must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Rabu, 26 November 2008

Tersimpan Cinta untuk Alamku


Oleh: A. Saputri Mulyanna*)

Matahari semakin terik. Seolah ingin memanggang seluruh makhluk di bawah bentangan sinarnya. Membuat kota daeng ini semakin gerah. Aku baru saja selesai kuliah. Bersama temanku Damar, aku berjalan menyusuri koridor kampus, menuju pelataran baruga. Sore ini ada agenda rapat bersama teman-teman.
***
Sore menjelang magrib. Sekelompok mahasiswa masih saja duduk melingkar di pelataran Baruga Universitas Hasanuddin, membahas masalah-masalah internal seputar lembaganya. Merekalah sekumpulan warga PENA (Pelajar Pecinta Alam). Seolah hal ini menjadi sebuah ritual bagi perkumpulan anak-anak itu. Dan aku, adalah salah satu dari sekelompok itu.
Tak lama kemudian, azan maghrib berkumandang. Panorama senja berangsur menghilang. Untungnya, rapat internal itu sudah bisa diakhiri, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Hari ini, aku tak banyak berkomentar. Lagi tidak mood untuk berdiskusi. Kelelahan pasca praktikum tadi siang masih membatasi ruang gerakku.
Sementara, jauh di seberang jalan sana berderet Pete’-pete’ (baca: Angkot) sedang menanti ‘Langganan-langganan tak tetapnya’. Teriakan-teriakan klakson dari mobil-mobil itu tak jua menyadarkan kami untuk beranjak dari pelataran itu, menikmati jasa sopir-sopir itu. Hujan deras baru saja reda. Sebagian jalan masih saja digenangi air. Daun-daun sesekali melempari tanah dengan tetesan air hujan yang masih tersisa. Hawa dingin pun masih menyelimuti kampus merah ini.
Di taman Baruga itu, aku berpisah dengan teman-temanku. Tanpa basa-basi, aku langsung saja menyeret kakiku menuju Pete’-pete’. Tak lama, melajulah aku bersama penumpang-penumpang lain yang satu pun tak kukenal. Aku hanya berdiam diri di pojok belakang, terduduk lesu tanpa menunjukkan semangat sedikitpun. Sesekali, aku mendongakkan wajahku, untuk sekedar melempar pandangan ke seberang jendela. Tak ada yang menarik. Dan, aku memutuskan untuk tidur saja. Perjalanan ke rumahku memang cukup jauh. Sekitar 1 jam, itu kalau mengendarai Pete’-pete’ seperti sekarang ini.
***
”Fuiih,, macet lagi,,,macet lagi!!!” aku berdesah ringan. Sudah hampir 2 jam aku belum juga sampai. Padahal biasanya hanya butuh waktu 1 jam untuk sampai di rumah. Selama hampir sejam itu, kami masih berada di Jalan Urip Sumoharjo. Paling posisinya saja yang berubah. Tadi di depan Graha Pena. 5 menit kemudian, di depan kampus Pascasarjana UMI. 5 menit berikutnya, di depan Gedung DPRD. Sekarang, di depan kampus LP3I, dan masih di Jalan yang sama. “Makassar panas, Makassar gerah, Makassar sumpek!!” aku setengah berbisik. Aku tak sanggup lagi memejamkan mata dalam kondisi seperti ini. Meski hari sudah mulai gelap, partikel-partikel debu masih saja beterbangan bebas. Menampar wajah manusia-manusia bumi, termasuk aku.
Entah sudah berapa judul lagu selesai didendangkan. Mobil pun mulai melaju, meski belum sepenuhnya longgar. Selanjutnya, lagu tadi disusul dengan acara Kilas Info. Tak jauh beda dengan acara Sekilas Info milik RCTI. Sang Penyiar mulai menyapa pendengarnya dengan sejuta kata pamungkasnya. Tapi, aku sama sekali tak tertarik. Aku hanya ingin mendengar kabar apa gerangan yang akan disajikan saat ini. Adakah peristiwa yang membuatku tersentak? Adakah kabar tentang kondisi sang alam, kawanku? Atau kabar tentang Gunung Bawakaraengku,,,
Pendengar yang setia... sejak 2 hari terakhir, Sinjai tiada henti diguyur hujan deras. Dan akhirnya, kemarin malam, kala manusia terlelap dalam tidurnya, ternyata sebagian warga Sinjai justru tengah berjuang keras menghadapi derasnya hujan yang semakin tak terkendali. Tak tanggung-tanggung, rumah-rumah pada tenggelam. Pohon-pohon tumbang. Listrik seketika padam. Sementara, hari masih gelap gulita. Orang-orang pada sibuk mengurus jiwa masing-masing. Satu per satu jiwa yang tak sanggup bertahan akhirnya berguguran...
”Hah...!!!!” aku tersentak. Lamunanku buyar seketika! Penumpang di disampingku bahkan ikut tersentak karena ulahku. Namun aku tak peduli. Lagi-lagi, alamku mengamuk, menyisakan luka dalam jiwaku.
”Astagfirullah.. apa yang terjadi!!! Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres di sana,” aku kembali menerka. Panik, itu pasti. Sejuta tanya kian menari riang di benakku. Aku tertunduk, semakin lesu...mataku kupejamkan. Kemudian, aku menatap deretan pohon di pinggir jalan itu, lama! Hingga aku tak sadar mobil sudah memasuki sebuah lorong di Jalan Veteran, rumahku lewat.
”Pak, kiriiii!!!!” aku setengah teriak. Penumpang pada menoleh ke arahku, aku tak peduli, tapi dalam hati aku tertawa cengengesan . Aku langsung saja melompat turun.
***
”Retno, barusan aku mendengar berita. Semalam, ada banjir bandang di Sinjai. Tolong hubungi warga PENA sekarang juga, besok subuh kita berangkat ke sana. Alam kita kembali mengamuk!”
”Ok. Barusan aku ingin menghubungimu tentang hal ini. Kita pakai mobilku saja. Ntar aku lobi ke Ayahku, semoga bisa.”
”Jangan lupa ingatkan teman-teman untuk mengumpulkan pakaian bekas dan segala yang bisa dikumpulkan untuk kita sumbangkan,” aku mengingatkan Retno.
Ok!” Telepon pun terputus. Aku mulai berkemas. Mengumpulkan barang-barang yang bisa kubawa besok. Dari jaket, pakaian bekas, obat-obatan, sampai makanan. Aku menggerakkan orang-orang rumah untuk membantuku. Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku sudah memahami kebiasaanku. Mereka mengerti tentang diriku sebagai seorang kawanan pecinta alam. Sebanyak-banyaknya aku mengambil makanan di toko Ibu di depan. Tentu tak sekedar mengambilnya saja. Hal ini sudah menjadi kewajiban PENA untuk membayarnya. Ya, kebetulan kas lagi tidak kosong. Masih ada sisa dana baksos kemarin. Aku, dipercayakan oleh teman-teman untuk menjadi ketua dari PENA ini. Mau tidak mau, akulah yang mengurus segala yang diperlukan. Termasuk mempersiapkan barang-barang sebelum beraksi, seperti malam ini...
Kringgg…Kring…!!!
Aku bergegas mengangkat telepon itu. Aku yakin, itu dari warga PENA. Dan memang benar, dari Retno!
“Kenapa Ret?”
“Al, teman-teman pada nggak bisa berangkat besok pagi, kecuali Andre. Besok Ridho punya 3 jadwal final. Katanya, besok malam baru nyusul. Dedi, sekarang lagi di Rumah Sakit, ngurus adiknya yang tadi siang kecelakaan. Orang tuanya masih di Bandung, jadi sama sekali nggak bisa pergi. Nah, Joko kan masih sakit. Deni juga. Cuma kita bertiga. Gimana?” Retno menjelaskan panjang lebar, tapi aku tetap menyimak tanpa satupun terlewatkan. Meski suasana di rumahku saat ini lagi gaduh. Adik-adikku tengah asyik bermain playstation tak jauh dari posisiku sekarang.
”Ya udah, kita pergi aja bertiga. Jangankan bertiga, seorang pun kita harus pergi selama kita bisa. Itu sudah menjadi prinsip kita. Jangan sampai kita kecolongan atas kejadian ini. Trus, gimana dengan mobilmu Retno, bisa kita pakai besok?”
”Oh iya, begini Al, ternyata besok pagi Ayahku juga mau ke Sinjai, tapi dengan teman-teman kantornya. Jadi, kita sama sekali tidak bisa memakai mobil itu. Sorry, Al!”
”Mmm,,,trus gimana ya? Motor sih ada...tapi masalahnya, kan banyak barang yang mau kita bawa. Gimana ya?!!!” aku mulai bingung. Lama kami membisu. Telepon belum juga terputus. Nampaknya, Retno juga lagi berpikir.
“Atau begini saja Al. Barang-barangnya dititip saja di mobil ayahku. Kita bertiga naik motor saja. Motorku bisa di pake juga kok. Jadi, salah satu diantara kita pergi bersama Andre, gimana?” Retno akhirnya memcah kebisuan itu.
”Ya sudah, ide yang bagus. Besok subuh aku tunggu di sini. Bisa kan, Ayah kamu mampir di sini dulu ngambil nih barang-barang. Banyak banget soalnya. Aku nggak bisa nganter ke sana sendiri.”
”Ok, See U Later!” telepon pun terputus.
***
Dipagi yang buta, kami berangkat. Kicauan burung masih samar terdengar, pertanda hari masih gelap. 2 buah motor terus melaju dengan kecepatan tinggi, menerobos kegelapan itu. Angin subuh sesekali menampar kami. Kedinginan pun terus menyelimuti. Namun, dengan semangat yang terus menggelora akhirnya berhasil kami taklukkan. Biarlah mereka menjadi saksi atas perjuangan kami dalam menyelamatkan sang alam. Jejeran pepohonan disamping kiri-kanan kami seolah melepaskan kepergian kami. Terselip dari hati kecilku, pohon-pohon itu masih bisa ada.
Hari semakin pagi. Jalan yang berkelok telah kami lewati. Empat jam telah berlalu. Tinggal 30 menit lagi kami akan tiba di lokasi. Aku mulai merintih. Tak sanggup kubayangkan apa yang kelak aku lihat disana.
***
”Whats???? Astagfirullah Aldo!!!!” Retno setengah teriak kepadaku, setelah melihat sekelilingnya. Mayat berserakan tak beraturan. Sebagian jalan tak kelihatan tertutupi runtuhan rumah-rumah penduduk. Sebagian jalan di ujung jembatan longsor. Sawah-sawah tak lagi berbentuk. Pohon-pohon besar tumbang menutupi jalan raya. ”Alamku,,,” aku bergumam, tanpa satupun temanku yang mendengar. Belum lagi, bau amis semakin menari-nari di hidung kami diterpa angin. Bau itu tentu berasal dari mayat kaku yang masih berserakan itu. Sebuah pemandangan yang sungguh mengelikan. Sangat ironis!
Pemandangan lain, penduduk tengah sibuk membersihkan reruntuhan rumah korban. Mereka masih mencari-cari mayat yang terselip diantara reruntuhan itu. Dan benar saja, di sisi kanan kami aku melihat seorang bapak tengah menemukan dua orang mayat. Seorang ibu dan anak. Astagfirullah,,, berulang kali kami beristigfar. Sungguh diluar dugaan kami. Kesedihan mengguyur nurani kami.
”Aldi, mungkin seperti ini keadaan saat tsunami di Aceh,” Andre setengah berbisik sembari mendekatkan dirinya ke arahku.
”Ya, sepertinya,” Aku menjawab seadanya. Mataku masih tertuju pada mayat Ibu anak itu. Kasihan!
”Ya udah. Sekarang, mari kita mulai membantu mereka. Kita bantu mencari mayat-mayat yang belum ditemukan. Tapi sebelumnya mari kita ambil semua barang-barang di mobil Retno. Kita bagi-bagikan ke mereka,” layaknya seorang komandan, aku memberikan instruksi kepada kedua temanku. Dan, kami mulai bergerak.
Dua buah dos mie kami bagi. Tiga dos pakaian bekas, Satu kantong obat, satu dos peralatan mandi. Tak ketinggalan, dua kantong besar nasi bungkus, titipan dari Deni tadi subuh. Kami sempat mampir ke rumahnya untuk mengambil titipannya.
Kami disambut baik oleh masyarakat setempat. Guratan kesedihan masih terpantul dari wajah-wajah mereka. Sebagian matanya masih membengkak. Aku tak bisa membayangkan, seandainya aku berada di posisi mereka. Kehilangan orang tua, kehilangan saudara, kehilangan tempat tinggal. Bahkan ada yang tinggal sebatang kara. Semua anggota keluarganya tewas terbawa arus. Bayangkan saja, disaat kita tengah asyik-asyiknya melepas lelah di malam hari, secara tiba-tiba air datang dan akhirnya mencapai kurang lebih 3 meter dalam waktu yang begitu singkat. Jadi, orang-orang yang tidak sanggup lagi bertahan akhirnya terbawa arus.
”Padahal kami sudah naik di atas genteng rumah, saking tingginya air itu. Bayangkan, rumah kami rumah panggung. Dan air masih mencapai puncak rumah kami. Rumah yang sudah agak lapuk, akhirnya runtuh bersama yang punya. Kemarin malam, suasana disini sangat mengerikan. Teriakan histeris minta tolong semakin menggema, namun kami tak bisa saling membantu. Semua tengah sibuk menyelamatkan keluarga masing-masing. Kami membabi buta dalam suasana malam yang semakin gelap. Saat itu kan listrik padam. Kami juga kedinginan, semua pakaian tak ada yang mampu kami selamatkan. Air sungai dibawah sana meluap. Semua terjadi secara tiba-tiba,” seorang Bapak tengah bercerita kepada kami. Ternyata, Bapak ini belum mampu melupakan peristiwa naas itu. Bendungan air matanya akhirnya tumpah. Kami ikut berurai airmata. Retno, yang selama aku bersamanya tak pernah melihatnya menangis, juga ikut menangis. Siapa yang tidak sedih melihat kondisi ini. Nurani pasti terkoyak.
Dua hari kami berada di sana. Setelahnya, kami langsung balik lagi ke Makassar. Rasanya masih banyak yang ingin kami lakukan, namun waktu sangat tidak memungkinkan untuk tinggal berlama-lama lagi. Ibu Retno tiba-tiba sakit. Saya ada jadwal ujian final.
***
Dalam perjalanan pulang, bayang-bayang kota Sinjai masih terus bergelayut di benakku. Wajah sendu mereka yang ditinggal keluarga. Kota yang dulunya indah, kini menyisakan puing-puing reruntuhan rumah. “Alamku, maafkan aku....!”
Dan setelah itu,,,, Brukkkk!!!! Motorku menabrak sebuah pohon. Aku terpental jauh ke samping. Sementara, Ridho yang aku bonceng juga terjatuh, namun tidak jauh terlempar.

***
Hari itu kini menyisakan kenangan dalam hidupku. Aku tak mau menyalahkan bahwa karena Sinjai aku harus rela kehilangan indera mataku. Jangankan mata, apa pun akan aku korbankan demi alamku. Aku tak mau membuatnya menangis. Meski saat ini aku tak lagi berbuat banyak seperti yang dulu, tapi jiwaku masih ada untuk alamku. Telingaku masih bisa mendengar jeritan alamku. Dan yang terpenting, hatiku masih bisa merasakan penderitaan alamku.
Kini, penduduk bumi pun terbangun. Meski hari masih sangat muda, suasana kian menggeliat. Dibalik dinding kamarku, kudengar kicauan burung yang saling bersahutan satu sama lain. Kudorong kursiku dengan gaya yang malas menuju jendela kamarku, lalu membukanya. “Aaaah sejuknya…” Angin pagi menyapaku. Kurasakan suasana yang begitu damai. Membuat hatiku luluh karenanya. Kegelisahan yang sempat menderaku mulai terkikis sedikit demi sedikit.
Hari ini, tepat setahun peristiwa banjir bandang itu. Tepat setahun pula aku kehilangan indera mataku. Tepat setahun pula aku tak bisa melangkah normal. Dan, tepat setahun pula kecintaanku kepada alam semakin berlipat. Kini, di atas kursi roda ini, aku hanya bisa bernyanyi. Mendendangkan lagu menghibur alamku kala ia sedih.
Kulihat ibu pertiwi...
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intanmu terkenang....
Hutan sawah gunung lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa....

***

*) Ativis FLP Unhas, Mahasiswi Ners A’07 UH
Terucap salam buat keluarga besar FLP, kawan-kawan PII, dan warga IKMS. Save our earth! Jangan sering buat ia menangis...

Tidak ada komentar: