must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Sabtu, 01 November 2008

Kegelisahan Hati di Musim Pancaroba

“Kegelisahan akan kehidupan terkadang membuat kita tak lagi berpikir jernih. Kegelisahan yang bersumber dari keprihatinan atas kondisi sekitar akan menjadi modal utama untuk bergerak dan tak hanya tinggal diam”

Di penghujung bulan Oktober, nampaknya musim panas ataupun musim hujan tak dapat didefenisikan secara pasti. Tak jelas! Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai musim pancaroba. Sebentar panas, lalu tiba-tiba hujan deras. Parahya, banyak efek samping yang ditimbulkan dari musim pancaroba ini. Tak hanya membuat kita kesulitan untuk memprediksi musim apa gerangan, tapi bahkan juga telah merasuki hati dan tindakan kita. Hari ini baik, dan esok tiba-tiba berubah 180 derajat. Suasana hati pun demikian, juga ikut berubah. Kadang merasa damai, namun tiba-tiba menjadi galau. Semua berubah sangat drastis. Membuat sang pemilik hati pusing tujuh keliling.
Oktober tak hanya identik dengan pancarobanya. Warna lain yang turut memeriahkan musim pancaroba ini adalah,,, Ospek! Mahasiswa baru, sudah mulai merasakan angin pengkaderan akhir September lalu. Kasihan, ospek dilakukan saat musim pancaroba masih menyerang. Tapi apa boleh buat, semua sudah ditakdirkan. Tak bisa dipungkiri, semua kampus masih mengenal dunia ospek. Meski nama itu sudah di-delete dari kamus pendidikan, tapi kita tak bisa menutup mata. Hakekatnya masih terasa di beberapa titik. Sedikit menoleh pengalaman kemarin, saat masyarakat kampus merayakan pesta pengkaderan. Pengalaman pahit sempat terukir. Perpeloncoan tak mendidik masih dilestarikan. Segala bentuk kekerasan tak manusiawi masih dipertahankan. Dan akhirnya, menjadi boomerang buat mahasiswa baru itu sendiri. Sang senior terkesan menyembunyikan perangai baiknya. Ironisnya, timbul phobia dalam diri mahasiswa baru itu. Benarkah ospek juga merupakan efek dari musim pancaroba? Tindakan semakin tak jelas, sulit didefenisikan. Sekali lagi saya bertanya, inikah ketidakpastian musim yang terjadi dalam kehidupan manusia menghadapi pancaroba itu?
Kini, ramadhan meninggalkan kita. Syawal pun menyapa pelosok bumi. Segala tindakan aneh harus kita tinggalkan. Sembari mengisi keagungan Syawal ini, ada baiknya kita tertidur. Segala bentuk ketololan yang pernah kita lakukan, kita tinggalkan. Mari kita memperbaiki posisi tidur kita, agar kita bisa bermimpi indah. Dan setelah terbangun, kita bisa menyampaikan mimpi-mimpi indah itu kepada penduduk bumi. Biar mereka juga senang. Lalu melupakan tindakan bodoh yang pernah mereka lakukan. Tapi jangan sampai, musim pancaroba kembali menyerang kita. Mengubah hati kita, lalu mengubah jalan kita ke jalan yang sesat…


* Kupersembahkan buat teman-teman,
Jangan sampai kita terjebak dalam musim pancaroba itu^_^

Workshop Kepenulisan FLP Ranting Unhas

Tanggal 19 Oktober 2008, FLP Ranting Unhas kembali mengukir sejarah. Diusia yang masih sangat belia, eksistensi Forum Lingkar Pena (FLP) Unhas masih terbukti. Selama kurang lebih 3 tahun keberadaannya di Kampus Merah, ini kali pertama pengurus FLP Unhas melakukan kegiatan workshop kepenulisan di kandang sendiri. Sehingga, tak bisa dipungkiri bahwa ada sebuah kebanggaan yang terselip dalam sanubari pengurus. Dengan mengusung tema “Goreskan Pena untuk Perubahan”, kami berharap akan ada perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Perubahan yang bermula dari sebuah noktah, lalu kemudian terangkai menjadi sebuah garis peradaban.
Pramoedia Ananta Toer mengatakan bahwa, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menyimak apa yang diucapkan beliau, tentu ada benang merah yang bisa kita tarik. Bahwa menulis tak pernah terhalang oleh ruang dan waktu. Pekerjaan yang tak pernah hilang termakan waktu dan tak kan pernah dibatasi dalam ruang manapun, selama proses menulis itu memang betul-betul teraplikasi. Berawal dari sini, FLP Ranting Unhas ingin mewadahi kawan-kawan yang lain untuk meneruskan potensi-potensi kepenulisan, yang sebenarnya telah ada pada diri mereka. Kegiatan yang dihadiri sekitar 30 peserta ini cukup memberikan kepuasan tersendiri. Terbukti, setelah acara penutupan selesai, beberapa peserta begitu antusias menanyakan follow-up dari kegiatan ini. Panitia, sekaligus pengurus FLP Unhas pun menyambut baik semangat mereka. “Baik, insya Allah kami akan mem- follow-up-i kegiatan ini. Kami akan menghubungi teman-teman yang telah terdaftar sebagai anggota dalam kegiatan selanjutnya. Insya Allah dalam waktu dekat, FLP Unhas akan mengadakan Sekolah Menulis,” begitu paparan Pramitha, koordinator kaderisasi FLP Unhas.
Workshop kepenulisan yang sekaligus dirangkaikan dengan proses recruitmen anggota FLP Ranting Unhas ini ternyata disambut baik oleh beberapa kalangan warga kampus. Angkatan 2008 yang sebenarnya menjadi objek utama recruitmen ini justru didominasi oleh angkatan 2005 dan 2007. “Tak mengapa angkatan 2008 tidak mendominasi kegiatan ini. Mungkin mereka masih sibuk dengan kegiatan pengkaderan di fakultasnya. Tapi, mereka tetap memasukkan formulir untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota FLP Ranting Unhas, meski tidak mengikuti workshop ini,” begitu penjelasan Ketua umum FLP Unhas, A. Saputri Mulyanna. Namun hal ini tak membuat nyali pengurus FLP Unhas ciut, tapi justru semakin menambah semangatnya untuk terus meneruskan asa FLP Unhas yang nyaris saja hilang. Menulislah untuk perubahan! begitu apa yang selalu diteriakkan oleh anak-anak Forum Lingkar Pena.
smangatttt!!!!
Kala Sastra Menyapa Sejarah Korea

Oleh : A. Saputri Mulyanna*

“ Tak seorangpun dapat kembali ke masa lalu untuk memulai awal yang baru, tapi setiap orang dapat memulai hari ini untuk membuat akhir yang baru…”
Tuhan telah menakdirkan Korea ada. Sebuah negara kecil nan indah, menarik perhatian banyak orang. Saya pun berhasil terhipnotis dengan segala keunikannya. Awalnya biasa saja. Tak ada yang istimewa dengan negara itu. Bagi saya, Korea hanyalah sebuah negara asing yang tak sempat terjamah oleh memori kecil yang saya punya. Tapi itu dulu. Kala film-film Korea semakin mewarnai layar TV kita, terbersit kekaguman dalam diri ini. Sebut saja, Endless Love dan Full house. Sebuah film yang sempat membius banyak orang. Saya pun termasuk golongan orang-orang itu. Saya tak bisa menafikannya. Bahkan sempat mengusik pikiran saya. Hingga akhirnya, timbul sejuta tanya dalam benak ini. Ada apa dengan Korea?
Berawal dari rasa penasaran yang tak terkendali, saya terus mengais info tentang Korea. Hingga kemudian, Tuhan mempertemukan saya dengan sebuah buku kumpulan cerpen Korea, Laut dan Kupu-Kupu. Bersyukur, rasa penasaran yang terus mengejar akhirnya terjawab. Mengutip apa yang digoreskan Maman S. Mahayana, dalam kata pengantar antologi Korea itu bahwa : Mengingat sastra merupakan ekspresi kegelisahan pikiran dan perasaan manusia individu pengarang yang mengungkapkan peri kehidupan masyarakat di sekelilingnya, memantulkan potret zamannya, dan menegaskan harapan-harapan, visi, obsesi, atau bahkan kecemasan tentang masa depan kehidupan masyarakatnya, maka sesungguhnya sastra dapat digunakan sebagai pintu masuk mempelajari dan memahami kebudayaan sebuah bangsa.1)
Beralih dari ucapan Maman S. Mahayana itu, saya jadikan dunia sastra sebagai kunci. Layaknya sebuah rumah yang masih dikunci oleh pemiliknya, orang lain tentu tak bisa masuk ke dalam rumah itu. Segala isinya pun tak mampu terjamah dalam benak mereka. Dan,, kunci itulah jawabnya! Sastralah yang menjadi kunci untuk membuka keterbatasan pengetahuan kita tentang budaya lain, termasuk budaya Korea. Bersyukur, antologi Korea ini hadir, memperkenalkan sedikit tentang Korea.
Bercerita sedikit tentang Korea. Merupakan salah satu negara juga semenanjung di kawasan Asia Timur Laut. Terletak di tengah negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Posisi tersebut memberikan keuntungan dan kerugian bagi negeri ginseng itu. Menguntungkan karena dilihat dari sudut strategi, negara ini merupakan semenanjung yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ketiga negara besar tersebut dengan dunia luar. Merugikan karena Korea bisa menjadi titik strategis dalam gelanggang pertarungan internasional. Terutama antara Jepang, Cina, dan Rusia. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penjajahan Jepang di Korea Selatan pada tahun 1910.
Berawal dari cerpen “Dua Generasi Teraniaya” karya Han Geun Chan. Cerita tentang keadaan dua manusia dari dua generasi yang harus menelan pil pahit akibat perang. Life is choice! Hidup memang sebuah pilihan. Tapi nampaknya kalimat ini tak berlaku bagi mereka, sang Ayah-Anak itu. Mereka pasti tak pernah memilih untuk hidup berteman dengan ketidaksempurnaan. Tokoh Mando sebagai ayah, tak pernah memilih untuk dihilangkan satu lengannya. Pun begitu dengan Jinsu, anaknya. Dia pasti tak kan pernah mau memilih kakinya buntung. Simak saja ucapan Jinsu berikut. “Kalau buntung lengan seperti Bapak, itu lebih baik. Kalau buntung kaki sangat teraniaya untuk berjalan.”2) Sangat jelas, ada rasa ketidaksiapan menerima kondisinya. Tapi apa daya, mereka terpaksa memilih jalan hidupnya sekarang. Merekalah korban perang.
Cerita mengenai kondisi Korea sudah lama dimulai dalam sejarah manusia. Tak bisa dipungkiri, Korea telah mengukir sejarah yang cukup panjang. Konflik ideology menjadi pemandangan biasa kala itu. Lima tahun Indonesia merdeka (1950), ternyata Korea justru mengalami fase kritis. Saat itulah titik klimaks perjuangannya. teriakan histeris membahana
Konflik yang tak kunjung usai justru berujung dengan sebuah perang. Ironisnya, Korea mengganda. Lahirlah Korea Utara dan Korea Selatan. Masing-masing mengusung ideology yang berbeda. Terdapat dua idealisme yang tak dapat disatukan. Tak hanya itu, berderet kepedihan semakin mewarnai kehidupan Korea. Perang semakin tak terkendali. Keluarga, kerabat, tetangga, bahkan saudara pun tak lagi menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan ulah. Sengaja atau tidak, mereka saling berbunuhan. Segala bentuk tindakan konyol terus dilakukan. Perbedaan ideology alasannya. Kerugian, tentu tak dapat lagi di taksir berapa jumlahnya. Sebab bukan hanya materi belaka, tapi juga jiwa-raga menjadi taruhannya. Penekanan psikologis pun tak lagi mampu dikendalikan.
Berpijak dari fenomena itu, lahirlah sastrawan-sastrawan Korea. Sebut saja mereka Kim Tongni, Kwon Taeung, Sonu Hwi atau Han Geun Chan, seperti yang disebutkan oleh Maman S. Mahayana dalam antologi itu. Perang saudara yang merajalela menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi jiwa mereka. Melalui dunia sastra, mereka ingin mempropagandakan nilai-nilai kebaikan. Mereka ingin menyentuh hati orang-orang Korea melalui goresan pena. Mereka ingin mengungkapkan segala gundah dan rasa sakit akibat perang itu. Perang yang telah terlanjur menodai hati dan kehidupan mereka. Mereka menggulirkan bongkahan batu di dalam dada yang tak sempat terlontar, untuk kemudian menjadi gerak nyata menulis tinta. Karena menulis adalah tempat pengaplikasian diri dengan segala idealisme yang kita pegang. Tak pernah hilang termakan waktu.
Sisi lain dalam antologi ini terdapat pada cerpen “Seoul Musim Dingin 1964”. Cerpen karya Kim Seung Ok itu justru mengumbar aroma pesimisme. Puncak ketegangan terjadi saat Tokoh si Lemah yang ditinggal mati oleh istrinya, ikut bunuh diri. Tentu ada yang terjadi di balik kejadian itu. Lagi-lagi, perang Korea menjadi tumbal. Seperti yang dikatakan Maman S. Mahayana dalam kata pengantarnya pada antologi Laut dan Kupu-Kupu itu, perang Korea laksana sebuah monumen hitam yang membawa masa depan begitu gelap.3) Bayang-bayang suram perang Korea nampaknya terus bergentayangan. Lalu menghantui kehidupan orang-orang Korea itu sendiri. Menyisakan trauma kepada setiap manusia berpendudukan Korea. Sungguh ironis! Namun tak banyak yang dapat terucap dari bibir ini. Hanya ada rasa kasihan yang sempat menghampiri sanubari saya. Hingga kemudian terlontar sempurna oleh mulut kecil ini.
Menilik lebih jauh lagi, perubahan demi perubahan terus terjadi. Menjadikan Korea sebagai budak perkembangan zaman. Ya, pengaruh industri semakin nyata. Kehidupan modernisasi semakin menujukkan keberadaannya. Hal ini tersirat dalam cerpen “Jalan ke Shampo” karya Hwang Seok Youn. Cerpen itu seolah ingin meneriakkan kepada seluruh warga Korea tentang kemajuan-kemajuan itu. Sebuah perubahan yang sebagian orang justru tak menyukainya. Betapa tidak, nilai-nilai solidaritas yang selama ini mereka pertahankan, kini semakin memudar. Semua hilang terganti oleh orientasi materi. Kemewahan hidup semakin berkuasa. Mematahkan semangat solidaritas yang selama ini mereka usung. Puing-puing kekeluargaan kini semakin lenyap. Mungkin tak banyak yang tahu. Segala bentuk kemewahan yang di miliki Korea saat ini berawal dari sebuah kampung kecil, dengan segala kesederhanaan di dalamnya. Belum ternoda oleh segala bentuk peralatan-peralatan canggih. Belum terjamah oleh kerakusan manusia-manusia berdasi. Dulu, Korea masih memiliki deretan pinus yang berjejeran indah di pinggir jalan. Dan pinus-pinus itu masih menjadi korban hempasan salju di musim dingin.
Shampo, sebuah tempat terpencil di negara Korea. Namun menjanjikan sejuta keindahan. Melimpah tanah yang subur. Kebebasan menangkap ikan sebanyak mungkin tak pernah ada batasnya. Tak ada proyek yang mengintai. Keharmonisan hidup sungguh tercipta. Dengan segala kesederhanaannya, kesejahteraan hidup bisa dirangkul. Tapi, itu suasana 10 tahun yang lalu, seperti yang diceritakan dalam cerpen “Jalan ke Shampo” itu. Sekarang, Shampo sudah menyatu dengan daratan. Sudah dibangun tanggul dan puluhan truk menimbun batu di sana. Kehidupan di sana semakin rumit. Masyarakat pun banyak yang tidak siap dengan segala perubahan yang terjadi. Naas, masalah semakin kompleks. Kedamaian desa sudah tergusur oleh proyek-proyek besar. Perahu pun sudah tak ada lagi.4) Betapa tidak, sudah ada jalan baru membentang di sana. Semua sudah berubah. Ilalang kering hanya bergoyang acak ditiup angin berpasir. Tanah subur tak dijumpai lagi. Deretan pinus indah semakin cacat. Tak lagi berbaris di pinggirang jalan. Alhasil, semangat Tokoh Young Dal untuk mengunjungi kampung halaman semakin luntur. Timbul kekecewaan yang semakin membuncah mendengar perubahan itu. Dia bahkan merasa asing di kampungnya sendiri. Pun demikian dengan tokoh Baek Hwa. Meski kemajuan industri merupakan habitatnya yang paling aman dan menguntungkan sebagai seorang wanita pelacur, namun dia tetap membenci kehidupan itu. Kehidupan yang telah mencuri kedamaian kampungnya.
Terlepas dari kesedihan-kesedihan itu, ada cerita indah yang masih tersisa. Cerpen “Dini hari di Garis Depan” karya Bang Hyun Seok justru memamerkan semangat perlawanan para pekerja pabrik di Korea. Di tengah kegalauan hati menghadapi pejabat-pejabat berdasi tak tahu diri itu, mereka memberontak. Perkembangan industri yang semakin menjamur terus mereka lawan. Menentang nasib para buruh yang sering di hadapkan pada kondisi yang tak berdaya. Meski kehidupan dunia perburuhan di manapun nampaknya sama saja. Tapi mereka ingin menumbangkan teori tolol itu. Di sana, pemerasan dan penganiayaan terhadap buruh oleh para pemegang modal seperti sudah menjadi pemandangan biasa. Dan mereka tak ingin melestarikan pemandangan itu. Sebuah kesalahan sangat tak pantas untuk dilestarikan.
Laut mungkin merepresentasikan gelombang kehidupan yang selalu tak terduga, absurd, dan kupu-kupu mewakili generasi baru yang tak lagi merasakan kepedihan akibat perang Korea tahun 1950. Generasi yang sudah jauh meninggalkan trauma dan kisah pedih tentang perang. 5)
Sangat disayangkan, luasnya laut tak mampu menghapus luka yang tersisa akibat perang itu. Apalagi, indahnya kupu-kupu tak sanggup menorehkan senyum di wajah mereka, orang-orang Korea itu. Untuk sekedar melupakan sejenak kepedihan hati akibat perang. Dan beruntung, cerpen “Menyeberangi Perbatasan” karya Jeon Sung Tae dalam buku itu berhasil membuktikan. Rasa sakit yang pernah mendera perlahan semakin hilang. Perjalanan tokoh Park melewati perbatasan Kamboja-Thailand dinikmatinya sebagai sebuah perjalanan pariwisata.6) Perjalanan itu adalah sebuah perjalanan indah. Tak ada lagi ketakutan yang menghantui perjalanannya seperti sedia kala. Yang dahulu, menyeberangi perbatasan itu berarti kematian. Kini, ucapan itu tak lagi benar. Kenangan pahit yang pernah terukir di sana, lenyaplah sudah. Di perbatasan itu, banyak kisah yang telah tergores. Sejarah tentang perpisahan Korea Utara dan Korea Selatan berasal dari sana. Meski sampai kapanpun, sejarah itu tak kan pernah hilang!
Sebuah puisi saya kirim buat orang-orang Korea. Semoga duka yang pernah terlukis dalam dada bisa hilang tertiup angin.

Aku minta pada Tuhan setangkai bunga segar,
Ia beri kaktus berduri
Aku minta kupu-kupu, diberikanNya ulat berbulu
Aku sedih dan kecewa,,,
Namun kemudian, kaktus itu berbunga. Indah sekali!
Dan ulat itupun menjadi kupu-kupu yang sangat cantik
Itulah jalan Tuhan.. indah pada waktunya
Tuhan tidak memberi apa yang kita harapkan,
tapi Ia memberi apa yang kita perlukan
Terkadang kita sedih, kecewa, bahkan merasa terluka,
tapi jauh di atas segalanya Ia sedang merajut yang terbaik
dalam kehidupan kita….

Saya berharap, orang-orang Korea dapat menjadi kepompong kehidupan. Agar kelak mampu terlahir sebagai kupu-kupu indah. Tentu setelah melewati fase kepompong itu. Semoga! Biarlah saat ini kita menjadi kaktus yang berduri itu. Dan yakinlah, setelah ini ada kehidupan yang jauh lebih indah. Cukuplah seulas senyum yang menjadi penawar atas kepedihan yang telah terlanjur ada.
Kini, timbul tanya di benak kita, juga buat saya. Apa makna antologi cerpen Korea ini? Satu sisi yang sangat penting, kita dapat mengenal dinamika perubahan sosial-budaya yang terjadi di sana, negeri Ginseng itu. Ia laksana cermin yang memantulkan segala bentuk peradaban di dalamnya. Berkenalan dengan kebudayaan asing sesungguhnya tidak sekedar menambah wawasan, membuka cakrawala baru tentang kebudayaan dan tata kehidupan di belahan dunia lain, mengilhami (inspiring) untuk menghasilkan karya yang mirip atau punya kesamaan, tetapi juga melebarkan peluang terjadinya akulturasi, adaptasi, bahkan adopsi. Melalui cara itu pula kebudayaan sebuah bangsa tidak akan terjerembab pada kondisi yang stagnan dan statis.7)
Seulas senyum akhirnya dapat saya keluarkan sebagai wujud pelampiasan. Saya senang bisa mengenal sedikit budaya Korea, negeri impian saya. Melalui antologi cerpen itu, saya dapat melihat air kali dan genangan sisa salju yang beku terhampar di sana-sini. Saya bahkan mampu merasakan nakalnya angin yang bertiup. Pun serpihan es retak yang beterbangan lalu kemudian menghantam wajah orang-orang di sana. Sebuah paduan yang cukup kompleks. Akhirnya, penasaran yang dulu mendera kini lenyap sudah. Dunia Korea yang dulu membuat saya benar-benar buta, kini tak lagi kronis. Dan membuat saya semakin jatuh cinta padanya, negeri ginseng itu!
***
Keterangan:
1) Hal. ix dalam buku Laut dan Kupu-Kupu
2) Hal. 14 dalam buku Laut dan Kupu-Kupu
3) Hal. xi dalam buku Laut dan Kupu-Kupu
4) Hal. 71 dalam buku Laut dan Kupu-Kupu
5) Hal. xv dalam buku Laut dan Kupu-Kupu
6) Hal. xv dalam buku Laut dan Kupu-Kupu
7) Hal. vii dalam buku Laut dan Kupu-Kupu

* Penulis adalah mahasiswi Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin,
Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Unhas, Sul-Sel,
aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia)

* Alhamdulillah, pernah terpilih sebagai juara 10 besar dalam Lomba Esai Tentang Cerpen Korea, oleh FIB UI. Insya Allah akan dibukukan, doakan!^_^

Little About me…

Sosok manusia dengan segala ketidaksempurnaannya. Namun, ia terus berusaha mencapai derajat kesempurnaan itu. Meski ia yakin, sangat sulit untuk menggapainya. Tapi itulah yang membuatnya senang, mempunyai mimpi yang tidak semua orang bisa memilikinya. Mengutip ucapan Confusious, bahwa kemenangan bukan karena tidak pernah jatuh, tapi selalu bangkit setiap kali ia terjatuh. Dan ia ingin menjadi bagian dari kemenangan itu. Sang Rasul mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat buat orang lain. Ia pun ingin menjadi sosok manusia seperti itu. Katanya, manusia adalah tempat segala khilaf dan dosa. Ia pun mengakui hal itu atas dirinya. Dan tahukah Anda, ia adalah AKU!