must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 14 Desember 2008

Tembang Idul Adha

Mataku terus saja tertuju pada bingkai itu. Ia kini usang termakan usia. Kenangan indah bersamanya kini lebur meninggalkan jejak. Hatiku bergeming. Mataku tak berkedip menatapnya tajam. Jauh dari lubuk hati, aku merindukannya. Kuluman senyum tak lagi terbentuk dalam wajahku. Apalagi tawa. Kini terganti duka, terbalut sedih, hingga berurai air mata. Tapi, ia terus saja tersenyum kepadaku. Sangat manis. Tiada bosan memperlihatkan kebahagiaannya padaku. Aku terdiam, mulai hanyut dalam anganku. Dan akhirnya terbuai dalam lelapku.

***

”Bu, baju barunya bagus sekali.. pasti mahal !” ia mulai membuka percakapan di pagi itu. Kulemparkan senyum kepadanya. Matanya yang berbinar cukup menjadi bukti atas noktah kebahagiaan itu. Kuelus kepalanya penuh sayang.

Cepatmi Nak, nanti terlambatki’!” Mataku terbentur pada jarum jam usang di atas meja itu. 06.45.. Sebentar lagi shalat Ied akan dimulai.

”Ibu pake’ baju itu ya?” diikuti tatapan aneh, ia menghentikan langkahnya.

“Iya, kan sudahmi dicuci. Sudahmi juga kusetrika kemarin. Nah, trus?” aku menghentikan langkahku, menjawab pertanyaan si gadis kecilku. Kulemparkan senyum manis kepadanya.

“Baju itu lagi, Bu?”

“Salahkah kalau Ibu pake’ baju ini banyak kali?”

”Bukan seperti itu, Bu. Tapi,,, kenapa Rena mesti pake’ baju sebagus ini?”

Ndak apaji Nak. Ndak usahmi perdebatkan masalah ini. Bukan baju barunya yang kita lihat. Yang penting, pintu kebahagiaan masih terbuka untuk kita. Rena bisa tersenyum seperti ini, Ibu sangat senang. Melebihi saat Ibu memakai baju baru. Ayolah Nak, kita berangkat sekarang. Tuh, teman-temannya Rena dari tadi’mi berangkat. Ntar, ndak dapatki’ tempat!”

Rasa haru mulai memenuhi rongga dadaku. Melihat Rena seperti ini, aku sangat bahagia. Kukecup keningnya, lalu memapahnya meninggalkan rumah. Tapi bukannya beranjak pergi, ia malah memelukku. Erat! Dan kubalas pelukan itu penuh hangat. Saat kulepas pelukan itu, aku menangkap sebuah perubahan. Binaran mata itu hilang. Air matanya tumpah dalam dekapanku.

”Bu, terima kasih. Terima kasih Bu!” setengah tersedu, Rena mengucapkan terima kasihnya kepadaku berulang kali. Rasa haruku akhirnya tak terkendali. Air mataku pun tak terbendung. Kalau saja Daengku masih ada, ia pasti bahagia melihat anaknya sebaik ini. Tapi sayang, dia tlah pergi.....Ya, untuk yang kedua kalinya kami merayakan lebaran qurban tanpa kehadirannya. Dia pergi menyisakan rindu yang mendalam. Buatku, juga buat Rena, anakku. Ia masih teramat muda untuk tidak merasakan kasih seorang ayah. Meski kutahu, Rena tidak serapuh aku. Ia tegar menatap hidup. Aku bangga kepadanya. Sangat bangga! Dialah belahan jiwaku satu-satunya..

Ayo’mi kita berangkat Nak!” suaraku memecah kebisuan diantara kami. Rena pun akhirnya beranjak. Tangan Rena terus berada dalam genggamanku. Dengan langkah tegak, kami berjalan menyusuri lorong-lorong rumah, menuju lapangan, tempat dilaksanakannya shalat ied. Sayup-sayup teriakan takbir mulai menyentuh gendang telingaku. Kian lama kian jelas. Hingga akhirnya, tibalah kami di seberang lapangan. Suasana pagi yang begitu membahagiakan. Hingga menyusup jauh ke relung hati, mengalir bersama aliran darahku.

Dengan semangat yang menggebu, aku menyeberangi jalan. Tanpa sadar, ternyata tangan Rena telah terlepas dari genggamanku saat ia ingin memperbaiki sepatunya tadi. Kesadaranku baru muncul saat aku hendak membentangkan sajadahku. Ternyata Rena tidak di sampingku. Gadis kecil dibelakangku yang kuanggap Rena, ternyata bukan. Aku panik! Setengah berlari aku mulai mencari. Hingga kembali berada di sisi jalan tadi.

”Kok banyak orang yang berkumpul ya?” aku berbisik dalam hati. Ketakutanku memuncak melihat kondisi itu. Dan benar, mereka sedang mengelilingi Rena yang sedang terkapar, berlumuran darah.

”Tidaaaak!!!”

***

”Astagfirullah....!” aku hanya mimpi. Kuhapus peluh yang membanjiri wajahku. Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Jantungku berdetak sangat kencang. Tak lama, seorang perempuan tengah berlari mendekatiku.

”Bu, kenapaki’?” setengah panik, dia mulai menyapa.

”Tidak, Ibu mimpi buruk,” aku menjawab sekenanya, sambil meneguk air putih yang dia sodorkan kepadaku. Air mataku akhirnya tumpah. Rasa rinduku kepada gadis kecilku tak dapat kutahan lagi. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Sementara, bingkai itu masih berada dalam genggamanku setelah sebelumnya sempat terlepas.

Perempuan itu kemudian merangkulku. Lalu mengelus kepalaku. Sama saat aku mengelus Rena di mimpiku tadi. Aku sadar, perempuan ini begitu menyayangiku. Tapi bagaimanapun, tetap ada yang lain tanpa kehadiran Rena. Ada sesuatu yang tak bisa kunafikan. Ia bukan apa-apa untukku. Di pikiranku saat ini, bertemu dengan Rena, putri semata wayangku, satu-satunya belahan jiwaku. Dan perempuan ini, Ia hanya seorang gadis yang baik hati dan rela menampungku hingga 3 hari ini. Dialah yang membawaku ke tempat ini, sebuah panti yang lumayan jauh dari kotaku.

Tepat 3 hari yang lalu, aku melakukan pencarian atas kehilangan Rena. Dan aku sama sekali tak berminat untuk pulang ke rumah sebelum aku menemukan gadis kecilku. Hingga akhirnya, aku tergeletak di sebuah pinggiran jalan karena tak sanggup lagi mengangkat kaki untuk melangkah. Cadangan makananku sebelumnya tak sanggup lagi menyuplai energi untuk tubuhku. Bahkan untuk membuka mata saja saat itu terasa sangat berat. Aku tak mampu. Hingga akhirnya, aku tak sadarkan diri. Pemandangan terakhir yang sempat terlihat oleh ku adalah sosok perempuan ini. Ya, aku masih beruntung, bisa tertolong oleh perempuan baik hati ini. Niar, begitu ia biasa dipanggil oleh teman-temannya disini. Dengan sabar, ia terus menjaga dan menemaniku. Bahkan saat aku terdiam seperti ini.

Tanpa ada komando darinya, akhirnya aku mulai menceritakan mimpiku barusan. Ia menyimak sangat serius. Aku tahu, ia sangat sedih mendengar ceritaku. Tapi, ia tetap memperlihatkan sikap empatinya padaku. Selama bersamanya, belum pernah ia bermuka sedih di hadapanku. Terima kasih Engkau menitipkan seorang Niar saat aku merasakan kesepian seperti ini Rabb...

***

Matahari, kini mulai bergeser, kemilau jingga di ufuk barat sana terlihat berbaur bersama langit biru. Sebuah perpaduan warna yang begitu indah. Sayup-sayup, terdengar suara para muazin saling menyapa dari masjid yang satu ke masjid yang lain. Meneriakkan kepada semua hamba menuju pintu kemenangan. Sementara aku, masih saja duduk diam dibalik jendela ini. Besok, hari kemenangan itu akan tiba. Kalau saja Rena tak ada disampingku, artinya untuk tahun ketiga kepergian Daengku, aku harus melalui hari raya ini seorang diri. Tanpa Daengku, juga tanpa Rena.

***

Di sisi ranjang ini, aku kembali memperbaiki posisi dudukku. Waktu tetap berputar mengikuti perintahNya, dan malam semakin larut. Namun aku tak peduli. Sebuah buku usang telah terpangku rapi olehku. Ya, buku yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Begitu setia menghibur hari-hariku. Inilah salah satu peninggalan berharga dari Daengku. Berisi cuap-cuapnya selama ia ada. Selalu menjadi pelipur lara untukku. Rangkaian kata demi kata di dalamnya, cukup mampu mengobati kala rinduku padanya mulai mendera. Teringat olehku, waktu itu Daengku pernah mengungkapkan padaku bahwa Ia sangat bercita-cita menjadi seorang penulis handal. Tapi sayang, citanya harus ikut tertimbun tanah, bersama runtuhnya rumah kami kurang lebih 3 tahun yang lalu.

Aku mulai membuka, tepat halaman terakhir. Kutemukan sebuah puisi. Mataku mulai membaca baris demi baris. Bibirku pun ikut mengeja kata demi kata.

Dendang Kesepian


Tercipta gelisah di ruang ini

Hati mulai rapuh

Ditemani malam yang kian membisu

Ditemani sepi yang mencekam,

tak terbantahkan!

Ditemani lelah,,

Diri mulai meronta

Dalam sembah sujud,

Dalam sebuah renungan

singkat penuh arti,

juga dalam diamku.

Aku tak kuasa,

Buliran airmata bercerai

Menampar pipiku yang terlanjur lemah

Aku terkapar,

Terkulai tanpa daya.

Kekuatan,

Kesempatan,

Kepercayaan,

Ketenangan,

Semuanya!

Semua lari,

Semua hilang!

Diriku hampa...

Tiada arti, tiada daya, tiada asa

Tiada canda, apalagi tawa

Aku lelah,,

Ingin kuhujat diriku,

Tapi apa guna.

Atawa menghujat orang?

Apa untungnya..

Hanya menambah luka berkepanjangan,

Lalu menyisakan sakit

Yang tak kunjung usai

Pilu, itu pasti..

Biar ku disini saja

Dalam renunganku seorang

Ditemani bintang,

Mesti jauh dari kilau indahnya!


***

Pagi akhirnya menjelang. Hatiku sumpek, beban masih menyesaki pikiranku. Masih tertuju pada gadisku, Rena. Ia belum juga ada. Aku tertunduk, Lesu! Hingga kucoba tuk bangkit. Jendela kamarku kubuka. Kurasakan dinginnya pagi merasuki tulang-tulangku. Udara yang sejuk menampar kegalauanku. Ahhh,,, aku menghembuskan nafasku kuat. Beban itu perlahan menghilang. Kudongakkan kepalaku ke atas, Subhanallah!! Indahnya langit itu. Tetap biru bercampur putih. Cerah! Sang mentari masih menyusup-menyusup mencari ruang diantara celahnya. Beban dalam pikiranku melayang dihempaskan angin pagi. Mataku terus menerawang ke atas sana. Menyaksikan lekukan-lekukan awan lembut itu. Indahnya...

Kubayangkan, senyuman manis Rena berada diantara lekukan awan-awan itu sambil melambaikan tangannya kapadaku. ”Rena, dimanaki’ Nak!” aku bergeming.

***

Bersama Niar dan beberapa anak panti lainnya, kami melangkah. Teriakan-teriakan takbir mulai memenuhi seluruh ruang di bumi ini. Dalam hati aku mengikutinya. Tetesan air mata sesekali mewarnai wajahku. Air mata itu sebagai bentuk kesyukuranku kepada Tuhanku, haru! Dia masih mempertemukanku dengan hari kemenangan ini. Meski tanpa Rena di sini. Satu tempat yang kami tuju, masjid An-Nur. Disinilah kami berlebaran.

***

”Bu, ayo’ kita ke ruang tamu dulu. Kita makan-makan dan bersalaman dengan semua penghuni panti” suara Niar memecah kebekuanku sendiri. Aku tak lagi berurai air mata. Aku tak mau memberikan kesedihan di tempat dimana aku telah banyak mendapat pertolongan ini. Tapi sesunguhnya, hatiku meringis kesakitan. Merayakan idul Adha ini tanpa seorang pun belahan jiwaku menemaniku.

Aku bangkit, memenuhi ajakan Niar. Kesedihanku mulai luntur melihat sekumpulan anak-anak panti yang tengah ceria merayakan hari ini. Apalagi setelah berbaur dengan para pengajar dan pembimbing anak panti ini. Bersama teman-teman Niar dan ibu-ibu lainnya. Tradisi saling bersalaman di hari raya juga ada di tempat ini.

”Niar dimana?” ucapku dalam hati. Timbul sederet tanya di benakku saat melihat Niar tidak disini. ”Padahal barusan adaji belakangku. Atau mungkin pergiki menyiapkan makan dan minuman.Tapi sepertinya tidak. Toh semua makan sudah tersaji lengkap di ruang ini,” aku menerka seadanya. Tiba-tiba...

”Bu....!!!!” terdengar seseorang memanggilku dari arah belakang. Suara yang tidak lagi asing. Spontan aku berbalik.

”Rena? Rena anakku....!!!!” aku berteriak histeris. Aku tak peduli semua mata tertuju padaku. Kupeluk Renaku erat. Air mata yang sedari tadi sempat kutahan, akhirnya tumpah dipelukan Rena. Rasa haru pun memenuhi jiwa dan ragaku. Pintu kemenangan akhirnya terbuka untukku.

***

”Sebenarnya adami Rena kemarin sore Bu. Tapi, kami dari pihak panti mau memberikan kado terindah dan surprise buat Ibu. Meski sebelumnya Rena ngotot sekalimi mau ketemu dengan Ibu. Ini murni usulan dari saya. Mohon maaf kalau surprisenya menyakitkan hati Ibu,” Niar mulai menjelaskan setelah kondisi sudah tenang. Sementara Rena yang berada di pangkuanku tertawa saja mendengar penjelasan Niar. Dan ternyata selama ini Rena sedang terjebak di sebuah desa yang lumayan jauh dari sini. Desa yang cukup terpencil. Waktu itu, sekitar semingu yang lalu, Rena pergi bermain bersama Arni, temannya. Dan akhirnya mereka nyasar. Keduanya tidak ketemu. Tapi Arni berhasil pulang ke rumahnya.

Nda’ apa-apaji Nak. Ibu sama sekali tidak marah.”

***

Akhirnya, aku bisa pulang ke rumah membawa Rena dan sejuta bahagia. Hari ini memang hari kemenangan untukku. Terima kasih Rabb....

Kaulah Superwomanku


Pagi menyapa,

kau pun terbangun

segala asa kau tumpahkan ke bumi

Bentangan sinar sang mentari

turut mengikuti setiap langkahmu

Kau temukan duri dalam pencarianmu

Bahkan kau tertampar panasnya Sang surya

Namun,

tak ada keluh yang terucap,

meski peluh membanjirimu

Dibalik tirai sabarmu,

kau bentangkan rekahan senyumanmu

Meski ku tahu,

sebenarnya kau sakit,

sebenarnya kau terluka,

sebenarnya hatimu menangis

Namun,

kau tak jua meronta

apalagi menjerit

Tak ada kerapuhan yang menyelimuti tubuhmu

Topeng ketegaran terus terpasang

di wajah sendumu

Kutemukan cinta, kasih, dan sayang

dalam setiap tatapmu

Kutemukan noktah keikhlasan

dalam setiap gerakmu

Hingga bertahtalah bahagiamu

Kini, hari kian menua

Kau pun terjamah olehnya

Secercah harapan terus tertumpuk

di jidatmu yang semakin berlapis

Namun,

Tirai ketulusanmu mampu menyembunyikannya

Kau hilangkan noda

di balik cadar kesabaranmu

Kekasaran,,

Kemunafikan,,,

Kebohongan,,,,

: semuanya!!!

Kau jawab dengan kelembutanmu

Kau maki dengan segudang doa terbaikmu

Bukan dengan caci,

apalagi sumpah serapah

Disini,

aku hanya diam

:memikirmu,

mengingatmu,

mengenangmu

terbalut rindu merangkuh rongga dadaku

: sesak!

Ingin kuteriak;

I Love You Mom!!!

Karena kaulah Superwomanku...