must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 09 November 2008

Mimpi Yang Sempurna

Sinjai, 21 Juni 2008)

Segala sesuatu berawal dari niat. Niat menjadi acuan atas segala tingkah. Niat adalah cermin atas sikap yang akan kita ukir nantinya. Kala niat itu baik, maka goresan yang diukir pun akan baik. Niat tak jauh beda dengan motivasi. Selalu ada yang membuat kita semakin semangat untuk berbuat. Kita sekolah, tentu ada motivasi. Kita membaca, tentu ada motivasi untuk apa kita melakukanya. Bahkan, kita makan pun tentu ada motivasi yang menjadi dasar. Semua butuh motivasi, termasuk ketika kita menulis. Untuk apa kita menulis? Kebutuhan ekonomi yang semakin mencekikkah? Pengembangan bakatkah? Atau hanya sekadar mengisi kekosongan waktu?
Setiap orang punya motivasi tersendiri dalam menggoreskan penanya. Taufik Ismail menulis karena berniat menyambung kembali mata rantai sastra yang hampir terputus. Mengeluarkan masyarakat Indonesia dari generasi nol buku. Habiburrahman El Shirazy ingin mengeluarkan bangsa dari kebejatan moral yang mengintainya. Taufiq Ismail dan Kang Abik menulis untuk perubahan. Perubahan untuk mencerahkan. DR. 'Aidh al-Qarni, penulis La Tahzan, menulis karena ingin menjauhkan setiap insan dari bayang-bayang kesedihan, kecemasan, dan keputus-asaan hidup. Saya. Untuk apa saya menulis? Segudang alasan saya siapkan untuk menjawabnya. Pertanyaannya memang teramat simpel. Tapi butuh jawaban yang sangat kompleks.
Bagi saya, menulis adalah sarana yang paling mudah untuk berbagi. Semacam terapi instan kala stress mendera. Wadah mengeksplorasi selangit ide dan imajinasi tanpa batas. Juga medan dalam melatih kepekaan diri dan nurani. Menulis adalah upaya mengristalkan alam pikiran dalam lembaran-lembaran kertas. Mencipta kecerdasan yang kreatif. Menulis bagi saya merupakan bukti nyata atas segala ide yang sempat terucap. Juga sebagai tempat pengaplikasian diri dengan segala idealisme yang kita pegang.
Untuk sebagian orang, menulis dijadikan sebagai ajang mengumpulkan uang. Dunia komersialisasi terjamah olehnya. Salahkah hal demikian? Saya rasa tidak. Sah-sah saja tentunya. Saya pun tak bisa menafikan hal itu. Bukankah Joni Ariadinata memilih menulis untuk melawan keganasan kebutuhan ekonomi? Bukankah Asma Nadia tergugah hati menjadi penulis untuk menyelamatkan keluarga dari ketidakberdayaan kemiskinannya? Tapi jangan lupa. Materi bukan prioritas utama. Ada makna yang jauh lebih hakiki yang harus kita raih. Kita tak boleh lupa bahwa menulis adalah memberi seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra. “Menulis kata berarti membangun masa depan yang produktif, kreatif, dan menyenangkan.” Kata Craig O Harra dalam bukunya yang berjudul Philophies of Punk. Craig O Harra, seorang pengelola penerbitan buku punk AK Press.
Tahun 2001 menjadi milik DR. 'Aidh al-Qarni. Kala bukunya “La Tahzan”, menjadi best seller. Namanya menjulang tinggi. Seolah dunia kepenulisan menjadi miliknya. Lima tahun berikutnya (tahun 2006), kesempatan emas berpindah tangan ke Habiburrahman El Shirazy. “Ayat-Ayat Cinta” miliknya, menjadikannya sebagai raja pena. Tak ada yang tak mengenal dirinya. Semua sibuk memperbincangkan karya mega-best seller itu. Segudang gelar pun disabetnya. Tak berapa lama kemudian, terlahir lagi Andrea Hirata. Melalui novel tetraloginya (Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi, dan nyusul yang keempatnya). Nama Andrea Hirata tak kalah hebohnya, bak selebriti yang asyik diperbincangkan orang-orang. Mereka telah menjadi penulis ulung yang namanya sudah dan hampir mendunia. Tak ada yang mengira sebelumnya. Mereka genggam kejayaan lewat menulis.
Saya pun menjadikan mereka sebagai sumber inspirasi dalam berkarya. Saya ingin punya tulisan yang bisa membuat seseorang menjadi lebih baik. Saya ingin melalui tulisan orang akan menangis dan terpacu untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Kekaguman kepada penulis-penulis handal seringkali membuat saya iri. Ada tantangan dalam diri ini untuk membuat goresan indah. Saya ingin seperti mereka_(Pengarang-pengarang tadi). Bukunya dinikmati banyak orang. Itulah mimpi saya. Mimpi yang akan saya jadikan motivasi untuk menulis. Buat saya, menjadi penulis adalah mimpi yang sempurna. Bukankah mimpi yang membuat orang berhasil meraih cita? Bagaimana kita akan melakukan suatu hal yang nyata, jika tidak berani bermimpi. Selagi mimpi masih gratis, maka bermimpilah!
Impian menjadi penulis seringkali terbayang. Hingga memacu saya untuk berlatih lebih giat lagi. Terus menyulam usaha, mengait benang demi benang. Saya berharap kelak benang-benang itu akan menjadi sebuah rangkaian karya yang indah. Dan menjadikan sulaman itu berbentuk karya yang dapat dinikmati banyak orang. Bahkan dengan penuh rasa bangga memilikinya. Berhasil atau tidak, semua tergantung usaha. Dan pengalaman yang akan menjadikan kita semakin mengerti apa arti dari keberhasilan dan kegagalan dalam penulisan.
Saya kembali teringat perkataan Norman Vincent Peale, seorang pemikir terkemuka dunia. Beliau berkata : "Anda pasti bisa, jika Anda pikir Anda bisa". Nasihat bijak inilah yang saya jadikan pemicu dalam menapaki hidup ini. Kawan! Keyakinan akan mampu mengalahkan segalanya. Ingat itu!
Saya yakin, sepanjang abad ini manusia terus menulis. Mencatat segala sisi kehidupan yang dialaminya. Namun, bentuk catatan itu berbeda-beda. Ada yang tertuang dalam bentuk tulisan pada setiap lembaran kertas. Adapula yaang tercatat hanya dalam memori kecilnya, otak. Saya tahu, otak adalah salah satu tempat penyimpanan segala bentuk file yang kita punya. Tapi ketahuilah, otak tak hanya tercipta untuk itu. Masih banyak file-file lain yang jauh lebih penting untuk disimpan di sana. Maka, tulisan adalah alat terbaik untuk menyimpan segala file.
Saya pernah mendengar, katanya menulis itu dapat mengobati stress. Saya mencoba membuktikannya. Saya pun menulis. Setiap warna kehidupan yang saya temui, saya tulis. Tak peduli warna itu cerah, kusam, ataupun gelap. Semua saya lampiaskan. Saya jadikan menulis sebagai kesempatan untuk menuang segala gundah yang kadang mendera. Pun saya jadikan sebagai tempat untuk menyampaikan keluh tanpa ada yang mencaci dan memerotes. Dan akhirnya? Ucapan tadi terbukti. Segala gundah berhasil saya tepis. Pelampiasan ego dan emosi tertuang penuh di sana. Tak lagi memenuhi ruang dalam otakku, yang terlampau sesak dengan segala kompleksitas masalah yang dihadapi. Hingga hatipun dibuatnya menjadi lapang. Tak ada beban.
Bagi sebagian orang, menulis adalah ladang beramal. Disinilah pengaplikasian segudang ide tertuang. Mengikat setiap makna hidup yang diperoleh. Lalu kemudian di-share kepada orang lain. Hingga membuat orang-orang menjadi tahu. Dan akhirnya mereka bisa keluar dari ruang pencariannya. Dan ini yang saya inginkan. Sejatinya, setiap goresan yang saya ukir dapat menjadi jawaban dari setiap pertanyaan yang ada. Saya ada atau tidak, saya ingin jawaban itu terus ada. Maka tulisan-tulisan itulah yang kelak akan menjawabnya. Saya ingin keberadaannya akan terus dinantikan oleh sang penantinya. Bahkan hingga meninggalkan dunia fana ini, tulisan saya tetap menjadi amal jariah. Menjadi sumber ilmu bagi banyak orang. Bukankah manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat buat orang lain? Dan saya ingin menjadi wujud manusia itu. Menjadi manusia yang paling baik. Ya! Dengan menulis saya akan mewujudkan itu. Karenanya, menulis adalah bukti pemberian yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tapi satu hal yang tak kalah pentingnya, keikhlasan dalam memberi. Segala bentuk tingkah tidak akan bermakna kala keikhlasan ditanggalkan. Pun demikian ketika kita menulis. Menulislah dengan penuh ketulusan. Karena tanpa ketulusan, tulisan tak ada artinya. Bukan pahala yang dituai atas ladang yang telah kita rawat. Tapi kesia-siaanlah yang akan menjadi ganjaran atas tingkah kita.
Kata orang, menulis itu butuh bakat. Bagi saya, menulis itu butuh latihan. Saya berdalih pada teori Thomas Alfa Edison. Beliau menyatakan bahwa sukses itu adalah 1 % karena bakat dan 99 % karena kerja keras. Menulis adalah sebuah keterampilan. Dan setiap keterampilan harus terus dilatih secara rutin. Dengan demikian, keterampilan itu lambat-laun akan terbentuk. Layaknya seorang bayi yang baru belajar merangkak. Kadang terjatuh, lalu nangis. Tapi setelah itu, dia tetap bangkit. Bayi itu selalu berusaha sekuat mungkin sampai dia benar-benar bisa berjalan. Jadilah seperti bayi itu. Tak kenal lelah, tak kenal rasa bosan dan putus asa.
Kata orang, menulis itu susah. Ya! Memang susah buat mereka yang tidak pernah mau mencoba. Karena idenya hanya terbayang di benaknya, tanpa pernah dituangkan dalam goresan penanya. Pernahkah kita memperhatikan seekor anak burung yang belum bisa terbang? Bayang-bayang ketidakmampuannya untuk terbang selalu menghantui. Namun, seiring berjalannya waktu ia terus berlatih dalam setiap kesempatan yang ada. Berucap “I believe I can fly..!!!” Hingga hadirlah dia sebagai seekor burung yang pandai terbang. Bukankah segala keberhasilan berasal dari sebuah ketidaktahuan? Burung-burung itupun demikian. Sang bayi pun demikian. Kita harus tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dan apa yang harus dilakukan untuk meraihnya. Tak penting seberapa banyak kesempatan yang kita miliki. Yang terpenting, seberapa banyak kesuksesan yang kita toreh dari setiap kesempatan yang kita punya. Maka tiada kata yang ingin saya lafadzkan selain “Menulis, menulis, dan menulislah!”

1 komentar:

zakiah muis mengatakan...

aku suka banget tulisannya....
meskipun panjang bangeeeeeet tapi lumayan bisa jadi bahan perenungan
terusin aja nulisnya mudah-mudahan tulisannya bisa bermanfaat bagi orang lain