must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 16 Januari 2011

Reformulasi Habbit

Oleh: A. Saputri Mulyanna

Hari itu masih sangat pagi. Mentari pun belum menyapa sempurna. Kicauan burung masih samar terdengar. Angin subuh sesekali menampar. Jalan yang berkelok ke kiri, naik, ke kanan, turun, dan begitu seterusnya... Ya, perjalanan Sinjai-Makassar memang selalu berkesan. Tak pernah bosan. Beda waktu, beda pula kisah yang dicerita. Panorama alam yang diperlihatkannya cukup mampu menyisakan decak kagum. Jejeran pohon yang tertancap di sepanjang jalan seolah ikut menemani perjalanan siapa saja yang melintasinya. Gunung hijau yang mengelilingi seolah ikut menyambut Sang Musafir dengan penuh kehangatan dan seketika melepasnya dengan penuh kerinduan. Sawah yang membentang pun tak mau ketinggalan untuk menitip kesan pada Sang Pengelana. Atmosfer pedesaan sangat terasa. Subhanallah. Betapa sempurna hasil cipta-Nya.


Mobil yang kutumpangi terus menerobos kesunyian dan kegelapan. Melaju dalam kecepatan yang cukup terkendali. Semilir angin sejuk saling berdesakan memenuhi ruang mobil melalui kaca/jendela yang hanya terbuka sepertiganya. Cukup nyaman perjalanan itu. Ya, tidak sesak, tidak terhimpit, dan tidak eneg. Dua orang tante, Kakak, dan satu orang sepupu adalah teman Musafirku subuh itu. Silih berganti panorama yang dipamerkan dari satu desa ke desa lainnya. Berganti desa, berganti pula kisahnya. Di pembatas kota menampilkan suasana yang masih cukup sepi. Orang-orang yang berlalu-lalang masih bisa dihitung jari. Mungkin sebagian masih menikmati pelukan guling dibawah selimutnya. Maklum, cuaca dingin yang terus menjelma beberapa hari terakhir cukup ampuh untuk membius manusia untuk memperpanjang tidurnya di subuh hari. Atau mungkin sebagian masih sedang menikmati hidangan santap paginya di dalam sana. Biasalah, segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Ah, nikmatnya!
Tapi lihatlah, dua desa setelahnya. Kesunyian berganti. Di depan rumah mungil itu, seorang wanita paruh baya sedang menikmati aktivitasnya; menyapu halaman rumahnya. Senyum tersimpul indah dibalik wajahnya yang telah dimakan usia. Suasana pagi yang belum benderang tak membuatnya harus diam meringkik di dalam rumah. Dan, tengok pula potret dua rumah setelahnya. Seorang gadis mungil telah berjilbab rapi sedang duduk di teras rumahnya. Seorang wanita paruh baya pun ikut menemani disana. Tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Tapi, cukup hangat kelihatan. Nampaknya mereka adalah anak-Ibu. Pakaian cokla-coklat yang dikenakan anak itu cukup memberikan penegasan bahwa ia adalah seorang siswa SD (ya,, dengan postur tubuhnya yang masih sangat imut). Anak itu nampaknya tengah menanti angkot bersama Ibunya. Keranjang dan kantongan hitam yang dijinjingnya cukup bisa menyimpulkan bahwa Ibu itu akan ke pasar. Tak berapa jauh lagi, sekitar 3 rumah dari rumah gadis kecil  itu, seorang bocah lelaki dengan semangatnya menggiring sapi-sapinya. Ia berjalan melewati halaman rumahnya, kemudian berjalan di sisi jalan raya. Cukup rapi. Luar biasa! Bocah yang kira-kira umurnya sekitar 9 tahun telah ditantang hidupnya untuk melakoni kisah hidup seperti itu. Padahal, menurutku, umur demikian adalah saat dimana ia masih harus bermanja dengan Bapak Ibunya. Usia demikian masih cukup ijo untuk melakukan pekerjaan seperti itu. Bocah seperti dia masih butuh perhatian bahkan mungkin suapan dari Ibunya. Ah, hidup manusia memang berbeda satu sama lain.
Episode kehidupan yang baru saja kusaksikan rupanya sedikit menggelitik ruang pikir tentang episode-episode kehidupan yang pernah kusaksikan sebelumnya. Tentang kehidupan anak Kost yang pernah menjadi sebait cerita dalam hidupku. Teringat waktu itu, pukul 05.00 pagi, saat sahutan ayam mulai memekakkan telinga. Saat adzan subuh telah lama berkumandang. Seharusnya insan mulai bangkit dari tidurnya. Seharusnya mata mulai beranjak dari pejamannya. Seharusnya tangan dan kaki tak lagi asyik bergelut dengan gulingnya. Tapi, lihatlah... masih banyak diantara mereka yang justru masih melakukannya. Bukannya bangkit, malah semakin nyaman dengan posisi yang sudah diubahnya. Bukannya beranjak, malah semakin mendekap dibalik selimut tidurnya. Dialah mahasiswa-mahasiswa itu. Mereka tidak disuruh bangkit untuk memberi makan sapi-sapinya seperti bocah kecil tadi. Mereka tidak disuruh ke pasar memperdagangkan jualannya. Mereka hanya diinginkan untuk bangun, wudhu, shalat, dan memulai aktivitas sederhananya. Bahkan, saat waktu telah berputar sejam kemudian, masih ada yang belum juga beranjak. Saat diri mulai melangkahkan kaki menuju kampus (sekitar pukul 08.00), eh,,,masih saja ada yang belum berkutik. Badan sedikit membungkuk menyamping, tangan dan kaki memeluk guling, dan selimut menempel setengah badan. Kurang lebih seperti itulah penampakan mereka. Ahh...
Itulah reformulasi habbit yang menjelma beda. Itulah reformulasi habbit dari atmosfer pedesaan ke atmosfer perkotaan. Itukah reformulasi habbit yang kita inginkan? Merubah kebiasaan terbaik selama di kampung halaman kemarin menjadi sikap yang kini tak seharusnya ada? Dari rajin menjadi malas. Dari aktif menjadi diam. Dari peduli menjadi acuh. Tidak!
***
Ketenangan mulai terusik saat mata beranjak dari pejamannya. Wah, tak kurang dari sejam aku tertidur di sini. Kelokan Camba semakin menantang. Sepupu yang sedang menjalankan mobil kulihat cukup konsentrasi. Sementara, Kakak yang duduk di sebelahnya berdiam dalam tidurnya. Kunikmati potret alam itu. Menghirup kesegarannya dalam-dalam. Rintikan hujan diluar, kubiarkan masuk melalui celah jendela yang kubiarkan terbuka sepertiganya. Biar dapat menabrak wajahku. Biar ku terhentak sadar bahwa Dia masih menitipkan banyak kenikmatan-Nya. Mata masih mampu menyapu panorama alam yang disajikan-Nya. Nafas masih dapat menemani wujud diri ini. Dan yang terpenting, hati dan akal masih dapat disentil untuk menyadari kekuasaan-Nya melalui cipta terbaik-Nya.
***
Perputaran waktu yang terus berkejar, akhirnya mengantarkan perjalanan itu bermuara pada tempat yang dituju; Makassar. Keramaian menyapa. Aroma kemacetan mulai menjelma, meski tidak separah biasanya. Penghentian di setiap sudut perempatan lampu merah ternyata mengisahkan cerita baru. Dua bocah berjalan ke sana ke mari menghampiri mobil-mobil yang sempat berhenti. Menawarkan koran jualannya. Menembus hujan yang masih mengguyur dahsyat. Tak peduli! Yang jelas mereka dapat bertatap dengan orang-orang dibalik kaca mobil yang sebagian besar tertutup rapat. Dan kuingat cerita yang sempat terangkai dalam perjalanan tadi. Cerita yang ditampilkan dari desa-desa tadi. Benarkah terjadi reformulasi habbit pada diri bocah “penawar Koran” itu? Kalau iya, apa wujud perubahan itu? Perombakan habbit dari mana? Kerasnya arus hidup yang mereka hadapi kini apakah justru bermula dari kelambanan gerak yang mereka lakukan sebelumnya? Jika iya, tentu cerita ini berbanding terbalik dengan cerita sebelumnya. Tentang kisah yang terjadi di atmosfer desa dengan yang menempa sebagian mahasiswa yang berpindah ke kota. Tapi kelambanan gerak sejak kapan? Sejak lahir? Lihatlah usia mereka kini, bisa dibaca berkisar 6-9 tahun. Atau, konteksnya yang perlu kita rombak. Bukan habbit yang dipertontonkannya, tapi medan hidupnya. Jika demikian, bukan reformulasi habbit yang kita bicarakan di sini. Tapi mengubah cara hidup. Change the way of life. Bukankah Sang Khalik telah menegaskan sejak awal, bahwa Dia tak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri? Kembali, pilihan ada di tangan kita. Dia telah mengatur episode hidup kita masing-masing. Tapi, kita lah yang memilih bagaimana cara melakoni episode tersebut.

>> Makassar, 15 Januari 2010
.:Berkelana menyusuri lorong kehidupan, mencerna episode kehidupan yang telah disusun-Nya

Tidak ada komentar: