menjadi dasar. Semua butuh motivasi, termasuk ketika kita menulis. Untuk apa kita menulis? Kebutuhan ekonomi yang semakin mencekikkah? Pengembangan bakatkah? Atau hanya sekadar mengisi kekosongan waktu?
Setiap orang punya motivasi tersendiri dalam menggoreskan penanya. Taufik Ismail menulis karena berniat menyambung kembali mata rantai sastra yang hampir terputus. Mengeluarkan masyarakat Indonesia dari generasi nol buku. Habiburrahman El Shirazy ingin mengeluarkan bangsa dari kebejatan moral yang mengintainya. Taufiq Ismail dan Kang Abik menulis untuk perubahan. Perubahan untuk mencerahkan. DR. 'Aidh al-Qarni, penulis La Tahzan, menulis karena ingin menjauhkan setiap insan dari bayang-bayang kesedihan, kecemasan, dan keputus-asaan hidup. Saya. Untuk apa saya menulis? Segudang alasan saya siapkan untuk menjawabnya. Pertanyaannya memang teramat simpel. Tapi butuh jawaban yang sangat kompleks.
Bagi saya, menulis adalah sarana yang paling mudah untuk berbagi. Semacam terapi instan kala stress mendera. Wadah mengeksplorasi selangit ide dan imajinasi tanpa batas. Juga medan dalam melatih kepekaan diri dan nurani. Menulis adalah upaya mengristalkan alam pikiran dalam lembaran-lembaran kertas. Mencipta kecerdasan yang kreatif. Menulis bagi saya merupakan bukti nyata atas segala ide yang sempat terucap. Juga sebagai tempat pengaplikasian diri dengan segala idealisme yang kita pegang.
Untuk sebagian orang, menulis dijadikan sebagai ajang mengumpulkan uang. Dunia komersialisasi terjamah olehnya. Salahkah hal demikian? Saya rasa tidak. Sah-sah saja tentunya. Saya pun tak bisa menafikan hal itu. Bukankah Joni Ariadinata memilih menulis untuk melawan keganasan kebutuhan ekonomi? Bukankah Asma Nadia tergugah hati menjadi penulis untuk menyelamatkan keluarga dari ketidakberdayaan kemiskinannya? Tapi jangan lupa. Materi bukan prioritas utama. Ada makna yang jauh lebih hakiki yang harus kita raih. Kita tak boleh lupa bahwa menulis adalah memberi seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra. “Menulis kata berarti membangun masa depan yang produktif, kreatif, dan menyenangkan.” Kata Craig O Harra dalam bukunya yang berjudul Philophies of Punk. Craig O Harra, seorang pengelola penerbitan buku punk AK Press.
Tahun 2001 menjadi milik DR. 'Aidh al-Qarni. Kala bukunya “La Tahzan”, menjadi best seller. Namanya menjulang tinggi. Seolah dunia kepenulisan menjadi miliknya. Lima tahun berikutnya (tahun 2006), kesempatan emas berpindah tangan ke Habiburrahman El Shirazy. “Ayat-Ayat Cinta” miliknya, menjadikannya sebagai raja pena. Tak ada yang tak mengenal dirinya. Semua sibuk memperbincangkan karya mega-best seller itu. Segudang gelar pun disabetnya. Tak berapa lama kemudian, terlahir lagi Andrea Hirata. Melalui novel tetraloginya (Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi, dan nyusul yang keempatnya). Nama Andrea Hirata tak kalah hebohnya, bak selebriti yang asyik diperbincangkan orang-orang. Mereka telah menjadi penulis ulung yang namanya sudah dan hampir mendunia. Tak ada yang mengira sebelumnya. Mereka genggam kejayaan lewat menulis.
Saya pun menjadikan mereka sebagai sumber inspirasi dalam berkarya. Saya ingin punya tulisan yang bisa membuat seseorang menjadi lebih baik. Saya ingin melalui tulisan orang akan menangis dan terpacu untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Kekaguman kepada penulis-penulis handal seringkali membuat saya iri. Ada tantangan dalam diri ini untuk membuat goresan indah. Saya ingin seperti mereka_(Pengarang-pengarang tadi). Bukunya dinikmati banyak orang. Itulah mimpi saya. Mimpi yang akan saya jadikan motivasi untuk menulis. Buat saya, menjadi penulis adalah mimpi yang sempurna. Bukankah mimpi yang membuat orang berhasil meraih cita? Bagaimana kita akan melakukan suatu hal yang nyata, jika tidak berani bermimpi. Selagi mimpi masih gratis, maka bermimpilah!
Impian menjadi penulis seringkali terbayang. Hingga memacu saya untuk berlatih lebih giat lagi. Terus menyulam usaha, mengait benang demi benang. Saya berharap kelak benang-benang itu akan menjadi sebuah rangkaian karya yang indah. Dan menjadikan sulaman itu berbentuk karya yang dapat dinikmati banyak orang. Bahkan dengan penuh rasa bangga memilikinya. Berhasil atau tidak, semua tergantung usaha. Dan pengalaman yang akan menjadikan kita semakin mengerti apa arti dari keberhasilan dan kegagalan dalam penulisan.
Saya kembali teringat perkataan Norman Vincent Peale, seorang pemikir terkemuka dunia. Beliau berkata : "Anda pasti bisa, jika Anda pikir Anda bisa". Nasihat bijak inilah yang saya jadikan pemicu dalam menapaki hidup ini. Kawan! Keyakinan akan mampu mengalahkan segalanya. Ingat itu!
Saya yakin, sepanjang abad ini manusia terus menulis. Mencatat segala sisi kehidupan yang dialaminya. Namun, bentuk catatan itu berbeda-beda. Ada yang tertuang dalam bentuk tulisan pada setiap lembaran kertas. Adapula yaang tercatat hanya dalam memori kecilnya, otak. Saya tahu, otak adalah salah satu tempat penyimpanan segala bentuk file yang kita punya. Tapi ketahuilah, otak tak hanya tercipta untuk itu. Masih banyak file-file lain yang jauh lebih penting untuk disimpan di sana. Maka, tulisan adalah alat terbaik untuk menyimpan segala file.
Saya pernah mendengar, katanya menulis itu dapat mengobati stress. Saya mencoba membuktikannya. Saya pun menulis. Setiap warna kehidupan yang saya temui, saya tulis. Tak peduli warna itu cerah, kusam, ataupun gelap. Semua saya lampiaskan. Saya jadikan menulis sebagai kesempatan untuk menuang segala gundah yang kadang mendera. Pun saya jadikan sebagai tempat untuk menyampaikan keluh tanpa ada yang mencaci dan memerotes. Dan akhirnya? Ucapan tadi terbukti. Segala gundah berhasil saya tepis. Pelampiasan ego dan emosi tertuang penuh di sana. Tak lagi memenuhi ruang dalam otakku, yang terlampau sesak dengan segala kompleksitas masalah yang dihadapi. Hingga hatipun dibuatnya menjadi lapang. Tak ada beban.
Bagi sebagian orang, menulis adalah ladang beramal. Disinilah pengaplikasian segudang ide tertuang. Mengikat setiap makna hidup yang diperoleh. Lalu kemudian di-share kepada orang lain. Hingga membuat orang-orang menjadi tahu. Dan akhirnya mereka bisa keluar dari ruang pencariannya. Dan ini yang saya inginkan. Sejatinya, setiap goresan yang saya ukir dapat menjadi jawaban dari setiap pertanyaan yang ada. Saya ada atau tidak, saya ingin jawaban itu terus ada. Maka tulisan-tulisan itulah yang kelak akan menjawabnya. Saya ingin keberadaannya akan terus dinantikan oleh sang penantinya. Bahkan hingga meninggalkan dunia fana ini, tulisan saya tetap menjadi amal jariah. Menjadi sumber ilmu bagi banyak orang. Bukankah manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat buat orang lain? Dan saya ingin menjadi wujud manusia itu. Menjadi manusia yang paling baik. Ya! Dengan menulis saya akan mewujudkan itu. Karenanya, menulis adalah bukti pemberian yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tapi satu hal yang tak kalah pentingnya, keikhlasan dalam memberi. Segala bentuk tingkah tidak akan bermakna kala keikhlasan ditanggalkan. Pun demikian ketika kita menulis. Menulislah dengan penuh ketulusan. Karena tanpa ketulusan, tulisan tak ada artinya. Bukan pahala yang dituai atas ladang yang telah kita rawat. Tapi kesia-siaanlah yang akan menjadi ganjaran atas tingkah kita.
Kata orang, menulis itu butuh bakat. Bagi saya, menulis itu butuh latihan. Saya berdalih pada teori Thomas Alfa Edison. Beliau menyatakan bahwa sukses itu adalah 1 % karena bakat dan 99 % karena kerja keras. Menulis adalah sebuah keterampilan. Dan setiap keterampilan harus terus dilatih secara rutin. Dengan demikian, keterampilan itu lambat-laun akan terbentuk. Layaknya seorang bayi yang baru belajar merangkak. Kadang terjatuh, lalu nangis. Tapi setelah itu, dia tetap bangkit. Bayi itu selalu berusaha sekuat mungkin sampai dia benar-benar bisa berjalan. Jadilah seperti bayi itu. Tak kenal lelah, tak kenal rasa bosan dan putus asa.
Kata orang, menulis itu susah. Ya! Memang susah buat mereka yang tidak pernah mau mencoba. Karena idenya hanya terbayang di benaknya, tanpa pernah dituangkan dalam goresan penanya. Pernahkah kita memperhatikan seekor anak burung yang belum bisa terbang? Bayang-bayang ketidakmampuannya untuk terbang selalu menghantui. Namun, seiring berjalannya waktu ia terus berlatih dalam setiap kesempatan yang ada. Berucap “I believe I can fly..!!!” Hingga hadirlah dia sebagai seekor burung yang pandai terbang. Bukankah segala keberhasilan berasal dari sebuah ketidaktahuan? Burung-burung itupun demikian. Sang bayi pun demikian. Kita harus tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dan apa yang harus dilakukan untuk meraihnya. Tak penting seberapa banyak kesempatan yang kita miliki. Yang terpenting, seberapa banyak kesuksesan yang kita toreh dari setiap kesempatan yang kita punya. Maka tiada kata yang ingin saya lafadzkan selain “Menulis, menulis, dan menulislah!”

confusious say:


"kemenangan bukan karena kita tak pernah jatuh. tapi akan selalu bangkit setiap kali ia terjatuh"