must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Kamis, 14 April 2011

Universitas Hasanuddin vs Universitas Kehidupan


Oleh: A. Saputri Mulyanna

Tahun 2007! Kembali memberiku ruang untuk berpisah dari dekapan orang tua. Menjauh dari kehangatan keluarga. Kali ini adalah cerita perpisahan kedua dalam siklus kehidupanku. Cerita perpisahan pertama terlakoni pada tahun 2001. Sekitar 6 tahun yang lalu. Saat itu, aku baru saja lulus dari bangku Sekolah Dasar (SD). Dan memilih untuk melanjutkan study di Pondok Pesantren, tepatnya di Ibu Kota Provinsi. Jauh dari kampung halaman. Dalam usia yang masih sangat lugu dan butuh orang-orang terdekat, aku harus meninggalkan zona nyaman itu. Terpaksa,,, tidak juga. Ini memang pilihanku, sekitar 6 bulan sebelum keberangkatanku meninggalkan tempat kelahiranku. Tapi tetap tak dapat dinafikan, ada sesak yang terus menyerbu rongga dada dalam detik-detik memasuki pondok pesantren, pasca menikmati liburan sekolah bersama keluarga. Meski berulang kali Ayah dan ibu terus menyelimuti kekuatan. Namun, justru air mata tak terbendung yang terus menyertai. Ah, selama 3 tahun itu, mengajarkan banyak hal tentang cerita kemandirian hidup dan ketegaran. Dan kini, setelah 3 tahun meninggalkan ruang itu, aku harus kembali menjamahnya. Jika ingin melanjutkan kembali study di bangku kuliah. Persiapan diri  pada hari ini tentu sudah berbeda jika dibandingkan dengan 6 tahun yang lalu. Paling tidak, bekal hari ini sudah lebih banyakan, termasuk bekal dari penggal pengalaman yang telah terlakoni selama 3 tahun kemarin. Bertambahnya usiaku kini, paling tidak membuktikan bahwa bertambah pula asam-manisnya hidup yang telah kucerna.


Alhamdulillah, setelah dinyatakan lulus dari bangku SMA, secara otomatis pikiran menuju pada satu titik yang cukup klasik: Akan kuliah kemana nantinya? Dan sebagian besar orang-orang menanti satu harapan besar: Lulus di Perguruan Tinggi Negeri. Jika ingin diteruskan lagi pertanyaannya, tentang jurusan apa yang akan dipilih. Maka, untuk orang-orang eksact seperti diriku, akan bermuara pada satu pilihan klasik: semoga bisa lulus di jurusan Kedokteran Umum. Yang katanya telah dinobatkan sebagai pilihan sejuta umat. Nah, cerita itu juga ternyata berlaku untuk diriku. Maka, setelah mengikuti bimbingan belajar di Ibukota Provinsi selama kurang lebih 2 bulan, ujian SPMB (saat ini berubah menjadi SNMPTN) pun kujalani. Pilihan pertama tentu jatuh pada pilihan Kedokteran Umum. Nah, yang cukup membuat pusing pada waktu itu adalah pilihan kedua. Inginnya sih memilih jurusan Psikologi. Tapi ternyata terbentur pada penolakan orang tua yang kurang setuju dengan jurusan itu. Entah apa saja pertimbangannya. Ya sudah, daripada ribet, kuliah tapi tidak mendapat restu dari mereka (kalau misalnya nanti lulus pada jurusan itu), maka kucari alternatif lain. Antara jurusan Farmasi atau Teknik Arsitek. Ya, sejak dahulu kala, memang keinginan untuk menjadi arsitek atau dokter anak adalah cita yang telah menggebu. Namun, lagi-lagi orang tua menimpali: Nak, jurusan teknik Arsitek kan sudah ada pegangan. Sudah bebas test di Universitas Islam Negeri. Trus, kalau Farmasi, bukannya gradenya itu tidak jauh beda dengan gradenya Kedokteran Umum. Takutnya, sama saja dengan bunuh diri namanya. Bagaimana kalau milih jurusan Ilmu Keperawatan saja. S1 kan yang ada di Universitas. Sama-sama kesehatan juga. Mendengar usulan itu, ceritanya sama saja kalau aku disuruh tidur dalam kondisi tidak mengantuk sedikit pun. Mana ada dalam rencana hidupku untuk kuliah di jurusan Keperawatan? Hmm,,, setelah melewati diskusi yang cukup alot, akhirnya kami sepakati pilihan kedua jatuh pada jurusan Ilmu Keperawatan itu. Sembari dalam hati aku terus meyakinkan: Insya Allah keputusan nanti akan lulus pada pilihan pertama. Dan, kalaupun harus lulus pada pilihan kedua, ya sudahlah. Ga’ papa lulus di jurusan itu, yang penting masih kuliah di Universitas ternama itu.
Waktu terus berpacu. Hingga menemu pada titik penantian itu, hari Pengumuman Kelulusan peserta SNMPTN. Orang-orang telah kuhubungi sejak semalam, untuk mencari pengumuman itu di internet. Dan, sekitar pukul 12 malam, berita itu satu persatu mampir di telingaku. Dari orang yang satu ke orang yang lain. Jawabannya sama: Lulus di Ilmu Keperawatan Unhas, Nay.
Hmm...Keesokan harinya, saat koran langganan Ayah sudah datang, kuambil segera. Dengan kecepatan tinggi, aku membuka lembar demi lembar koran itu, dan terhenti pada halaman yang telah mencantumkan nama-nama yang lulus dalam perhelatan akbar 1 bulan lalu: SNMPTN. Terus kususuri namaku di setiap jejeran nama yang tertera pada setiap lembaran itu. Sambil terus mengoceh dan membayangkan dalam hati: namaku akan bersanding dengan jurusan pertamaku. Info-info semalaman itu salah. Tak berapa lama, akhirnya ketemu. Nama lengkapku terpampang di tengah dan bersanding dengan nama jurusan pilihan keduaku: Ilmu Keperawatan UNHAS. Kenapa bukan jurusan pertama Ya Allah. Tapi, ketidaksyukuran itu segera kualihkan: Alhamdulillah, namaku masih terpampang di halaman ini. Terima kasih Allah, Engkau telah mengizinkan aku kuliah di Universitas yang kuidamkan itu.
***
Agustus 2007. Akhirnya aku telah resmi tercatat sebagai mahasiswa baru Ilmu Keperawatan UNHAS. Episode tentang kehidupan mahasiswa baru mulai kupentaskan. Cerita tentang pengkaderan; tentang ketaatan penuh pada senior, cerita tentang lab (laboratorium) dasar yang disesaki dengan tugas seabrek plus ketikan tangan (pake’ mesin tik tempo doeloe), dan cerita-cerita lainnya. Berusaha kunikmati skenario hidup itu. Meski sesekali terlintas: Kenapa harus di Keperawatan? Benturan pertanyaan konyol itu terus mengusik. Hingga menjadikannya tameng: aku mau ikut ujian SNMPTN tahun berikutnya. Apalagi kalau tidak untuk memilih jurusan pada pilihan pertamaku dulu; Kedokteran Umum.
Tahun 2008, akhirnya menjadi waktu untuk menjawab keresahan selama setahun itu. Teman-teman yang telah mendengar isu bahwa saya akan ikut mendaftar lagi, akhirnya angkat bicara: mau mendaftar lagi ya, Nay. Pasti untuk milih PDU (Pendidikan Dokter Umum). Ga’ cape’ ikut antri seharian ya, Nay. Yang lain ikut latah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ada pula yang menimpal, tapi dari sudut pandang yang lain: kalau misalnya nanti Nayla lulus PDU, bagaimana dengan amanahnya Nayla sekarang sebagai Ketua FLP Unhas? (pada saat itu memang aku baru saja terpilih sebagai Ketua FLP Unhas. Dan mengapa sampai muncul pertanyaan itu? Karena ketakutan-ketakutan kebanyakan orang untuk memberikan amanah dengan posisi strategis di luar fakultas bagi anak-anak PDU. Maklum, mungkin karena telah terkenal dengan jadwal belajarnya yang cukup padat. Dianggap kurang mampu mengatur waktu nantinya. Ya,, padahal tidak seperti itu juga kok. Pertanyaan dan ocehan teman-teman kubalas saja dengan senyuman. Sambil mengekor kata dalam hati: Terserah teman-teman mau bilang apa. Ini adalah pilihanku. Dan apapun hasilnya pada saat pengumuman nanti, aku harus yakin dan percaya bahwa itulah ketetapan terbaik-Nya. Kalaupun tidak lulus, itu artinya kuliah di jurusan Ilmu Keperawatan ini adalah yang terbaik untukku menurut-Nya. Dan aku pun bisa lebih memantapkan diri.
Akhirnya, aku mengikuti ujian SNMPTN dengan modal nekat. Tidak sempat belajar maksimal sebelumnya, karena waktu terisi dengan kesibukan-kesibukan sebagai aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) Sul-Sel dan FLP Unhas yang juga kejar deadline. Ya, kupasrahkan semua kepada-Nya. Hingga waktu kemudian datang untuk memberikan jawaban pasti. Tak ada namaku di deretan peserta yang lulus SNMPTN. Bismillah,,, inilah jalanku! Berusaha kuyakinkan diriku dengan ketetapan-Nya itu. Ucapan Ibu yang sempat terlisan sekitar setahun yang lalu kini menggema dalam ruang dengarku: Tak ada yang sia-sia dalam hidup ini, Nak. Ya, tak ada yang sia-sia! Kita hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan. Dia akan selalu memberikan yang terbaik buat hambaNya. Dia punya rencana lain. Dan siapa pun  tak boleh membantahnya!
***
Tidak terasa, kini memasuki tahun ke-empat penggembaraanku di bangku kuliah ini; Universitas Hasanuddin, jurusan Ilmu Keperawatan. Mementaskan skenario hidup yang telah disusun-Nya. Memainkan kekonyolan-kekonyolan bersama teman-teman seangkatan. Tidak terasa, sekitar empat tahun aku menapaki sepenggal bagian dalam hidupku di sini, bersama orang-orang di kampus merah ini. Dan kesibukan untuk menyelesaikan proyek skripsi masing-masing, setidaknya telah membatasi ruang kebersamaan itu. Kami tidak lagi dipertemukan pada satu ruang untuk belajar bersama. Atau meski hanya untuk bercerita bersama seperti hari-hari sebelumnya. Semua fokus dengan kesibukan penelitiannya masing-masing. Hanya sesekali kami dipertemukan. Entah karena memang telah buat janji sebelumnya, atau mungkin hanya sebuah pertemuan kebetulan saja. Tak terlupakan saat dimana semua tengah sibuk dengan kertasnya masing-masing menjelang final-test. Atau aksi saling berkejaran menemui asisten dosen yang harus diiyakan keinginannya. Hanya untuk meminta paraf sederhananya. Tak terlupakan cerita keseriusan saat menyiapkan agenda kegiatan jurusan; menyiapkan kegiatan Seminar Nasional, menyiapkan kegiatan Buka Puasa Bersama, menyiapkan pengkaderan mahasiswa-mahasiswa baru, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Semua itu adalah cara terbaik-Nya untuk mengukuhkan kebersamaan dan semangat persaudaraan yang sebelumnya tak terjalin sedikit pun. Tak terlupakan pula ocehan teman-teman yang sempat hadir meneriak dalam ruang dengarku: tentang sebutan Mahasiswa Baru (padahal sudah semester ke-5) untukku saat baru pertama kali menampakkan diri di kampus, di tengah-tengah mereka. Karena baru saja selesai mengisi kegiatan training PII (Pelajar Islam Indonesia) di luar kota. Atau bahkan sempat digolongkan dalam deretan mahasiswa DPO (Daftar Pencarian orang), setelah sebulan tidak menampakkan diri sama sekali. Karena lagi-lagi mengikuti kegiatan nasional PII di Jawa. Hingga suatu hari, saat aku menyapa seorang teman di dunia maya dan menanyakan keberadaannya yang sudah beberapa hari aku tak melihatnya mangkal di kampus. Dia menjawab dengan argumen yang cukup menggelitik: Aku mau mengikuti Nayla ahh,, mangkal di Universitas Kehidupan. Dan segera kukejar pernyataannya: Boleh,, tapi siap-siap saja namamu didaftarkan sebagai mahasiswa DPO. Tawa ringan pun mengakhiri pembicaraan itu. Ahh,,, cerita-cerita itu adalah kisah hidup yang tak tergantikan dan tak terlupakan.
***
Mengawali tahun 2011 ini, kesibukan fenomenal sebagai mahasiswa sebagaimana biasanya kini telah tergantikan. Hari yang biasanya terisi dengan aktivitas perkuliahan di dalam ruangan, waktu yang biasanya disesaki dengan tugas-tugas perkuliahan, kini telah menjelma lain. Proyek penelitian sebagai bahan penyusunan Skripsi, bisa saja membuka peluang waktu yang cukup besar, karena tak disibukkan lagi dengan urusan perkuliahan. Tapi, bisa pula yang terjadi justru sebaliknya. Karena merasa ingin fokus dengan penelitian, maka tetap merasa waktunya seperti kuliah dulu; sama-sama padat!
Untuk aku, waktu untuk penyusunan Skripsi itu kujadikan sebagai peluang untuk berpetualang di luar kampus. Tapi, tidak dengan bermaksud untuk menghiraukan proyek penelitian skripsi. Dalam susunan planning-ku, waktu 7 hari dalam sepekan akan kubagi; fifty-fifty. 50% untuk Universitas Hasanuddin, dan 50% lagi untuk Universitas Kehidupan. Tentang Universitas Hasanuddin, tentu berbicara tentang kisah-kisah penelitian hingga wisuda nanti. Tentang kisah saat harus mengejar dosen pembimbing seharian. Atau bahkan merasakan penantian panjang selama seharian yang terkadang berujung pada ketidakjelasan, untuk sekedar meminta tanda tangannya sebagai pe-legal-an untuk mengikuti seminar proposal. Tapi, itulah dinamika yang kelak akan dikenang.
Sedangkan Universitas Kehidupan, tentu berbicara tentang kehidupan-kehidupan di luar kampus. Entah itu tentang kehidupan di tempat organisasi, entah itu cerita dari hasil petualang di tempat-tempat tertentu, atau pun hanya cerita tentang pertemuan baru dengan orang lain. Kalaupun masih ada teman yang menanyakan tentang keberadaanku yang semakin jarang di kampus, maka kujawab saja: Ya, habis mangkal di Universitas Kehidupan. Dan tak jarang ada yang ikut menimpali: Tapi jangan lupa Universitas Hasanuddin-nya. Hehehe...kubalas pertanyaan menggelitik itu dengan senyuman lepasku.
***
            April 2011. Kurang lebih dalam 2 bulan terakhir, kurasakan alur kehidupanku semakin tidak stabil. Dinamika hidup dalam peta kehidupanku semakin berwarna. Masalah hidup seolah tak henti mengekor dari belakang. Tentang kesibukan, jangan ditanya lagi, semakin menjelma. Tentang proyek penelitian yang tak pernah tuntas dari zona aman. Responden harus dieksekusi karena tidak memenuhi syarat inklusi. Mana total respondennya terbatas lagi. Balik dari lokasi penelitian, tiba di rumah, kembali berhadapan dengan adik-adik sepupuku yang harus diurus. Sepupu yang telah kuanggap adik sendiri. Meski mereka sudah pada mahasiswa semua, tapi tugasku tak dapat kuhindari sebagai orang tertua di rumahku dalam ruang perantauan ini. Sebisa mungkin tiba di rumah secepatnya (tidak larut malam). Agar bisa bergabung bersama mereka dalam ruang kehangatan di malam hari. Menumpahkan seluruh cerita yang perlu untuk dibagi. Sebab jika tidak demikian, satu per satu diantara mereka bisa saja akan mengikut untuk pulang larut. Alasannya, jangan ditanya lagi. Habis keluyuran ke sana ke mari dengan teman-temannya. Ini kusimpulkan berdasarkan pengamatanku dulu. Saat aku sering pulang malam, habis mengurus kegiatan-kegiatan organisasi atau tugas-tugas kuliah, mereka juga sangat jarang kutemui di rumah, jika aku kebetulan yang duluan tiba di rumah. Pernah pada suatu malam, saat aku baru saja pulang, kutemui mereka pada ngerumpi di ruang tamu. Awalnya, sangat senang melihat mereka bisa berkumpul seperti itu. Tapi aku baru sadar, setelah ikut bergabung, aku melihat ada yang aneh. Fatih, adikku, sedang menghisap sebatang rokok dengan sangat nikmatnya. Bukannya aneh dan tidak terbiasa dengan perokok. Tapi, untuk dia, aku baru saja melihatnya langsung. Ternyata, dia kini perokok. Dia hanya tersenyum lepas melihat wajahku dalam raut tak percaya. Hmm,,, aku mencoba menerimanya. Meski masih dalam kondisi antara percaya dan tidak. Ya, aku pun berlisan kepadanya. Bukan untuk sekedar berbasa-basi, tapi mencoba untuk menunjukkan bahwa aku tetap menerimanya. Dan menyampaikan dampak-dampak dari gelar barunya kini; perokok. Bahkan ada yang lebih parah. Ini bukan tentang rokok-rokok lagi. Pernah suatu ketika, salah satu dari mereka pulang dalam keadaan ngelantur alias mabuk (ringan). Namanya Rifky. Dia adalah adik sepupuku yang paling muda di rumah ini. Awalnya, aku tidak menerka bahwa dia habis minum. Barulah setelah yang lain menyampaikan, kemudian aku menyadarinya. Betapa shocknya aku waktu itu. Ketika yang lain mengoceh sambil setengah membentak kepadanya, aku memilih untuk mengamati alur itu. Tapi, Rifky justru malah setengah memberontak. Dia tertekan. Lalu kuajak yang lain untuk masuk ke dapur menyelesaikan urusan-urusan dapur. Setelah mengikut, aku kemudian kembali melangkah ke ruang tengah, tempat Rifky berada. Kutemui ia tengah nonton. Setelah menyodorkan secangkir susu hangat, aku mulai mencoba untuk masuk dalam dunianya. Menanyakan dari mana tadi, kenapa bisa pulang telat, dan seterusnya. Dia pun mulai cerita sambil memasang senyumnya yang khas. Aku mendengarnya, dan berusaha untuk tidak memotong. Membiarkannya bercerita dengan lepas. Dan cerita pun mengalir. Hingga berakhir dengan sepotong nasehat yang kutitipkan untuknya. Ia membalas dengan anggukan lemah berhias senyum khasnya. Wahai Dzat Yang Maha Pembolak-balik hati manusia, Engkau yang menancapkan hidayah kepada siapa saja yang Kau pilih. Jadikan kami salah satu diantaranya Ya Allah.
Dalam kesendirian, aku hanya justru terkulai dalam kesedihan. Menyaksikan mereka. Namun, sekuat mungkin aku menguburnya dalam. Aku tak boleh melampiaskan kesedihan ini kepada adik-adikku yang lain. Tetap kuulurkan semangat kepada yang lain, sembari menahan sedih dalam lubuk hati ini. Cukup kuadukan kepada-Mu. Aku tak sanggup menebar kesedihan ini kepada mereka juga. Aliran air mata dalam kesendirianku bukan sebagai wujud penolakan atas takdir-Mu. Bukan! Hanya sebagai pelampiasan diri sebagai hamba yang lemah. Aku masih percaya, Engkau punya rencana yang jauh lebih indah dibanding apa yang kami rencanakan, dan itu tidak aku ketahui. Maka, izinkan kupinta: berikan yang terbaik itu, Rabb. Berikan yang terbaik. Berikan kekuatan-Mu Rabb, sedikit saja...
***
Ditengah kesibukan dan problematika hidup yang terus mengguyur, ada satu hal yang kurasa beda dari sebelumnya. Ditengah kesibukan dan kebuasan hidup yang kujalani, kelapangan hatiku kini semakin menjelma pula. Masalah dan sandungan hidup yang terus menyertai, tak mutlah menjadi beban yang harus berujung dengan bentuk ketidakterimaan, putus-asa, apalagi ketidaksyukuran. Pengendalian diri semakin mampu kuimbangi. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah...
***
Beberapa orang, (mungkin) termasuk diri kita pernah menjalani siklus hidup yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Pernah menemukan jalan hidup yang tidak sesuai dengan apa yang telah kita rencanakan. Sore ini janjinya rapat dimulai pukul 4 sore hari. Namun, setelah kita menanggalkan urusan-urusan yang belum sempat terselesaikan menjelang waktu rapat itu, ternyata belum ada orang di tempat rapat. Atau, menjelang ujian di kampus kita belajar setengah mati. Dan setelah hasilnya keluar, ternyata nilainya tidak sebanding dengan upaya kita sebelumnya. Sementara kita melihat ada teman yang kita anggap tidak mungkin mendapat nilai tinggi, justru nilainya melebihi diri kita...
Kondisi seperti ini merupakan penggal skenario hidup-Nya yang pernah ada. Dan akan menjadi faktor pemicu untuk berucap keluh. Tuntutan dan pengandaian pun diumpat panjang lembar. Kenapa seperti ini? Kenapa bisa nilainya lebih baik dari nilaiku, padahal aku masih lebih pintar dari dirinya? Kenapa tidak tepat waktu? Padahal urusanku yang belum selesai terpaksa harus kutinggalkan hanya untuk rapat ini? Seandainya tadi saya selesaikan dulu. Seandainya tadi saya menghubungi teman-teman dulu, apakah mereka sudah datang atau belum? dst...
Lha..bukannya muncul ketidakterimaan dibalik tuntutan dan pengandaian tersebut? Ketidakterimaan terhadap skenario hidup-Nya yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan? Jika demikian, bukankah sama saja kita menentang ketetapan-Nya? Bukannya sama saja jika kita telah meragukan skenario terbaik-Nya?
Satu hal yang terkadang kita lupa, bahwa setiap alur hidup yang telah, sedang, dan akan kita lakoni adalah skenario hidup terbaik dari Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Sutradara Kehidupan terbaik, Yang Maha Tahu, melebihi apa yang kita tahu. Mungkin pada saat itu kita tidak sempat tersadarkan diri bahwa dibalik cerita hidup yang kita mainkan terdapat hikmah  yang kelak akan menjelma. Hanya butuh keyakinan dan kesadaran untuk dapat menemukannya...
***
.:Dan yakinlah,, takkan pernah Dia biarkan engkau terkulai dalam ketidakberdayaan yang tak teratasi. Mungkin, engkau yg membiarkan dirimu tersungkur dengan kelemahan dan keputus-asaan... Hanya butuh kejernihan pikiran dan kelapangan hati untuk dapat menaklukkan hidup ini. Demi mementaskan skenario-Nya di Universitas Kehidupan.
Ingat, sesungguhnya kesuksesan hakiki adalah ketika kita tlah mmpu menjamah ruang kebahagiaan dlm diri qt. Dan kebahagiaan hakiki itu bersumber dari 3 hal: syukur, sabar dan ikhlas. Maka, silahkan menjamah ketiga ruang itu, untuk menemu ruang kesuksesan hakiki Anda :.
 

Tidak ada komentar: