must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 16 Agustus 2009


Serpihan Narasi PII Dalam Bingkai 62 Tahun

Oleh: Yana Yan

“Masa sekarang dan segala masa, adalah masa yang indah kalau saja kita tahu apa yang harus kita perbuat”

(Ralph Waldo Emerson)

Kini, era globalisasi bukan lagi sebuah wacana asing bagi kita, rakyat Indonesia. Realita terpajang di depan mata. Bertumpuk efek telah terealisasi sempurna. Hedonisme atau sikap hura-hura yang dilakukan remaja, gejala shopaholic (sebutan untuk orang yang hobi belanja), free-sex, ghozwul fikr, bahkan kristenisasi, adalah sedikit dari sekian banyak efek yang ditimbulkan dari globalisasi yang bisa kita baca saat ini. Lahirnya era globalisasi di bumi pertiwi, pertanda sekat antar bangsa telah terhapus. Artinya, hasutan-hasutan dari luar pun semakin gencar mengalir memasuki negeri ini. Parahnya, pelajar yang didominasi oleh kaum remaja, adalah pihak yang lebih banyak mendapatkan percikan apinya.

Sesuatu yang tak dapat dipungkiri, bahwa kualitas generasi muda merupakan cerminan masa depan bangsa. Suatu bangsa yang gagal membina generasi muda (moralitas dan kapabilitas), akan menjadi bangsa pecundang di kemudian hari. Negara-negara maju di dunia sangat khawatir dengan kelanjutan masa depan negara mereka. Apalah artinya kemajuan ekonomi, kecanggihan teknologi dan militer, kepemimpinan atas dunia, sementara generasi mudanya sedemikian rusak moralnya, bahkan tidak dapat diharapkan di masa depan. Bayang-bayang kemunduran atau bahkan kepunahan sebagai bangsa tampak begitu menakutkan. Maka, generasi muda islam pun harus mempersiapkan diri agar mampu berkompetisi sekaligus mengambil peranan yang lebih besar. Berbagai elemen bangsa Indonesia yang mayoritas muslim harus bangkit dan saling bahu-membahu mengembangkan program pembinaan generasi muda yang bermuara pada pencapaian kualitas iman dan takwa, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni. Dan Pelajar Islam Indonesia (PII), sebagai organisasi pergerakan pelajar yang berasaskan islam, diharapkan mampu ikut berkiprah dan memberikan kontribusi maksimalnya. Disinilah, peran seorang kader PII untuk dapat mengaplikasikan fungsinya sebagai alat perjuangan. Pengaplikasian yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan pendidikan, yang menjadi tema lahan garap perjuangannya. Dengan mengusung tema itu, sangat diharapkan tujuan terbentuknya Pelajar Islam Indonesia (PII) ini bisa segera terealisasi. ”Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia,” tak lagi sekedar wacana yang hanya bisa dilafadzkan dalam setiap prosesi pengkaderan PII. Kader-kader PII diharapkan hadir sebagai salah satu wahana yang bisa menjadi the agent of problem solving atas segala problematika yang terbentang. Semoga dengan demikian, kita bisa menjadi bagian dari golongan orang-orang yang beruntung, yang senantiasa menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran.

4 Mei 1947! Menjadi tonggak sejarah lahirnya sebuah organisasi bernama Pelajar Islam Indonesia (PII). Layaknya manusia yang terus ditempa masalah dalam setiap hidupnya, Pelajar Islam Indonesia (PII) pun demikian. Diusia yang sudah mencapai angka 62 tahun, berderet masalah menyambar organisasi ini. Termasuk ketika PII harus hidup di tengah era globalisasi. Dimana, kompleksitas problematika kehidupan pun semakin mencuat. Namun, memasuki usia yang semakin beranjak, tak sepantasnya PII bungkam, apalagi lengah. Hanya mengamati, serta menikmati setiap skenario dari Sang Pencipta, layaknya seorang tua renta. Kalau boleh kita menganalogikan, idealnya PII bagaikan sebuah pohon besar yang kokoh. Dimana, semakin tinggi dan semakin besar pohon itu, maka akan semakin kokoh pula dalam menghadapi tamparan angin sebesar apapun. PII pun idealnya harus seperti itu! Kokoh dan bijak dalam menghadapi setiap masalah.

Kini, 62 tahun membingkai perjalanan hidup PII. Usia yang sudah semakin beranjak. Tak salah, jika terkadang kita menuntut sebuah idealitas. Maka, adalah sebuah langkah bijak ketika kita sadar akan realitas, maka segeralah berbenah dari itu semua. Dan, menjadi sebuah bahan refleksi, ketika realitas belum berada pada titik idealitasnya. Aktualisasi ‘Muslim, Cendekia, Pemimpin’ (MCP), saatnya digerus. Tak sekedar kata! Namun, sekali lagi: PII butuh aplikasi. Sehingga, PII benar-benar mampu mencetak generasi yang mampu berkompetisi dari berbagai lini kehidupan.

’Ikrar Jakarta’, sebuah komitmen yang senantiasa diteriakkan oleh kader dalam setiap prosesi pengkaderan, tidak sepantasnya hanya menjadi sebuah wacana formalitas pelengkap training belaka. Tapi lebih dari itu, komitmen itulah yang harus menggerakkan hati kita untuk bisa mengaplikasikan segala apa yang pernah kita ikrarkan. Karena itulah komitmen yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Karena hidup bukanlah permainan!

Dan hendaklah ada segolongan diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar: merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali-Imran:104).

\