must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 17 Mei 2009

Setitik Nadir Pra-Klinik Perdana

Oleh: Yana Yan*)

14 Mei 2009! Pertama kali terjun langsung di rumah sakit. Dan Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, lagi-lagi ditakdirkan sebagai wilayah untuk mengajari kami, merealisasikan ilmu dari kampus seberang.. Dengan landasan utama: mengobservasi pasien. Adapun tindakan yang lainnya, itu terserah apa yang akan terjadi nantinya. Dalam jumlah yang cukup banyak, kami akhirnya disekat menjadi beberapa kelompok. Dengan ruangan yang berbeda-beda, dan tentu dengan jenis penyakit yang berbeda pula.
Dan ternyata, saya dipercayakan untuk menempelkan kaki di ruang Onkologi. Sekedar informasi, Ruang Onkologi adalah ruang khusus untuk pasien kanker dan tumor. Jadi, kalau mau melihat langsung pasien penderita tumor, silahkan mengunjungi ruangan ini. Tepatnya di Gedung Lontara II atas. Hmm,, banyak rasa yang bergelayut menyesaki benak ini: takut, deg-degan, tak sabar, senang, dan masih banyak rasa lagi yang saat ini saya belum mampu mendefenisikan apa nama rasa itu. Yang jelas, semua berbaur, mengawali petualangan ini, menelusuri dunia perawat yang sebenarnya.
Saat pagi mulai menyapa, dengan langkah tegas, segera kuseret kaki ini. Memaksakan diri membelah kesunyian pagi, menghantam kesejukannya. Dengan setia, kokokan ayam juga ikut mengiringi langkah itu. Sekuat mungkin aku mengumpulkan keberanian dan semangat untuk menghadapi segala bentuk kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Ya, ketakutan-ketakutan itu pasti ada. Aku sadar, bahwa yang akan di hadapi nantinya adalah pasien, manusia yang sebenarnya! Bukan lagi maniken atau boneka-boneka seperti yang ada di laboratorium fakultas. Yup, dengan bermodalkan satu kalimat: Aku Pasti Bisa! ketakutan-ketakutan itu sedikit demi sedikit, ahirnya mampu kutepisnya.

Ilusi Pra-Klinik Perdana
Menghadapi dunia baru, pemandangan baru, dan lingkungan baru, tentu akan terjanggal sebuah keasingan tersendiri dalam benak dan hati kita. Sama dengan apa yang baru saja kurasakan. Meski menginjakkan kaki di rumah sakit ini bukanlah yang pertama kalinya, tapi dengan suasana yang berbeda, ternyata masih menyisakan kebekuan juga. Ya, kali ini, sebuah profesi menyelimutiku, sebuah instansi membuntutiku. Pakain putih-putih yang menyelimuti tubuhku, kini menyimpan sebuah kesakralan tersendiri. Tak dapat dinafikan! Meski awalnya aku hanya membawa diri dengan identitasku sebagai seorang mahasiswa, tapi ternyata tidak berlaku. Fakta menampik. Baik pasien maupun keluarganya, tidak begitu mempermasalahkan lagi arti dari sebuah identitas. Apakah kami hanya seorang mahasiswa yang tujuannya hanya untuk mengobservasi mereka, ataukah memang kami adalah perawat yang sebenarnya. Secara kasat, tak ada lagi sekat yang membingkai. Yang tertanam dalam dirinya adalah: semua yang berpakaian putih-putih adalah paramedis. Dan siapa pun yang mengenakannya, seolah wajib dan siap memberikan pelayanan dan pertolongan pada mereka. Terbukti, saat hari pertama, saat keasingan itu masih saja membingkai gerakku, tiba-tiba seorang keluarga pasien datang menghampiri. Setengah berlari, beliau memberitahu bahwa cairan infuse pada keluarganya (pasien) sudah habis. Dengan kondisi yang masih setengah bingung, langsung saja kuhampiri keluarga Ibu itu. Dan memang benar. Beliau butuh pertolongan segera. Meski demikian, tentu aku tak langsung terjun memberikan pelayanan, apalagi dalam kondisi yang masih linglung seperti ini. Kuakali, kupanggil segera perawat yang juga sedang jaga. Dan aku mengikuti dari belakang. Jadilah aku asisten perawat dadakan.^_^
Cerita yang lain: pada pandangan pertama, tiba-tiba muncul iba dalam diri ini kepada mereka (pasien-pasien itu). Kasihan! Satu kata yang muncul mengawali pertemuanku dengan beberapa pasien, setelah sesi observasi mulai kujalani. Begitu tersiksanya mereka. Tiba-tiba, muncul kesyukuran yang tak sanggup kubendung. Betapa nikmat kesehatan itu sungguh bernilai. Dan masih banyak yang tidak memahami hal itu. Untuk sekedar ingat, mungkin kita tak pernah lupa. Tapi, untuk menyadarinya, seolah hampir setiap hari kita tak lagi menyadarinya. Dari nikmat kesehatan itulah akan bermunculan berbagai macam nikmat lainnya. Ahh,,, hatiku merintih!


Mengais Hikmah dalam Jejak Petualangan
Waktu terus bergulir. Banyak hal yang akhirnya kucerna dari setiap episode yang berputar. Banyak warna yang secara tidak sengaja terlukis dalam hidupku. Banyak cerita yang datang menghampiri, dan ia datang menamparku. Dan cerita itu berasal dari sini: Rumah sakit ini! Bukan rumah sakitnya, tapi dari jejak yang telah terpahat selama Pra-Klinik ini. Saat pertama kali aku mulai mengenal dan memasuki dunia “pasien” (dalam tanda kutip), segala bentuk dinamika yang terbingkai di sana mengajariku akan banyak hal: pasien itu, keluarganya, kondisi mereka, teman-teman sejawat, para perawat senior, lingkungan itu (tempatku menginjakkan kaki), dan semuanya!
Setidaknya, ada 3 hal yang menampar nuraniku: Pertama, arti akan sebuah kehidupan. Kedua, arti akan sebuah keikhlasan/ ketulusan. Ketiga, arti akan sebuah kesyukuran. Keberadaanku disini secara tidak sengaja memaksaku untuk menggulirkan nalarku segera. Seringkali kita menjadi lalai menggunakan segala kesempatan hidup yang tersisa. Banyak kesia-siaan yang masih kita selipkan. Waktu masih sering kita buang secara percuma. Hanya dengan berdalih: waktu masih panjang. Terlalu naïf! Mengulur waktu yang sama sekali tak kita ketahui kapan waktu itu akan berhenti. Hentakan jarum jam setiap detik sama sekali tak kita hiraukan. Meski sebenarnya jarum itu telah lelah menegur kita: Apa yang telah kamu lakukan? Lihatlah mereka! Mereka yang tergeletak tak berdaya. Apa yang bisa mereka kerjakan dalam kondisi seperti itu? Tentu mereka terkungkung dengan berbagai keterbatasan. Jiwa produktif yang dulunya mereka usung, setidaknya mau tidak mau ia harus simpan dulu. Dan boleh dikata, bingkai kehidupannya kini rapuh, entah untuk sementara atau untuk menjadi lebih rapuh lagi. Nah, ketika kita merefleksikan cerita itu dalam kehidupan kita sekarang, adakah arti yang bisa kita defenisikan dalam cerita hidup kita? Ataukah ia hanya berlalu bersama putaran waktu yang entah kapan ia akan berhenti. Wallahu a’lam!

Bersambung…
(dah ngantuk!!!-_-)


My Castle_Makassar, 16 Mei 2009, 21:40

*)Ketum FLP Unhas,
Mahasiswi Ners A’2007

Tidak ada komentar: