must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Senin, 03 November 2008

"Asa Yang Nyari Hilang"

“Ah, anak itu lagi…” gumamku dalam hati. Pandanganku tak lepas darinya. Tubuh yang penuh dengan balutan debu itu semakin menarik perhatianku. Dengan pakaian tak layak pakai yang turut menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya semakin bertambah kusam. Belum lagi, topi bulukan yang semakin tertancap rapi di kepalanya. Adapula sandal jepit dengan warna tak senada dengan pasangannya, turut melekat sempurna di kedua kakinya. Pemandangan yang sama seperti hari kemarin, saat aku berpapasan dengannya, di koridor fakultasku. Sejuta tanya akhirnya menghiasi benakku.
Matahari semakin terik, seolah ingin memanggang semua makhluk di bawah bentangan sinarnya. Belum lagi, angin panas yang tak bosan-bosannya menampar mahasiswa sekitar kampus ini, termasuk aku. Tenggorokanku semakin meronta ingin diguyur minuman dingin. Namun, aku tak mempedulikannya sedikit pun. Rasa haus yang telah mencapai batas maksimal membuatku tak jua bergeming sedikitpun. Tatapanku masih saja tertuju pada gadis itu. Kucuran keringat yang sedari tadi membasahi kerah bajunya, tak pernah membuatnya berucap desah keluh. Kulihat semangat yang masih menggelora dalam dirinya, membuatnya semakin lincah mengais tong sampah itu. Tak ada malu dan keraguan sedikitpun yang tampak dari tingkahnya. Satu per satu, gelas aqua bekas dengan lincah dimasukkannya ke dalam karung usang yang sedari tadi dijinjingnya. Dan semakin bertambahlah asa dalam dirinya. Kuluman senyum pun menghiasi wajah manis itu. Tanpa kusadari, wajah ini turut mengukir senyum tipis melihat aksi gadis itu. Entah aku terhipnotis olehnya atau gimana, aku pun tak tahu. Melihat tingkahku yang agak aneh dari biasanya, Yulis, yang sedari tadi berjalan bersamaku, dirundung kebingungan yang teramat sangat. Saat aku menghentikan langkahku dan memilih untuk duduk di taman baca depan fakultasku, aku yakin dia hanya melongo menatap diriku yang sedang mengumbar tatapan asing ke arah gadis itu.
“Hajrah, ada apa dengan anak itu? Jangan-jangan kamu punya utang dengannya?? Atau dia yang berutang kepadamu?” Yulis bertanya sinis kepadaku. Aku tak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku menangkap ada rasa tak suka oleh Yulis terhadap gadis itu. Ah, entahlah…
Utang? Pertanyaan Yulis barusan membuatku sedikit terusik. Namun, pandanganku belum juga terputus dari gadis itu. Hah? Anak itu duduk melantai tak jauh dari tong sampah itu. Gadis itu menunduk, lesu! Tak lama, ia berganti posisi, dengan lutut dilipatnya setinggi dada dan kedua tangan menopang wajahnya. Ada apa?!! Rasa penasaranku yang tak dapat kubendng akhirnya membuat tubuhku bangkit dari tempat duduk ini dan berniat ingin menghampiri gadis itu. “Waktu yang sangat tepat!!!” aku berteriak dalam hati.
“Yulis, aku nggak jadi ke kantin. Kalau mau, kamu duluan saja. Maaf, aku nggak bisa nemanin kamu. Aku punya urusan dengan gadis itu,” tanpa menunggu jawaban darinya, akhirnya aku meninggalkan Yulis menuju gadis itu. Sekitar tujuh langkah dari tempat gadis itu duduk, langkahku terhenti seketika. Aku kaget. Gadis itu menangis! Yup, kesedihannya kian nyata, tak tersembunyi. Tak ada lagi senyum manis yang barusan aku saksikan dari wajahnya. Tak ada lagi semangat menggelora yang ia pantulkan dari tubuhnya. Wajahnya tetap saja tertunduk, tapi aku bisa melihat genangan air mata yang terbendung di sana. Aku mulai ragu untuk mendekatinya. Tapi akhirnya, aku berhasil menepis keraguan itu.
“Permisi, maaf mengganggu Dik…” aku mulai menyapa. Sontak gadis itu kaget dan dengan terburu-buru mengelap matanya yang masih basah. Dia mengangkat wajahnya menatapku, lalu kembali memaksa memasang senyum manis yang tadi sempat hilang, sambil memperbaiki posisi duduknya. Ya, senyum itu adalah paksaan, tapi tetap saja manis. Ia kemudian menggulirkan bongkahan batu yang sejak tadi telah menyesaki rongga dadanya. Matanya pun masih menyisakan airmata yang sebagian sudah mengering.
Aku semakin mendekat. Sapaan basa-basi penghantar perkenalanku dengan gadis itu kian gencar kulontarkan. Mungkin gadis itu sudah men-cap aku sebagai manusia SKSD (sok kenal sok dekat). Ah biarlah, toh gadis ini menyambutku dengan penuh suka cita. Tak ada beban dalam dirinya akan kedatanganku di sisinya. Meski_sekali lagi_ kesedihannya masih tersisa di balik tubuh kumalnya. Setelah melewati fase perkenalan dengannya, aku mengetahui bahwa namanya adalah Rina, gadis berumur 13 tahun. Dia tinggal di salah satu kelurahan di Antang. Meski aku tak tahu pasti nama desa itu, tapi aku sudah bisa memastikan bahwa tempat ia tinggal sangat jauh dari kampusku ini. Apalagi, ia ke sini tanpa berkendaraan alias berjalan kaki. Tanpa diceritakan pun aku sudah menebak dari kemarin bahwa ia adalah salah satu komunitas pencari uang dengan mengumpulkan gelas-gelas aqua bekas itu. Tumpukan gelas aqua bekas di dalam karung kumal itu dapat menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang pemulung gelas aqua bekas.
Satu hal yang membuat hatiku cukup miris mendengarnya, ternyata dalam usia yang masih sangat belia itu, ia telah menjelma sebagai tulang punggung keluarganya. Dan aku yakin, tuturan langsung dari gadis belia itu akan mengoyak sanubari siapa saja yang mendengarnya. Oh My God!!! Dialah yang harus membiayai adiknya yang masih kecil. Ibunya? Ternyata ia tak begitu mengenal sosok seorang Ibu. Ibunya meninggal saat melahirkan adiknya, saat ia menginjak usia balita. Selain dekapan sayang, ia harus rela kehilangan sosok pejuang super-woman yang setiap saat siap mempropagandakan nilai-nilai kebaikan. Dan Ayahnya? Ia adalah sosok manusia yang tak punya kasih apalagi tanggung jawab terhadap kedua anaknya. Saat Rina menginjak usia 6 tahun, sosok yang dipanggilnya Ayah itu tiba-tiba menghilang dari kehidupannya. Entah karena apa dia meninggalkan kedua anak tak ber-Ibu itu. Rina cuma bisa menyimpulkan bahwa kepergian ayahnya tak lain karena kehidupan ekonomi dalam keluarganya yang semakin mencekik. Ternyata Rina telah merasakan kebiadaban hidup yang semakin buas ini. Ia telah tercipta sebagai insan yang terkungkung oleh tirani kezhaliman seorang Ayah. Kasihan…!!! Seketika aku teringat wajah sendu Ibu di kampung sana. Aku sungguh beruntung masih bisa merasakan dekapan hangat dan kasih dari seorang Ibu. Meski kini kasih Ayah tak dapat lagi menemaniku, tapi setidaknya dulu kasih itu pernah menjalar di seluruh tubuh mungilku.
“Mungkin Ayah sudah tak mampu lagi membiayai kami. Makanya beliau meninggalkan kami bertiga di gubuk reot peninggalan Ibu, dalam kondisi Sita, adikku, menderita demam yang sangat tinggi. Tapi untung Bu Asih, tetangga sebelah bersedia merawat Sita. Beliau pun telah kami anggap sebagai Ibu kami, sekaligus sebagai keluarga kami satu-satunya, meski tak ada sama sekali hubungan kekeluargaan sedikitpun diantara kami.” Rina bercerita panjang lebar, dan akhirnya bendungan airmata di pelupuk matanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah sudah. Aku terharu, seketika horizon kesedihanku runtuh. Diriku tak mampu lagi berkuasa atasnya. Namun, sekuat mungkin aku berusaha tidak menangis di hadapannya. Tanpa ada yang mengkomando, aku merangkul gadis itu, mencoba menghiburnya. Tapi, dia melepas rangkulan tanganku.
“Aku adalah anak yang sangat kotor dan bau Kak. Sangat tidak pantas kakak bersikap seperti itu kepada anak seperti aku. Bahkan mungkin aku adalah titik yang dapat merusak pemandangan indah di kampus ini,” ucapnya polos.
Aku kaget dengan ucapan Rina barusan. Aku berusaha mengerti apa yang dia maksud. Lalu aku mencoba mengalihkan situasi. Aku beranjak dari dudukku, dan berlari kecil menuju tempat penjual makanan ringan dan minuman dingin tak jauh dari tempat kami duduk. Aku membeli beberapa bungkus snack, juga minuman dingin 3 kotak. Kemudian, kembali ke sisi Rina dan menyerahkan seluruh makanan yang aku beli. Awalnya, Rina menolak. Tapi aku memaksa, akhirnya dia menerimanya.
“Aku tahu, kamu pasti haus dan lapar,” begitu kataku kepadanya. Dia kembali menyumbangkan senyum manisnya untukku. Sudah lama aku sangat merindukan suasana seperti ini. Berbagi kasih…
Sementara, jauh di pojok sana, sepasang mata memandang keakraban diantara kami.
***
Setelah suasan cukup cair, aku berusaha mencari celah untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Aku ingin menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikiranku, tentang tangisnya barusan, semua tentang dirinya. Aku ingin menjawab rasa penasaranku yang tak dapat kukendalikan.
“Mmm, tadi Rina kok nangis? Dari tadi kakak perhatiin dari jauh, kalau Kakak boleh tahu ada apa ya? Siapa tahu kakak bisa bantu,” aku kembali mencuri perhatiannya. Ia kemudian terdiam sesaat, memandang ke depan, lalu kembali melanjutkan makannya. Lama pertanyaanku dibiarkan menggantung. Aku hanya terdiam menunggu sepatah kata keluar dari mulutnya. Aku tak ingin memaksanya. Biarlah ia berucap setulus mungkin, tanpa ada paksaan dariku.
Sementara, angin semakin sering saja menghentakkan kekuatannya di sekujur tubuhku. Mungkin Rina juga merasakan hal yang sama. Suasana di kota daeng ini rasanya begitu tak bersahabat. Terpaan angin yang idealnya memberikan kenyamanan dan kesejukan bagi siapa saja yang disambarnya, ternyata hanya memaksa kita mengucek-ngucek mata karena kemasukan debu. Aku terkadang bingung, mau salahkan siapa atas ketidaknyamanan ini?
Samar-samar, aku mendengar desahan nafas panjang. Ternyata desahan itu milik Rina. Ia baru saja menghabiskan 2 bungkus snack yang aku berikan, dan sekotak minuman dingin itu. Nampaknya, ia agak gelisah. Apa karena pertanyaanku tadi? Aku tak berkutik, pura-pura tak tahu kegelisahan itu. Lama kami terhanyut oleh kebisuan, akhirnya Rina bersuara. Tapi sebelumnya aku sempat mengulang pertanyaanku yang kedua kalinya.
“Tadi, aku begitu senang bisa mengumpulkan gelas aqua bekas yang lumayan banyak dari kemarin. Tapi,,,” ucapa Rian terputus. Aku mengernyitkan dahi, menunggu lanjutan ucapan Rina. Lipatan 3 lapis garis pun terbentuk di sana.
“Aku kemudian teringat dengan almarhumah Bu Asih. Sebelumnya, beliau,,,beliau mengidap penyakit Demam Berdarah, dan sudah sangat parah. Uang hasil timbangan gelas aqua bekasku mana cukup untuk membayar biaya pemeriksaan Bu Asih ke Rumah Sakit...” Mata Rina kembali tergenangi airmata.
“Rasanya, aku,,,aku adalah manusia yang sama sekali tak tahu berbalas budi kepada orang sebaik dia...” Rina kembali melanjutkan ucapannya, lalu menundukkan wajahnya dengan kedua tangan menutup wajah itu.
“Belum lagi, Sita yang hingga saat ini belum kami temukan.”
“Memangnya Sita ke mana Rin?”
“Sit..Sita hilang 4 hari yang lalu, tepat seminggu setelah kematian Bu Asih. Tapi tetangga bilang katanya Sita diculik oleh orang-orang suruhan Ayah. Katanya Si,,Sita ingin dijual oleh Ayahhh….” Akhirnya kesedihan Rina membludak. Ia menangis tersedu, tapi tak mengeluarkan suara yang dapat mengganggu orang-orang di taman itu.
Kesedihanku semakin tak terkendali. Airmataku tumpah membasahi wajahku. Cepat-cepat aku mengelapnya, jangan sampai Rina tahu aku menangis di hadapannya. Aku merasakan cobaan yang terlampau berat oleh seorang gadis seusia Rina. Tiba-tiba aku teringat dengan janjiku sebulan yang lalu. Aku ingin mengadopsi seorang gadis jika operasi kakiku lancar dan berakhir dengan selamat. Dan saat itu, Ibuku mengiyakan. Memang, selama ini aku mendambakan seorang saudara perempuan. Maklum, aku tak memiliki saudara perempuan dari kedua saudaraku. Saat ini, sulit rasanya mewujudkan impian itu, karena Ayah sudah lama tiada, dan Ibu masih sendiri. Aku kemudian menatap Rina, lama!
“Rin, mungkin kamu ditakdirkan untuk menjadi saudara perempuan yang selama ini aku cari,” ucapku lirih, sembari terus menatap kepadanya. Tak lama, aku beranjak dari dudukku, lalu menghubungi Ibu. Keinginanku untuk menjadikan Rina sebagai saudara angkatku pun aku ceritakan ke Ibu. Awalnya, Ibu agak kaget kala mengetahui bahwa Rina adalah seorang pemulung. Tapi setelah menjelaskan panjang lebar, akhirnya Ibu menyetujui.
Aku kembali duduk di samping Rina. Nampaknya, ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Ia sudah mengangkat wajahnya, tapi belum menatapku. Tatapannya masih terus ia layangkan ke depan.
“Tidak sepantasnya aku mengumbar kesedihanku ini kepada orang lain, termasuk kakak. Maafkan aku….” Tiba-tiba Rina bersuara, tapi tetap tak menoleh sedikit pun ke arahku.
“Tidak sepantasnya kamu ngomong seperti itu Rin. Kesedihan akan sirna jika keikhlasan menjadi perisainya,” kataku menanggapi ucapan Rina, kembali mencoba menenangkannya. Sampai saat ini, ia tak jua berpaling.
Lama aku terdiam setelah itu. Aku bingung mencari celah untuk mengatakan niatku kepadanya. Kukumpulkan puing-puing keberanian yang masih berantakan di sekitarku. Dan… dan akhirnya kuutarakan niatku kepadanya, tentang keinginanku untuk mengadopsinya sebagai saudara angkatku.
Mendengar celotehanku, aku agak kaget. Ia berpaling, menatapku tajam. Lalu kemudian kembali menunduk. Ia semakin gelisah. Aku mencoba menenangkan.
“Maafkan aku kalau ada kata yang membuatmu merasa tidak enak. Tapi jujur, tak ada sedikit pun niat untuk melakukan itu.”
Wajah Rina akhirnya bangkit dari tundukannya. Tapi masih tetap menatap ke depan tanpa menoleh kepadaku.
“Semua terserah padamu Rin. Tak ada paksaan sedikitpun dariku. Yang pasti, besar harapanku jika kamu menerima tawaranku tadi. Dan itu akan membuatku merasa sangat senang. Ibuku di kampung sudah tahu tentangmu. Nanti kalau kamu benar-benar sepakat, aku akan menghubungi Ibu untuk berbicara denganmu. Dan aku janji, kita akan bersama-sama mencari jejak Sita yang hilang,” celotehku, berharap Rina akan memberikan comment atas ucapanku.
“Bukannya aku tidak mau menerima ajakan kakak. Tapi, tidakkah kakak salah ucap. Tidakkah kesempatan itu sangat tidak sesuai untuk gadis kumal sepertiku?” akhirnya Rina angkat bicara.
“Jangan pernah berkata seperti itu, Rin. Dari ucapanmu, aku bisa menangkap kalau kamu menerima ajakanku.”
“Aku tak mampu berkata lagi Kak. Aku terlalu bahagia mendengar tawaran Kakak. Tapi aku takut tak mampu membalas budi Kakak, seperti saat Bu Asih berbuat baik kepadaku.”
“Bukan kewajiban kita membalas budi orang lain. Itu urusan Tuhan. Kita hanya bisa berusaha untuk melakukannya, Tuhan yang menentukan…” Air mata Rina pun tumpah. Air mataku berlinang. Aku tak kuasa menahan suka bertemu dengannya, gadis ini. Aku pun merangkulnya, sama saat aku merangkul Adil dulu, adik laki-lakiku.
Langit masih saja secerah tadi, matahari tetap mengumbar sinarnya. Angin masih saja menari-nari ghaib di sekeliling kami. Dan, sepasang mata kembali menatap kami penuh heran dan tanda tanya. Ternyata, mata itu milik Yulis, di pojok koridor sana.

