must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Senin, 28 Maret 2011

Selamat Datang di Universitas Kehidupan

Oleh: A. Saputri Mulyanna

“Tidak ada yang lebih aku sesali daripada penyesalanku terhadap hari dimana ketika matahari tenggelam, sementara umurku berkurang tapi amalku tidak bertambah.”
(Ibnu Mas’ud)


Pentas Skenario Kehidupan
Mengawali tahun baru, arus kehidupan semakin mempertegas tentang kepatuhannya dalam melakoni titah Penciptanya. Ia selalu saja menunjukkan kepada segenap penjuru bumi, betapa eksisnya roda waktu menjalankan tugasnya. Tak pernah bergeser sedikit pun. Tak pernah berhenti walau sedetik. Waktu yang terus berputar itu, pun akhirnya menggiring manusia menuju usia yang semakin bertambah. Satu bulan, 1 tahun, 17 tahun, 59 tahun, 63 tahun, dan mungkin hanya sampai disitu. Pertambahan usia itu tentu diiringi dengan hikmah hidup yang terus menjelma dibalik arus hidup yang dimainkannya dari waktu ke waktu. Selalu ada. Dan, waktu pula yang akhirnya menghempaskannya dari dunia ini. Demikianlah singkat cerita tentang perjalanan hidup manusia. Terlakoni secara sempurna. Penggal pengalaman hidup yang terus berpacu bersama waktu, hingga harus bermuara pada satu premis: datang, dan kembali pergi. 


Coba kembali kita mengingat tentang visi penciptaan manusia di bumi. Jika kita menarik benang merahnya, maka akan teruntai 2 visi besar penciptaan itu; visi penghambaan sebagai seorang hamba kepada Sang Khalik (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) dan visi kekhalifaan di bumi (Q.S. AL-Baqarah: 30). Visi penghambaan yang dimaksud adalah bagaimana agar apa yang diajarkan Rasul dapat terimplementasi dan disebar seluas-luasnya ke seluruh penjuru dunia. Menebarkan kebenaran hakiki kepada seluruh elemen makhluk-Nya. Dan visi kekhalifaan itu memperlihatkan kepada kita di bumi, betapa Allah ‘Ajja wa Jalla memilih dan memberikan kepercayaan kepada makhluk-Nya yang bergolong manusia, sebagai khalifah di bumi-Nya. Menjadikan sebagai pemimpin sekaligus aktor terbaik-Nya. Maka, mungkin tidak salah jika harus menyimpulkan bahwa setiap manusia yang terlahir itu telah disanding dengan sebuah amanah. Maka, memikul amanah telah menjadi takdir hidup manusia sejak awal. Kelahiran manusia senantiasa disertai tugas besar di muka bumi ini, yakni untuk mengemban amanah itu; menjadi khalifah di bumi dan mendayagunakan seluruh gerak psiko-motorik manusia, untuk menyampaikan kebenaran hakiki pada segala urusan dunia. Dan kesemua itu demi mengumpulkan aset terbaik  sebagai bekal untuk kehidupan yang lebih hakiki: akhirat. Dan itulah pentas kehidupan yang akan dilakoni; menghamba dan berdayaguna.

Menjamah Kearifan Lokal di Universitas Kehidupan
Salah satu motor ideology yang menjadi kunci utama perubahan sebuah bangsa adalah pendidikan. Dengan membuka ruang intelektualitas, pendidikan dapat menjadi pelopor pembaharuan yang dapat mencipta sebuah peradaban. Pendidikan dapat menjadi jawaban strategis untuk melakukan perbaikan di tengah krisis multidimensial yang merebak. Dunia pendidikan pun dapat mewujudkan transformasi nilai dari satu individu ke individu lain. Sehingga, pendidikan dapat menjadi barometer kemajuan sebuah bangsa. Dan, universitas adalah salah satu ruang untuk menjamah pendidikan itu. Karakter intelektualitas dapat diasah di sana. Misal melalui budaya baca-tulis yang terus dilestarikan. Di universitas pun dapat meretas jiwa kritis-solutif seseorang. Terciptanya budaya baca-tulis dan jiwa kritis-solutif sebagai turunan ilmiah dari diri seorang cendekia, merupakan suatu habbits yang seharusnya ada. Dan, itulah kearifan lokal yang seharusnya terlakoni. Maka, menjamah kearifan lokal adalah sebuah pilihan yang mutlak ada dalam sebuah universitas. Itu jika kesuksesan ingin digenggam. Sehingga, pada akhirnya universitas tak hanya tercipta sebagai pabrik ijazah semata. Tapi dengan sebenarnya mampu mewujudkan visi besar yang selalu diusungnya. Setidaknya, tempat itu benar-benar dapat melahirkan para intelek bangsa. Yang dapat menjadi the director of change, sebagai motor penggerak sebuah perubahan. Bukan lagi sebagai the agent of change. Dengan power dan intelektualitas yang dimilikinya, tak lagi menjadi alat dari sebuah perubahan. Tak lagi latah dengan setiap gerak yang dilakukan orang lain, yang terus mengekor ke mana orang menjejaki arus kehidupannya. Bahkan, para alumnus universitas sepantasnya menjadi aktor yang tak bosan memompa semangat untuk orang-orang disekitarnya. Semangat untuk melakukan perubahan, menggembleng diri dari keterkungkungan kemalasan. Semangat untuk berhijrah ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Dan yang terpenting adalah semangat untuk memberikan karya terbaik bagi kehidupan yang dilakoninya.
Maka, sebenarnya titik fundamental dari kesuksesan hidup seseorang, secara sederhana ditentukan oleh 2 hal; bergerak dan berkarya. Nilai hidup manusia akan semakin menjelma jika ia terus bergerak. Semakin banyak pergerakan yang dilakukannya, maka akan semakin banyak pula siklus hidup yang dimainkannya. Dan semakin banyak siklus hidup yang dimainkan, maka semakin besar pula peluang baginya untuk mendapatkan kunci-kunci kesuksesan. Karena sebenarnya, hidup ini tersusun atas puzzle-puzzle yang masih berserak. Maka, tugas kita adalah menyusun puzzle kehidupan yang berserakan itu. Semakin sering kita mengutak-atik, semakin besar pula peluang bagi kita untuk menyusunnya secara sempurna. Bukankah hidup ini penuh tanda tanya? Dan proses hidup yang kita jalani adalah sekumpulan kunci untuk menjawab tanya itu. Waktu 24 jam dalam sehari akan menjadi modal besar terhadap kesuksesan seseorang. Bukan pada semakin banyak kesempatan yang ia miliki. Tapi seberapa banyak karya yang ditoreh dari kesempatan itu. Bukankah hasil hidup setiap orang dalam waktu 24 jam berbeda satu sama lain? Artinya, nilai dari waktu adalah seberapa banyak hasil hidup yang berhasil dipersembahkan. Dan, nilai dari kehidupan adalah seberapa sering kita mempersembahkan karya dalam siklus hidup ini.
Maka, kunci kesuksesan kedua adalah berkarya. Sukses atau tidaknya seseorang setidaknya terbukti dengan eksis atau tidaknya ia di panggung kehidupan. Tidak eksis, boleh dikata tidak berwujud. Artinya, tidak ada indikator untuk dapat mendefenisi. Bukankah setiap zona hidup yang kita jejaki selalu membutuhkan pembuktian? Dan sejarah hidup itu lahir dari sebuah pembuktian zaman. Lihatlah Sang Revolusioner terbaik, Rasulullah Muhammad Sallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bahkan dinobatkan oleh Michael Hart sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, dalam bukunya; The 100. Itu karena beliau telah melakukan pembuktian panjang dalam sejarah kehidupan. Sebelum zaman benar-benar membuktikannya. Lihat pula sejarah hidup Muhammad Al-Fatih. Beliau memang layak disebut Sang Penakluk. Dengan daya kepemimpinannya yang luar biasa, dengan selingan taktik serta strategi perang terbaiknya, beliau menjadi Penakluk terbaik Konstantinopel, menaklukkan kekaisaran Romawi Timur. Kisah ini bahkan tercatat dalam tinta emas sejarah islam. Kedua tokoh tersebut telah menorehkan karya terbaiknya dalam zona hidupnya masing-masing. Hingga sejarah harus mencatat tinta emas yang telah ditorehnya dalam pentas kehidupan manusia. Maka, berkarya adalah salah satu wujud dari kesuksesan itu. Karena karya adalah hasil dari akumulasi potensi terbaik pada diri seseorang. Dan berkarya adalah wujud pembuktian hal tersebut.
Dua titik fundamental kesuksesan yang telah terurai, tentu berawal dari nilai-nilai yang telah mengakar sebelumnya. Jika di sebuah universitas harus mengakar budaya baca-tulis dan jiwa kritis-solutif sebagai bagian dari kearifan lokal yang seharusnya terlakoni, maka di universitas kehidupan pun demikian. Setidaknya, sejak kita terlahir, dunia sudah memperkenalkan kita dengan bermacam kearifan lokal. Tentang kedisiplinan hidup yang terintegrasi sejak pentas skenario-Nya mulai kita mainkan. Banyak nilai yang mulai terdefenisi sejak saat itu. Alur hidup itu telah memperkenalkan kita tentang nilai keikhlasan, tentang nilai pengorbanan, tentang nilai kesabaran, dan akhirnya bermuara pada sebuah kemenangan. Dan terlampiaskan melalui ucap syukur dan gegap suka dengan berbagai gejala. Nilai-nilai tersebut setidaknya telah termanifestasi dari orang tua dalam menanti kelahiran Sang Bayi. Tentang keikhlasan, pengorbanan, kesabaran; tak perlu ditanya lagi. Maka, nilai-nilai tersebut adalah wujud kearifan lokal yang seharusnya terlakoni di Universitas Kehidupan ini, sampai selesai. Hingga pada akhirnya akan menggeser zona hidup seseorang mendekati ruang kesuksesan tersebut.

Selamat Datang Di Universitas Kehidupan!

Tidak ada komentar: