must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Rabu, 26 November 2008

Tak Sekedar Kata


Maha Suci Engkau Ya Allah, yang telah menciptakan perasaan. Maha Besar Engkau Ya Allah, yang telah menciptakan ada dan tiada….
Hidup ini adalah penghambaan. Tarian penghambaan yang sangat sempurna. Tak ada milik dan pemilik selain Engkau. Tak punya dan mempunyai selain Engkau. Tetapi,,,mengapa Kau harus memasukkan bongkah yang disebut dengan “perasaan” itu pada makhluk ciptaanMu???
Perasaan kehilangan,,,perasaan memiliki,,,perasaan menyayangi,,,perasaan mencintai..
Kami tak melihat, Kau berikan mata. Kami tak mendengar, Kau berikan telinga.kami tak bergerak, Kau berikan kaki. Kami berikan berpuluh-puluh nikmat lainnya. Sangat jelas, semua itu sangat berguna!
Tetapi, mengapa Kau harus menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bingkah perasaan yang seringkali menjadi ’pengkhianat sejati’ dalam tubuh kami? Mengapa??!!!
Engkaulah alasan semua ini. Engkaulah penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu. Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada karenaMu.
Katakanlah wahai semua pencinta di dunia,
Katakanlah, semua kerinduan itu hanya karena Allah. Dan semoga Dia yang Maha Mencinta, yang menciptakan dunia dengan kasih sayang, mengajarkan kita tentang cinta sejati. Semoga Dia memberikan kesempatan kepada kita untuk merasakan hakekatnya. Semoga Dia sungguh memberikan kesempatan kepadakita untuk memandang wajahNya. Wajah yang akan membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang tidak pernah panas membakar. Layu bagai sebongkah es yang tidak pernah membeku.

Butuh kesadaran global menghadapi Global Warming


Sadar tidak,,, kini hujan tidak lagi menjadi rahmat bagi kita.

Hujan baru beberapa hari saja turun, musibah banjir sudah menebarkan ”kesedihan” dan ”air mata” dikalangan rakyat kecil.

Curahan hujan dari langit secara langsung menjelma menjadi banjir yang tak bisa terbendung. Banjir menghancurkan sawah, kebun, tanaman, menghanyutkan manusia, ternak, rumah, dan harta penduduk.
Longsoran tanahpun menyusul dan menambah petaka yang diderita masyarakat.

Ada apa ...????

Marahkah Tuhan atas tindakan kita ???
Atas keegoisan kita ?????
Atas kesombongan kita ????
Dan bahkan Atas kerakusan / keserakahan kita ?????

Bosankah bumi melihat tindakan kita..???
Memperlakukannya seenaknya dan semaunya... tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun dari kita_setelah dengan enaknya menikmati segala kekayaan didalamnya..!!!

Tidakkah kita punya rasa malu sedikitpun kepadanya,,,
Kepada bumi itu..yang telah memberikan semuanya. Menyediakan segala kebutuhan kita.

Tidakkah ada rasa malu dalam diri kita terhadap semua binatang...???
kepada burung-burung itu...???
Kepada sapi-sapi itu...???
Kepada ikan-ikan itu...???
Kepada semuanya yang kita sebut mereka binatang..

Semuanya menempati bumi ini, sama seperti kita.
Tapi mereka tidak sama dengan sikap kita terhadap bumi ini.
Mereka justru lebih bertangung jawab.
Binatang itu, tumbuh-tumbuhan itu,,,mereka tetap melakoni perannya dengan wajar. Sesuai garis yang telah ditetapkan, tidak minta ini dan itu.
Semua dilakukannya dengan penuh kesadaran, seolah-olah akal pikiran itu ada pada mereka.

Mereka semua juga Memanfaatkan segala kekayaan bumi ini. Sama seperti kita, seorang manusia..!!!!
Yang katanya makhluk yang paling sempurna diantara semua ciptaanNya...
Sempurna...!!!!

Dengan segala kelebihan yang dimilikinya,,,,
Yang katanya menjadi khalifah di bumi ini...

Menjadi pemimpin woeyyy,,,pemimpin!!!!!
Pemimpin atas semua yang ada di bumi ini. Bahkan semua yang ada di alam jagad raya ini.

Semua itu karena kesempurnaan yang kita miliki dibanding dengan makhluk lain.
Lantas, dimana kepedulian kita sebagai makhluk yang menyandang predikat tertinggi itu ???

Dimana wujud tanggung jawab kita atas semua yang kita miliki itu????
Pantaskah kita diberi gelar sebagai seorang ”Khalifah” itu ???
Tidakkah itu terlalu tinggi buat kita...???
Layakkah gelar itu ada pada diri kita?
Gelar yang diberikan langsung oleh Tuhan.
Dapatkah kita mempertanggungjawabkannya kelak...????

Terlalu sombongkah kita atas gelar semacam itu?Hingga tak lagi peduli dengan kejadian apa saja disekitar kita, selama kita masih bisa senang.
Selama kesusahan itu tidak menimpa diri kita...????

Sekali lagi, kemana tanggungjawab kita atas semua amanah yang kita pikul,,,???

Saya juga bingung.. Jawabnya apa.
Ketika bencana banjir bandang hanya menjadi tontonan para penikmat ”berita” di pagi hari, yang letaknya jauh diseberang sana. Di negeri orang.
Kini, telah ada didepan mata. Bahkan telah menjadi pemandangan biasa dalam negeri kita, bahkan dalam tempat tinggal kita.

Ketika tanah longsor hanya terjadi sekali dalam setahun. Paling tidak, ini tidak menyisakan sedih yang berkelanjutan dalam diri kita. Dan dapat kembali terganti dengan cerita-cerita bahagia setelahnya.
Kini, bencana itu telah menjadi topik utama dibeberapa media setiap harinya. Dan menjadikan bencana itu bukan lagi hal yang asing di telinga kita.
Sebuah bencana yang dianggap biasa-biasa saja di telinga masyarakat.
Nah, belum lagi ketika bencana angin puting beliung yang dulunya hanya terjadi di negara barat sana. Dan bahkan merupakan bencana yang tidak kita ketahui bagaimana wujudnya. Hanya menjadi bahan cerita bagi orang-orang yang berpengetahuan atau dari orang-orang terdahulu. Hanya menjadi bencana yang asing pada sebagian orang.

Kini, telah menimpa beberapa daerah di negeri kita. tak seperti biasanya, angin puting beliung menerjang ratusan tempat di berbagai titik.
Potensi malapetaka dahsyat yang secara perlahan atau bahkan mulai agak cepat dan pasti akan menjadi ancaman bagi kita sendiri.

Mungkin saat ini kita masih bisa tersenyum saja melihat bencana-bencana itu. Kita masih bisa mengeluarkan tawa meski isu ”global warming” lagi marak-maraknya di bahas di beberapa sudut dunia.
Namun, adakah senyum dan tawa itu kita miliki ketika bencana-bencana itu tlah ada di depan mata kita ??? Pasti tidaklah...tentu kita akan melakukan hal yang sama dilakukan oleh para korban amukan bumi itu.
Lalu, adakah yang mesti kita lakukan,,,? Jangan sampai kita hanya selalu dan selalu berharap semoga semua bencana itu tidak terjadi didepan mata kita.
Dengan kata lain, selama bencana-bencana itu tidak menimpa kita, kita akan terus berdiam diri di tempat kita dengan segala kesenangan yang masih bisa kita nikmati_meski kesusahan menimpa saudara-saudara kita di daerah seberang_

Segitu egoiskah kita,,,????
Tak salah lagi jika kita mengatakan, ”kerusakan alam” ini adalah hasil ciptaan manusia sendiri.

Disadari atau tidak, Bumi ini kian menderita...Kasian!!! sebuah kata yang cukup mewakili...
Lantas apa yang mesti kita lakukan???
Tinggal berdiam diri,,,

Melongo dan terus menikmati sisa-sisa kekayaan bumi ini???
Lari dari (skali lagi) ”tanggung jawab”...

Ataukah kita harus menunggu komando dari para ”pemerhati & pedili lingkingan” untuk membangunkan kita dari tidur panjang kita selama ini dan menggerakkan kaki kita untuk melakukan sesuatu..???

Ataukah harus menunggu kekuatan kita bisa terkumpul sebanyak-banyaknya untuk melakukan semua itu...??
Ataukah hanya menunggu waktu hingga ”kemauan” itu ada pada diri kita...????_entah sampai kapan_

Tidak ada yang dapat kita lakukan selain melakukannya SKARANG dan memulainya dari DIRI KITA....!!!

Sekecil apapun itu, pastinya itu akan sangat membantu mengatasi penderitaan bumi kita satu-satunya.
Tempat kita berpijak, tempat kita melekatkan kaki kita, tempat kita menikmati kekayaannya, dan masih banyak lagi yang membuat kita masih bisa ada hingga saat ini.
_kalo bumi ini tenggelam, kemana lagi kita akan mengungsi????

Tentu tidak akan ada lagi tim relawan atau tim SARS_yang beberapa tahun terakhir ini cukup familiar ditelinga kita, dengan bencana-bencana itu pastinya_

Tentu tidak akan ada lagi tenda-tenda pengungsian yang didirikan oleh jejeran TNI dan kawan-kawan

Tentu tidak akan ada lagi bantuan makanan, obat-obatan, dan sebagainya yang akan diberikan oleh para dermawan
Tentu tidak akan ada lagi program peduli SCTV yang akan membantu kita

Mengapa????

Karena semua sibuk mengurus diri masing-masing. Sibuk membantu diri masing-masing. Sibuk menjadi seorang ’dermawan’ bagi diri masing-masing.

Akankah kita menunggu hari itu????
Na’uzu billahi min zalik...!!!

Tersimpan Cinta untuk Alamku


Oleh: A. Saputri Mulyanna*)

Matahari semakin terik. Seolah ingin memanggang seluruh makhluk di bawah bentangan sinarnya. Membuat kota daeng ini semakin gerah. Aku baru saja selesai kuliah. Bersama temanku Damar, aku berjalan menyusuri koridor kampus, menuju pelataran baruga. Sore ini ada agenda rapat bersama teman-teman.
***
Sore menjelang magrib. Sekelompok mahasiswa masih saja duduk melingkar di pelataran Baruga Universitas Hasanuddin, membahas masalah-masalah internal seputar lembaganya. Merekalah sekumpulan warga PENA (Pelajar Pecinta Alam). Seolah hal ini menjadi sebuah ritual bagi perkumpulan anak-anak itu. Dan aku, adalah salah satu dari sekelompok itu.
Tak lama kemudian, azan maghrib berkumandang. Panorama senja berangsur menghilang. Untungnya, rapat internal itu sudah bisa diakhiri, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Hari ini, aku tak banyak berkomentar. Lagi tidak mood untuk berdiskusi. Kelelahan pasca praktikum tadi siang masih membatasi ruang gerakku.
Sementara, jauh di seberang jalan sana berderet Pete’-pete’ (baca: Angkot) sedang menanti ‘Langganan-langganan tak tetapnya’. Teriakan-teriakan klakson dari mobil-mobil itu tak jua menyadarkan kami untuk beranjak dari pelataran itu, menikmati jasa sopir-sopir itu. Hujan deras baru saja reda. Sebagian jalan masih saja digenangi air. Daun-daun sesekali melempari tanah dengan tetesan air hujan yang masih tersisa. Hawa dingin pun masih menyelimuti kampus merah ini.
Di taman Baruga itu, aku berpisah dengan teman-temanku. Tanpa basa-basi, aku langsung saja menyeret kakiku menuju Pete’-pete’. Tak lama, melajulah aku bersama penumpang-penumpang lain yang satu pun tak kukenal. Aku hanya berdiam diri di pojok belakang, terduduk lesu tanpa menunjukkan semangat sedikitpun. Sesekali, aku mendongakkan wajahku, untuk sekedar melempar pandangan ke seberang jendela. Tak ada yang menarik. Dan, aku memutuskan untuk tidur saja. Perjalanan ke rumahku memang cukup jauh. Sekitar 1 jam, itu kalau mengendarai Pete’-pete’ seperti sekarang ini.
***
”Fuiih,, macet lagi,,,macet lagi!!!” aku berdesah ringan. Sudah hampir 2 jam aku belum juga sampai. Padahal biasanya hanya butuh waktu 1 jam untuk sampai di rumah. Selama hampir sejam itu, kami masih berada di Jalan Urip Sumoharjo. Paling posisinya saja yang berubah. Tadi di depan Graha Pena. 5 menit kemudian, di depan kampus Pascasarjana UMI. 5 menit berikutnya, di depan Gedung DPRD. Sekarang, di depan kampus LP3I, dan masih di Jalan yang sama. “Makassar panas, Makassar gerah, Makassar sumpek!!” aku setengah berbisik. Aku tak sanggup lagi memejamkan mata dalam kondisi seperti ini. Meski hari sudah mulai gelap, partikel-partikel debu masih saja beterbangan bebas. Menampar wajah manusia-manusia bumi, termasuk aku.
Entah sudah berapa judul lagu selesai didendangkan. Mobil pun mulai melaju, meski belum sepenuhnya longgar. Selanjutnya, lagu tadi disusul dengan acara Kilas Info. Tak jauh beda dengan acara Sekilas Info milik RCTI. Sang Penyiar mulai menyapa pendengarnya dengan sejuta kata pamungkasnya. Tapi, aku sama sekali tak tertarik. Aku hanya ingin mendengar kabar apa gerangan yang akan disajikan saat ini. Adakah peristiwa yang membuatku tersentak? Adakah kabar tentang kondisi sang alam, kawanku? Atau kabar tentang Gunung Bawakaraengku,,,
Pendengar yang setia... sejak 2 hari terakhir, Sinjai tiada henti diguyur hujan deras. Dan akhirnya, kemarin malam, kala manusia terlelap dalam tidurnya, ternyata sebagian warga Sinjai justru tengah berjuang keras menghadapi derasnya hujan yang semakin tak terkendali. Tak tanggung-tanggung, rumah-rumah pada tenggelam. Pohon-pohon tumbang. Listrik seketika padam. Sementara, hari masih gelap gulita. Orang-orang pada sibuk mengurus jiwa masing-masing. Satu per satu jiwa yang tak sanggup bertahan akhirnya berguguran...
”Hah...!!!!” aku tersentak. Lamunanku buyar seketika! Penumpang di disampingku bahkan ikut tersentak karena ulahku. Namun aku tak peduli. Lagi-lagi, alamku mengamuk, menyisakan luka dalam jiwaku.
”Astagfirullah.. apa yang terjadi!!! Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres di sana,” aku kembali menerka. Panik, itu pasti. Sejuta tanya kian menari riang di benakku. Aku tertunduk, semakin lesu...mataku kupejamkan. Kemudian, aku menatap deretan pohon di pinggir jalan itu, lama! Hingga aku tak sadar mobil sudah memasuki sebuah lorong di Jalan Veteran, rumahku lewat.
”Pak, kiriiii!!!!” aku setengah teriak. Penumpang pada menoleh ke arahku, aku tak peduli, tapi dalam hati aku tertawa cengengesan . Aku langsung saja melompat turun.
***
”Retno, barusan aku mendengar berita. Semalam, ada banjir bandang di Sinjai. Tolong hubungi warga PENA sekarang juga, besok subuh kita berangkat ke sana. Alam kita kembali mengamuk!”
”Ok. Barusan aku ingin menghubungimu tentang hal ini. Kita pakai mobilku saja. Ntar aku lobi ke Ayahku, semoga bisa.”
”Jangan lupa ingatkan teman-teman untuk mengumpulkan pakaian bekas dan segala yang bisa dikumpulkan untuk kita sumbangkan,” aku mengingatkan Retno.
Ok!” Telepon pun terputus. Aku mulai berkemas. Mengumpulkan barang-barang yang bisa kubawa besok. Dari jaket, pakaian bekas, obat-obatan, sampai makanan. Aku menggerakkan orang-orang rumah untuk membantuku. Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku sudah memahami kebiasaanku. Mereka mengerti tentang diriku sebagai seorang kawanan pecinta alam. Sebanyak-banyaknya aku mengambil makanan di toko Ibu di depan. Tentu tak sekedar mengambilnya saja. Hal ini sudah menjadi kewajiban PENA untuk membayarnya. Ya, kebetulan kas lagi tidak kosong. Masih ada sisa dana baksos kemarin. Aku, dipercayakan oleh teman-teman untuk menjadi ketua dari PENA ini. Mau tidak mau, akulah yang mengurus segala yang diperlukan. Termasuk mempersiapkan barang-barang sebelum beraksi, seperti malam ini...
Kringgg…Kring…!!!
Aku bergegas mengangkat telepon itu. Aku yakin, itu dari warga PENA. Dan memang benar, dari Retno!
“Kenapa Ret?”
“Al, teman-teman pada nggak bisa berangkat besok pagi, kecuali Andre. Besok Ridho punya 3 jadwal final. Katanya, besok malam baru nyusul. Dedi, sekarang lagi di Rumah Sakit, ngurus adiknya yang tadi siang kecelakaan. Orang tuanya masih di Bandung, jadi sama sekali nggak bisa pergi. Nah, Joko kan masih sakit. Deni juga. Cuma kita bertiga. Gimana?” Retno menjelaskan panjang lebar, tapi aku tetap menyimak tanpa satupun terlewatkan. Meski suasana di rumahku saat ini lagi gaduh. Adik-adikku tengah asyik bermain playstation tak jauh dari posisiku sekarang.
”Ya udah, kita pergi aja bertiga. Jangankan bertiga, seorang pun kita harus pergi selama kita bisa. Itu sudah menjadi prinsip kita. Jangan sampai kita kecolongan atas kejadian ini. Trus, gimana dengan mobilmu Retno, bisa kita pakai besok?”
”Oh iya, begini Al, ternyata besok pagi Ayahku juga mau ke Sinjai, tapi dengan teman-teman kantornya. Jadi, kita sama sekali tidak bisa memakai mobil itu. Sorry, Al!”
”Mmm,,,trus gimana ya? Motor sih ada...tapi masalahnya, kan banyak barang yang mau kita bawa. Gimana ya?!!!” aku mulai bingung. Lama kami membisu. Telepon belum juga terputus. Nampaknya, Retno juga lagi berpikir.
“Atau begini saja Al. Barang-barangnya dititip saja di mobil ayahku. Kita bertiga naik motor saja. Motorku bisa di pake juga kok. Jadi, salah satu diantara kita pergi bersama Andre, gimana?” Retno akhirnya memcah kebisuan itu.
”Ya sudah, ide yang bagus. Besok subuh aku tunggu di sini. Bisa kan, Ayah kamu mampir di sini dulu ngambil nih barang-barang. Banyak banget soalnya. Aku nggak bisa nganter ke sana sendiri.”
”Ok, See U Later!” telepon pun terputus.
***
Dipagi yang buta, kami berangkat. Kicauan burung masih samar terdengar, pertanda hari masih gelap. 2 buah motor terus melaju dengan kecepatan tinggi, menerobos kegelapan itu. Angin subuh sesekali menampar kami. Kedinginan pun terus menyelimuti. Namun, dengan semangat yang terus menggelora akhirnya berhasil kami taklukkan. Biarlah mereka menjadi saksi atas perjuangan kami dalam menyelamatkan sang alam. Jejeran pepohonan disamping kiri-kanan kami seolah melepaskan kepergian kami. Terselip dari hati kecilku, pohon-pohon itu masih bisa ada.
Hari semakin pagi. Jalan yang berkelok telah kami lewati. Empat jam telah berlalu. Tinggal 30 menit lagi kami akan tiba di lokasi. Aku mulai merintih. Tak sanggup kubayangkan apa yang kelak aku lihat disana.
***
”Whats???? Astagfirullah Aldo!!!!” Retno setengah teriak kepadaku, setelah melihat sekelilingnya. Mayat berserakan tak beraturan. Sebagian jalan tak kelihatan tertutupi runtuhan rumah-rumah penduduk. Sebagian jalan di ujung jembatan longsor. Sawah-sawah tak lagi berbentuk. Pohon-pohon besar tumbang menutupi jalan raya. ”Alamku,,,” aku bergumam, tanpa satupun temanku yang mendengar. Belum lagi, bau amis semakin menari-nari di hidung kami diterpa angin. Bau itu tentu berasal dari mayat kaku yang masih berserakan itu. Sebuah pemandangan yang sungguh mengelikan. Sangat ironis!
Pemandangan lain, penduduk tengah sibuk membersihkan reruntuhan rumah korban. Mereka masih mencari-cari mayat yang terselip diantara reruntuhan itu. Dan benar saja, di sisi kanan kami aku melihat seorang bapak tengah menemukan dua orang mayat. Seorang ibu dan anak. Astagfirullah,,, berulang kali kami beristigfar. Sungguh diluar dugaan kami. Kesedihan mengguyur nurani kami.
”Aldi, mungkin seperti ini keadaan saat tsunami di Aceh,” Andre setengah berbisik sembari mendekatkan dirinya ke arahku.
”Ya, sepertinya,” Aku menjawab seadanya. Mataku masih tertuju pada mayat Ibu anak itu. Kasihan!
”Ya udah. Sekarang, mari kita mulai membantu mereka. Kita bantu mencari mayat-mayat yang belum ditemukan. Tapi sebelumnya mari kita ambil semua barang-barang di mobil Retno. Kita bagi-bagikan ke mereka,” layaknya seorang komandan, aku memberikan instruksi kepada kedua temanku. Dan, kami mulai bergerak.
Dua buah dos mie kami bagi. Tiga dos pakaian bekas, Satu kantong obat, satu dos peralatan mandi. Tak ketinggalan, dua kantong besar nasi bungkus, titipan dari Deni tadi subuh. Kami sempat mampir ke rumahnya untuk mengambil titipannya.
Kami disambut baik oleh masyarakat setempat. Guratan kesedihan masih terpantul dari wajah-wajah mereka. Sebagian matanya masih membengkak. Aku tak bisa membayangkan, seandainya aku berada di posisi mereka. Kehilangan orang tua, kehilangan saudara, kehilangan tempat tinggal. Bahkan ada yang tinggal sebatang kara. Semua anggota keluarganya tewas terbawa arus. Bayangkan saja, disaat kita tengah asyik-asyiknya melepas lelah di malam hari, secara tiba-tiba air datang dan akhirnya mencapai kurang lebih 3 meter dalam waktu yang begitu singkat. Jadi, orang-orang yang tidak sanggup lagi bertahan akhirnya terbawa arus.
”Padahal kami sudah naik di atas genteng rumah, saking tingginya air itu. Bayangkan, rumah kami rumah panggung. Dan air masih mencapai puncak rumah kami. Rumah yang sudah agak lapuk, akhirnya runtuh bersama yang punya. Kemarin malam, suasana disini sangat mengerikan. Teriakan histeris minta tolong semakin menggema, namun kami tak bisa saling membantu. Semua tengah sibuk menyelamatkan keluarga masing-masing. Kami membabi buta dalam suasana malam yang semakin gelap. Saat itu kan listrik padam. Kami juga kedinginan, semua pakaian tak ada yang mampu kami selamatkan. Air sungai dibawah sana meluap. Semua terjadi secara tiba-tiba,” seorang Bapak tengah bercerita kepada kami. Ternyata, Bapak ini belum mampu melupakan peristiwa naas itu. Bendungan air matanya akhirnya tumpah. Kami ikut berurai airmata. Retno, yang selama aku bersamanya tak pernah melihatnya menangis, juga ikut menangis. Siapa yang tidak sedih melihat kondisi ini. Nurani pasti terkoyak.
Dua hari kami berada di sana. Setelahnya, kami langsung balik lagi ke Makassar. Rasanya masih banyak yang ingin kami lakukan, namun waktu sangat tidak memungkinkan untuk tinggal berlama-lama lagi. Ibu Retno tiba-tiba sakit. Saya ada jadwal ujian final.
***
Dalam perjalanan pulang, bayang-bayang kota Sinjai masih terus bergelayut di benakku. Wajah sendu mereka yang ditinggal keluarga. Kota yang dulunya indah, kini menyisakan puing-puing reruntuhan rumah. “Alamku, maafkan aku....!”
Dan setelah itu,,,, Brukkkk!!!! Motorku menabrak sebuah pohon. Aku terpental jauh ke samping. Sementara, Ridho yang aku bonceng juga terjatuh, namun tidak jauh terlempar.

***
Hari itu kini menyisakan kenangan dalam hidupku. Aku tak mau menyalahkan bahwa karena Sinjai aku harus rela kehilangan indera mataku. Jangankan mata, apa pun akan aku korbankan demi alamku. Aku tak mau membuatnya menangis. Meski saat ini aku tak lagi berbuat banyak seperti yang dulu, tapi jiwaku masih ada untuk alamku. Telingaku masih bisa mendengar jeritan alamku. Dan yang terpenting, hatiku masih bisa merasakan penderitaan alamku.
Kini, penduduk bumi pun terbangun. Meski hari masih sangat muda, suasana kian menggeliat. Dibalik dinding kamarku, kudengar kicauan burung yang saling bersahutan satu sama lain. Kudorong kursiku dengan gaya yang malas menuju jendela kamarku, lalu membukanya. “Aaaah sejuknya…” Angin pagi menyapaku. Kurasakan suasana yang begitu damai. Membuat hatiku luluh karenanya. Kegelisahan yang sempat menderaku mulai terkikis sedikit demi sedikit.
Hari ini, tepat setahun peristiwa banjir bandang itu. Tepat setahun pula aku kehilangan indera mataku. Tepat setahun pula aku tak bisa melangkah normal. Dan, tepat setahun pula kecintaanku kepada alam semakin berlipat. Kini, di atas kursi roda ini, aku hanya bisa bernyanyi. Mendendangkan lagu menghibur alamku kala ia sedih.
Kulihat ibu pertiwi...
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intanmu terkenang....
Hutan sawah gunung lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa....

***

*) Ativis FLP Unhas, Mahasiswi Ners A’07 UH
Terucap salam buat keluarga besar FLP, kawan-kawan PII, dan warga IKMS. Save our earth! Jangan sering buat ia menangis...

Selasa, 25 November 2008

FLP Unhas: Bedah Buku “Muslimah Yang Ternoda” Menuai Sukses



Kegiatan bedah buku kembali digelar FLP Unhas. Setelah sebelumnya buku “Cupiderman-3G” juga pernah digelar sekitar 5 bulan yang lalu. Dengan mengusung tema ‘Mengurai Sejarah, Menuai Makna dalam Tirai Persaudaraan’, terselenggara atas kerja sama FLP ranting Unhas dengan Ustad Muhammad Nur Hidayat, TB. Mirqat, dan butik Nahla. Tak tanggung-tanggung, acara ini dihadiri oleh sedikitnya 80 peserta. Tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa saja, tapi bahkan dihadiri oleh beberapa Bapak-bapak dan Ibu-Ibu dari luar. Panitia pelaksana, Raidah Intizar melaporkan, tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah memperkenalkan penulis lokal dalam sebuah karya dan mengingatkan peserta akan sejarah muslimah terdahulu.
Muhammad Nurhidayat, penulis buku Muslimah Yang Ternoda juga hadir di acara itu. Beliau adalah alumni Ilmu Komunikasi FISIP Unhas angkatan 1998 dan mantan asisten Alm. Dr. Mansyur Semma. Di Kosmik (Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi). Tahun 2001, Beliau bergabung di Forum Lingkar Pena Sulsel, menjabat sebagai koordinator Pengembangan Sumber Daya Manusia. Adapun pemateri yang lain adalah Bapak Drs. Aswar Hasan, M.Si. (Ketua KPID Sulsel, dosen Ilmu Komunikasi Unhas), Ustad Ahmad Abdi Amsyir (Gemilang), Ibu Nurmita, S. Si (BKM Seruni KAMMDA Sul-Sel), dan Bapak Muh. Ichsa( Pusat Advokasi Hak Asazi Manusia ). Acara yang berlangsung di Gedung LT.8 Unhas ini dibuka oleh BapakIr. H. Nasaruddin Salam, M.T. (PR III Unhas), sebagai Dewan Pembina FLP Unhas. Ketua umum FLP Unhas, A. Saputri Mulyanna mengungkapkan, jangan pernah membiarkan sejarah berlalu begitu saja tanpa menyisakan tanya di benak Anda. Karena sejarah adalah bukti dari kehidupan yang tak pernah bohong. Beliau menambahkan, “kegiatan bedah buku ini juga sebagai salah satu rangkaian dari kegiatan Pra-TOR (Training of Recruitmen) FLP Wilayah Sul Sel yang akan dilaksanakan tanggal 26 Desember mendatang. Jadi, buat siapa saja yang ingin bergabung menjadi member of FLP, please join there. Dunia FLP, beda!!!”




persiapan pra_Launching bukuQ yg perdana @ Korea timur (adakah???!!!...^_^)

Minggu, 23 November 2008

TV, Sebuah Alternatif menuju Kebobrokan Bangsa*)




”Tak penting seberapa banyak kesempatan yang kita miliki. Yang terpenting, seberapa banyak kesuksesan yang kita toreh dari setiap kesempatan yang kita punya...”


Kemajuan dunia teknologi kini semakin nyata. Tak bisa dipungkiri, kita hidup dalam era informasi. Setiap hari kita basah kuyup oleh guyuran media yang tiada henti. Informasi-informasi di belahan dunia manapun kita sabet. Gambar, suara, gagasan, dan sensasi membombardir kita dengan kecepatan cahaya. Terkadang sebelum kita mencerna semua informasi yang baru kita terima, kita sudah diterpa oleh badai gagasan baru yang lain.
TV, sebagai salah satu media turut berperan andil atas penyebarluasan informasi itu. Serbuan pesan terus menyerang kita (kita yang menontonnya). Segala bentuk berita ditayangkan disini. Harus diakui, kini TV memiliki pengaruh luar biasa terhadap masyarakat. Aneka tayangan yang dihadirkan kepada masyarakat baik itu berupa informasi, hiburan, hingga tayangan klenik, tampaknya sudah menjadi "kewajiban" untuk ditonton. Dengan kesempurnaan TV ini, wawasan kita semakin bertambah. Pun menjadi solusi untuk menghadapi dunia globalisasi yang semakin terbuka lebar. Sehingga kita tak lagi harus menganga kebingungan atas segala perkembangan yang terjadi.
Siapa pun, tua, muda, hingga anak-anak menjadikan televisi sebagai bagian dari denyut nadi hidup keseharian. Rasanya hampa jika sehari tidak menonton TV. Apalagi, pada zaman serba instant ini, masyarakat kita yang sudah rentan karena himpitan hidupnya yang berat, media televisi adalah salah satu pelipur lara dari beratnya beban hidup.
Di lain pihak, kita tak bisa menyangkal. Ada efek samping yang ditimbulkan atas kekuasaan TV itu. Pelajar, sebagai pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa tak luput darinya. Pelajar yang sebagian besar masih dalam kalangan remaja menjadi korban atas kekuasaannya. Remaja, telah menjadi kelompok target utama bagi media. Mengapa? Karena mereka adalah kelompok pembeli yang amat besar. Kalangan rintis dengan rakus mengantisipasi berapa keuntungan yang bisa mereka keruk dari suatu produk yang menjadi idaman para remaja. Mereka didikte tentang apa yang harus dimainkan, dikenakan, bahkan apa yang harus dimakan. Para perintis itu bahkan sangat jeli melihat apa saja yang menjadi ngetrend pada saat ini. Ironisnya, remaja-remaja banyak yang menghabiskan jutaan rupiah setiap tahun untuk sekedar membeli kaset/VCD, menonton film, menghadiri konser, dan yang paling sering menghabiskan uang hanya untuk mengoleksi pakaian. Mereka menonton TV berjam-jam. Itulah sebabnya mengapa mayoritas iklan yang berorientasi remaja bisa ditemukan pada TV. Sasaran bagi para raksasa industri ini adalah memperoleh keuntungan besar pastinya. Keuntungan inilah menjadi prioritas utama buat mereka. Moral pun dijadikan sebagai tujuan sekunder. Baik atau tidaknya tayangan yang mereka buat, itu urusan belakang.
Sebuah pertanyaan: ”Pernahkah kita merenungkan dampak media terhadap kita?” Hal ini menjadi sesuatu yang kontroversial pada saat ini. Para orangtua dan pendidik pada khususnya, prihatin atas bahaya pengaruh media terhadap anakpada umumnya, bagi mereka pelajar pada khususnya. Memang, tidak bisa dikatakan bahwa semua media bagus ataupun jelek. Pada satu sisi, media memungkinkan kita menjelajahi suatu dunia yang indah penuh dengan kesenangan dan penemuan. Sebaliknya, ada suatu dunia media yang bersifat negative dan menjerumuskan, penuh dengan pesan-pesan merusak yang dipercayai sebagian orang yang melihatnya (red: menontonnya).
Tak bisa dipungkiri, meminjam pandangan Linda Ellerbee, aktivis media literacy, dalam Parents, Kids, and Media (2005), di era televisi sebagai bentuk sentral komunikasi, keluarga memosisikan televisi sebagai pengasuh, guru, kawan, sekaligus orang tua bagi anak-anak. Itulah posisi televisi yang begitu kuat dan perkasa membentuk alam pikiran anak. Celakanya, sedikit anak yang dilatih untuk "melek" (kritis) terhadap media televisi.
Ida Ayu Wesnawiti (dalam Koran Tokoh, 26 Februari 2006) mencoba menguraikan dampak yang ditimbulkan dari tayangan kekerasan di televisi yaitu berupa peniruan terbentuknya sikap/karakter terhadap apa yang disaksikannya. Sesudah itu muncullah penyakit-penyakit sosial seperti pornografi/pornoaksi, dan perilaku-perilaku kriminal.
Berbagai tayangan televisi yang demikian sadis atau sarat dengan muatan kekerasan dapat mengakibatkan trauma bagi sebagian orang, begitu cerita Prof. Dr.dr. Ketut Suryani (Bali Post, 1 Mei 2004). Lebih jauh ia menyatakan bahwa dampak tayangan televisi bagi anak-anak di bawah umur 12 tahun yang terlalu banyak menonton, menyebabkan mereka kurang peka terhadap lingkungan. Televisi dapat juga melumpuhkan nilai-nilai dan konsep konstruktif dengan berkembangnya kebingungan soal seks.
Dampak negatif tayangan televisi sangat dirasakan bagi anak-anak pelajar. Menjelang malam mereka sering lupa belajar karena tergoda tayangan film kartun atau acara lain yang sebenarnya dirancang bukan sebagai tontonan anak-anak. Ia seperti sudah kecanduan, setiap pulang sekolah langsung mencari remote control dan mencari acara kesayangannya.
Solusi Menghadapi Pelajar Pecandu TV
Persoalan mendasar yang kita hadapi sekarang tentu saja menyangkut alternatif jalan keluar guna mengatasi permasalahan dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari acara-acara tayangan televisi yang kurang mendidik. Resep yang dianggap paling ampuh dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya nonton televisi adalah semakin memperkuat daya tahan keluarga (jangan mudah terpengaruh terhadap tayangan-tayangan terutama yang bersifat destruktif).
Banyak hal yang dapat kita lakukan agar tidak dapat terjerumus ke dalam orang-orang pecandu nonton TV. Berikut contohnya :
1. Pergi ke perpustakaan atau ke toko buku terdekat. Biasakanlah diri kita untuk membaca buku. Bila sempat, sisakan waktu setiap hari. Hal ini akan menjadi kegiatan yang sangat bermanfaat bagi kita. Selain menghindarkan diri untuk menonton secara berlebih, kita juga bisa menambah wawasan. Banyak informasi yang bisa kita peroleh dari buku tanpa ada efek samping yang membahayakan.
2. Bercocok tanam. TV menjauhkan kita dari alam. Padahal banyak hal yang bisa diajarkan oleh alam, dan tentu tidak bisa didapatkan dari menonton TV. Dengan belajar bercocok tanam, kita bisa mengetahui banyak banyak hal. Mulai membuat taman bunga sendiri, atau bahkan 1 pot saja. Dengan ini kita bisa belajar makna tumbuh dan bertanggung jawab. Jadi setiap kali menyiram bunganya di pagi hari, kita akan ingat bahwa tanaman, seperti kita semua itu mulai dari benih, tumbuh, berkembang dan kelak layu dan mati. Dan selalu perlu air dan matahari!
3. Melihat awan. Aneh? Mungkin. Karena kita tidak dibiasakan menikmati langit. Atau kita biasa hanya terpaku dengan indahnya bintang-bintang di malam hari. Padahal awan itu hampir selalu ada, selalu bergerak dan kadang-kadang membentuk hal-hal yang unik, seperti kuda nil, atau pesawat terbang. Kadang mereka bisa melihat 1 awan tapi dengan 2 bentuk yang berbeda. Kita juga bisa mengajaknya membuat puisi tentang awan. Atau biarkan mereka mengarang cerita tentang apa kira-kira rasanya bila kita bisa hidup di awan. Hal ini bisa memicu daya imajinasi dan kreativitas.
4. Jalan-jalan Jalan-jalan itu mudah dan murah. Tidak perlu banyak mengeluarkan uang. Jalan-jalan ke rumah teman atau sekadar berkeliling lingkungan rumah saja untuk menyapa tetangga. Kita juga bisa berjalan-jalan ke taman kota dan membuat piknik atau sekadar bermain di sana. Jalan-jalan itu baik untuk tubuh karena bisa menurunkan tekanan darah dan resiko terkena penyakit jantung. Dan yang lebih menguntungkan, jalan-jalan juga bisa mengurangi berat badan. Jalan-jalan juga bisa menenangkan pikiran dan melepaskan stres. Karena dengan berjalan, otak melepaskan zat yang bisa meringankan tekanan pada otot serta mengurangi kecemasan. Jalan-jalan juga bagus untuk lingkungan. Kalau kita lebih sering berjalan dari pada menggunakan transportasi bermesin, kita bisa menghemat 7 milyar gallon bensin dan 9.5 juta ton asap pembuangan kendaraan bermotor pertahunnya. Bayangkan!
5. Mendengarkan radio atau membaca Koran/ majalah. Anak sekarang sudah jarang sekali mendengarkan radio, apalagi membaca koran. Padahal mungin mereka bisa mendapatkan informasi yang tidak kalah banyaknya dibanding mendengarkan berita di TV. Radio bisa melatih anak untuk mendengarkan dengan baik dan koran bisa mengajak anak untuk menambah wawasannya tentang dunia.
6. Berolahraga Kadang kata olahraga terdengar berat, tapi setelah dilakukan biasanya menyenangkan. Selain jalan-jalan, bersepeda dan berenang, masih banyak lagi olahraga yang bisa dilakukan bersama keluarga. Kalau mau yang sederhana, main badminton adalah pilihan tepat. Kalau mau yang lebih menantang, pergi water rafting! Kegiatan ini menjadi ajang untuk me-refresh kepenatan otak kita. jadi, tidak perlu dengan menonton TV.
7. Bakti sosial. Kita sering lupa untuk memerhatikan orang-orang di lingkungan sekitar yang tidak seberuntung mereka. Ajak teman-teman untuk bersama-sama membersihkan rumah dan lemari pakaian dari barang-barang yang tidak lagi digunakan tapi masih bagus dan layak pakai untuk disumbangkan ke panti-panti asuhan di sekitar rumah. Atau bersama teman-teman tetangga membersihkan masjid, dan banyak lagi.
8. Rapikan rumah dan halaman. Biasanya yang ini adalah tugas pembantu rumah tangga. Tidak ada salahnya untuk memperhatikan tempat tinggal kita sendiri. Karena pembantu tidak selalu ada untuk melayani (kalau toh ada pembantu). Ingatlah, bahwa pembantu disebut demikian karena tugasnya memang ’membantu’ hal-hal yang kita tidak bisa kerjakan. Bukan sebaliknya. Dengan demikian kita akan belajar untuk bertanggung jawab dan lebih menghargai orang lain. Lagipula, tinggal di lingkungan yang rapi dan bersih itu sehat dan menyenangkan bukan?
9. Ikut les. Isilah waktu luangmu dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Salah satunya dengan mengikuti les. Pelajaran di sekolah hanya melatih otak kiri. Jangan lupa untuk melatih otak kanannya. Ikutilah les yang menarik dan sesuai dengan bakat kita. Mulai dari les musik dengan piano, gitar, biola atau drumnya, atau les menari mulai dari tarian daerah, tarian modern dan ballet, atau les-les lainnya. Tapi ingat, jangan sampai les-les ini menambah beban belajar yang sudah menumpuk di sekolah. Pastikan kita tetap mendapatkan waktu yang cukup untuk istirahat.
10. Bercengkrama dengan keluarga. Nah ini yang mahal. Karena penelitian mengatakan bahwa 54% anak berusia 4-6 mengaku lebih senang menonton TV daripada bermain dengan ayahnya. Para orangtua juga mengaku bahwa mereka hanya menghabiskan sekitar 40 menit perhari untuk melakukan percakapan yang berarti dengan anaknya. Kedekatan dengan keluarga tidak bisa dibeli. Jangan biarkan televisi mencuri lagi waktu kita untuk keluarga yang memang sudah tinggal sedikit sekali karena terpotong aktivitas sehari-hari.
11. Belajar Sebetulnya apapun yang kita lakukan merupakan pembelajaran. Jadi belajar itu bukan hanya lewat buku. Belajar hal-hal baru yang belum kita ketahui. Belajar naik motor atau membuat sarang burung dari kayu misalnya. Belajar menjahit, belajar main basket, dan sebagainya.
12. Mengerjakan keterampilan tangan. Banyak buku sekarang yang mengajarkan membuat keterampilan tangan, sehingga kita bisa melakukannya secara otodidak. Keterampilan tangan bisa dalam bentuk bermacam ragam, mulai dari meyulam, melukis, sampai membuat bunga dari sabun mandi.
Dengan demikian, banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mengisi waktu kosong kita dengan hal-hal yang positif, tapi tidak dengan menonton.
Life is choice! Hidup memang sebuah pilihan. Begitu banyak pilihan di depan mata. Namun, keputusan tetap di tangan kita. Membiarkan TV menghancurkan moral bangsa, atau mencari alternatif lain untuk menyelamatkan moral bangsa. Jangan pernah terperdaya oleh segala rayuan dan bualan sebuah benda kecil bernama TV. Mari kita taklukkan! Tunjukkan kedewasaan kita dalam menyikapinya.

*) A. Saputri Mulyanna,
Dikutip dan diolah dari berbagai sumber, untuk dimanfaatkan sebagaimana mestinya (Hasil Revisi makalah Intermediet Training PII Sul Sel)