Glitterfy.com - Glitter Graphics

Glitterfy.com - Glitter Graphics

Glitterfy.com - Glitter Graphics

Glitterfy.com - Glitter Graphics

Glitterfy.com - Glitter Graphics

Minggu, 02 November 2008

Terapi Instant buat Mahasiswa, biar Tak sekedar Ngampus!

Judul : Agar Ngampus tak Sekedar Status
Penulis : Robi’ah al-Adawiyah & Syamsuddin
Penerbit : Indiva Publishing, kelompok penerbit Indiva Media Kreasi
Edisi : Cetakan pertama, Maret 2008
Jumlah Halaman : 216 halaman

Semua orang tahu bahwa kampus adalah institusi pendidikan tertinggi setelah SMU. Semuanya pun tahu bahwa kampus adalah tempat mencetak intelek-intelek bangsa, mahasiswa namanya. Namun, masih banyak yang belum tahu bagaimana menemukan esensi dari dunia kampus itu sendiri. Bahkan mungkin, mahasiswanya pun sekalian, sebagai pihak yang bersangkutan, masih ada yang belum menemukan hakekatnya. Masih banyak yang hanya sekedar numpang duduk mendengar celotehan dosen, setelah itu kabur entah kemana. Hubungannya dengan dunia kampus pun terputus seketika. Berbagai kenikmatan kampus akhirnya tak sempat dia sentuh. Entah karena memang sibuk atau pura-pura sibuk. Dan masih banyak lagi pemandangan lain yang bisa kita temukan di tempat ini, dunia kampus!
Kehadiran buku ini sepantasnya kita syukuri keberadaannya. Betapa tidak, Robi’ah dan Hatta mampu memberikan provokasi-provokasi positif melalui pelampiasan idenya yang sangat ‘wah’. Dengan menjadikan mahasiswa biasa sebagai target utama dalam provokasi itu, kemudian untuk dijadikan sebagai mahasiswa luar biasa. Penulis berupaya merekonstruksi kembali cara berpikir kita tentang dunia kemahasiswaan. Semuanya telah terkupas tuntas dalam buku ini. Mulai dari bagaimana kita mampu menemukan makna belajar sebagai salah satu nutrisi penting bagi seorang mahasiswa. Persiapan untuk menjadi seorang mahasiswa pun turut hadir dalam buku ini, tentu memberikan manfaat yang sangat besar kepada setiap calon mahasiswa yang memang berniat menjadi mahasiswa, biar kelak tidak nyasar. Makanya penulis pun menghadirkan sederet strategi sebagai persiapan tentang itu. Melalui goresannya ini, penulis pun mencoba bagaimana bisa mengeluarkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering menerpa sang mahasiswa; kampus, kantin, dan kamar kos. Segala cerita mengenai hal itu pun turut mewarnai isi buku ini. Ada lagi, sejumlah tips bagaimana bisa kuliah ke luar negeri, plus persiapannya. Semua hadir dalam buku ini. Bahkan, penulis pun memperkenalkan tentang kehidupan ospek, yang katanya sering menjadi momok menakutkan bagi setiap mahasiswa baru.
Namun, perlu diketahui bahwa sebelumnya buku ini pernah diterbitkan oleh Penerbit MVM (Solo, 2004) dengan judul “Nggak Sekadar Ngampus! Panduan Asyik buat Mahasiswa Plus”. Karena kemudian terhalang oleh berbagai urusan, membuat buku itu mampet dan tak lagi terbit. Antusiasme dari berbagai kalangan pembaca, khususnya kalangan mahasiswa itu sendiri terus bergulir. Kita tak bisa menampik bahwa sambutan pasar cukup baik tentang keberadaannya. Terbukti, permintaan bedah buku pada penulis khususnya dalam rangka penyambutan mahasiswa baru lumayan banyak. Tapi sayang, persediaan di toko tidak memungkinkan. Susah untuk mendapatkannya. Hingga akhirnya, mendorong penulis untuk kembali menerbitkan buku ini, tentu setelah melakukan revisi. Dan hadirlah wajah baru dengan mengubah judulnya menjadi “Agar Ngampus tak Sekedar Status”.
Mantan aktivis mahasiswa ini mampu memberikan terapi pemikiran kepada siapapun yang merasa dirinya mahasiswa, ataupun calon mahasiswa. Dengan segala kesederhanaan kata namun penuh dengan sejuta makna, membuat buku ini layak dijadikan sebagai salah satu koleksi dan pegangan kita. Pengalaman-pengalaman penulis pun turut menambah nilai plus buku ini, membuat pembaca lebih mudah memahami maksud yang tersirat dalam serentetan tulisan di dalamnya. Untaian kata pencerahan pikiran dapat menjadi resep instant untuk menjadikan mahasiswa menjadi mahasiswa yang smart dan luar biasa. Kehadirannya memberikan sedikit sumbangan demi mensukseskan seorang mahasiswa. Selamat membaca dan buktikan khasiatnya!