must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Selasa, 19 Mei 2009

Nestapa Tak Bertuan


Oleh: Yana Yan*)

Pagi yang masih sangat buta, kumulai perjalanan itu. Namun sebelumnya, tak lupa kuberikan kecupan hangat di kening Ibu. Dan kutinggalkan ia dalam kondisi yang masih tertidur lelap. Lalu kutitipkan ia kepada kedua adikku, Rina dan Adli. Entah gimana cara Adli meyakinkan Ibu. Entah bagaimana cara Rina menghibur Ibu, setelah tahu aku tak lagi bersamanya. Ah, biarlah waktu yang menjawab semuanya. Tapi satu yang kupinta, semoga keputusanku tidak membuat segalanya menjadi kacau! Aku ingin melihat kasih, ketenangan, dan cinta membaluti keluargaku. Menyusuri sisa jejak Ayah yang sudah lebih dulu pergi. Dan sebagai anak sulung, aku tak mau menghentikan jejak Ayah. Kan kuteruskan langkahnya dalam menaungi kebahagiaan di rumah ini. Itu janjiku!
***
Langkahku sempoyongan membelah pekatnya malam. Bulan dan bintang kini tak lagi peduli. Mereka dengan acuhnya melekat di atas sana. Tak ada senyum yang kulihat darinya. Mereka membiarkanku rapuh bergelimang duka. Angin malam bahkan dengan garangnya menampar wajahku, membalut tubuhku yang kian mengurus. Dan lagi-lagi, air mataku berurai tak mampu kubendung. Aku, kini mengais asa yang tengah lari menjauhiku. Kesedihan bertubi menikam nuraniku. Wajah sendu Ibu yang terbaring lesu di rumah, terbayang nyata tak sanggup kutenggelamkan. Dengan sangat berat, kuputuskan untuk meninggalkannya. Kupertaruhkan rasa rinduku selama tiga hari terakhir. Kubiarkan hatiku tersayat luka berpisah dari Ibu, demi mencari dan mengumpulkan keajaiban-keajaiban untuk biaya pengobatannya. “Ia harus dirawat! Aku harus membawanya ke kota, mempertemukannya dengan Rumah sakit di sana!” tekadku kuat. Biarlah waktuku untuk bersua dengannya kubenamkan dulu. Daripada terus mendengar batuknya setiap waktu yang tak kunjung reda. Apalagi melihat kondisi tubuhnya yang semakin tak berdaya. Aku sama sekali tak rela membiarkan harinya terbalut siksa.
Langkahku terhenti tepat di halaman sebuah masjid yang lumayan megah. Dan aku baru teringat, ternyata aku belum menunaikan shalat Isya. Padahal, sepertiga malam sudah berlalu. Kulangahkan kaki ini menelusuri gerbangnya. Untunglah, masjid ini tetap terbuka. Saatnya aku mengadu kepada_Nya. Melontarkan segala keluh. Meminta segala harapan. Ah, aku terlalu egois. Memberi_Nya keluh, lalu meminta harapan. Maafkanku Ya Rabb!
Kelelahan yang telah melewati ambang batas, memaksaku untuk memejamkan mata sejenak. Karena energi tak sanggup lagi menopang tubuhku, aku akhirnya terkulai dibawah gelengan kipas angin yang tergantung tepat di atasku. Membawaku pada ruang yang lain.
***

“Di, Randi, udah subuh.” Goncangan yang tidak begitu keras tapi berhasil menyadarkanku dari perjalanan tidurku.
“Ibu…” ucapku lirih, saat pertama kali membuka mataku. Kurasakan keringat dinginku mulai mengucur. Gigiku copot! Mimpi itu… ah tidak! Ibu tak boleh pergi!
Aku kian tersentak saat mataku menabrak sebuah sosok yang sangat tak asing, tepat di hadapanku. Senyuman tulus pun merekah, seolah disumbangkan hanya untukku. Keningku terlipat. Ia semakin tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, mencoba untuk membantuku bangkit dari posisi telentangku. Saat aku hampir duduk sempurna, ia kembali mengulurkan tangannya. Dan kubiarkan tangan itu menggantung. Aku merangkulnya. Bayangan mimpi tadi perlahan kuacuhkan.
“Retno! Tak kusangka kita ketemu di sini.” Aku mulai memecah kebekuan setelah melepas rangkulan itu. “Lama tak jumpa. Sudah lama aku ingin bertemu denganmu. Tapi aku kehilangan jejakmu.” Kembali kulanjutkan ucapanku. Tatapanku masih terus di wajahnya.
“Sama! Aku juga begitu. Lama aku ingin bertemu denganmu sobat. Rupanya Tuhan Maha Tahu apa yang kita inginkan. Semua karena kuasa-Nya!”
“Retno, bukankah kampungmu bukan disini? Sejak kapan jadi warga sini?”
“Hmm,, aku bukannya pindah. Aku ditugaskan di daerah ini. Aku baru 3 bulan di sini. Ngomong-ngomong, kamu kelihatan sangat lelah, pucat pula. Sejak kapan di sini? Ngapain?” Retno kian membuntutiku dengan sejumlah pertanyaan. Aku menunduk.
“Aku tertidur sejak pukul 2 dini hari tadi. Padahal tak ada niat untuk nginap di masjid ini, mungkin terlalu capek. Ceritanya panjang Ret. Aku wudhu dulu. Setelah shalat, aku akan cerita.”
“Ya sudah.”
***
Setelah shalat subuh kutunaikan, Retno mengajakku bertandang ke rumah kontrakannya. Sebenarnya aku menolak, tapi dia sangat memaksa. Makanya kubiarkan saja. Apalagi, baru kali ini aku berjumpa dengannya, sahabatku semasa SMA. Yang sejak 6 tahun lamanya waktu tak pernah mempertemukan kami. Dan aku baru sadar, ternyata Retno adalah seorang dokter. Ya, aku baru ingat. Waktu SMA dahulu, ia memang sangat ingin melanjutkan studinya sebagai mahasiswa kedokteran. Tapi, aku tak pernah tahu rimbanya. Aku kehilangan jejak. Dan waktu akhirnya memisahkan kami. Saat itu, aku terbenam dengan kepergian Ayah. Berita terakhir yang kudapatkan, Retno pindah keluar kota bersama kedua orangtuanya. Dan baru kali ini, waktu memberikan jawaban.
Sambil menyuguhkan makanan ringan, kami pun mulai berbincang. Cerita tentang kondisi keluargaku pun kuluapkan semua. Retno tampak sangat serius mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku. Tak terasa, airmataku kembali berlinang. Tapi sekuat mungkin aku tak membiarkannya tumpah. Aku tak ingin mengumbar deritaku kepada orang lain, termasuk kepada Retno.
Fajar akhirnya menyingsing, mulai menancapkan cahayanya sedikit demi sedikit. Ayam seolah tak mau ketinggalan untuk kembali mengisi suasana pagi hari. Sesekali, angin pun menyambar tubuhku, menyusup dari celah jendela rumah Retno. Angin ini tak seperti semalam, yang garang menampar wajahku. Angin ini begitu lembut, sejuk.
“Randy, izinkan aku ke rumahmu pagi ini juga.” Setelah agak lama membisu, Retno akhirnya bersuara.
“Ngapain? Bukannya aku tidak mau. Tapi aku harus melanjutkan perjalananku untuk mencari kerja, untuk mengumpulkan biaya pengobatan Ibu. Aku tak ingin membiarkan waktu berlalu begitu saja. Aku ingin Ibu segera diobati. Itu keinginanku saat ini Retno.”
“Randy, kamu masih percaya sama aku kan? Izinkan aku mengetahui kondisinya, dan memeriksanya. Kalau perlu, kita bawa Ibumu ke Rumah sakit kota. Hari ini juga.” Jawab Retno. Oh iya, Retno kan Dokter. Aku selalu saja tak menyadari akan hal itu. Rabb, apakah ini jalan pertolonganMu?
Aku pun mengangguk lemah.
***
Dengan luapan kasih yang lama terbendung, aku langsung mendekap Ibu. Airmataku tumpah. Ibu pun demikian. Aku merasakan cinta merasuki tubuhku, menyusup bersama peredaran darahku. Kebahagiaan ini begitu kunantikan.
“Darimana saja Nak?” Ditengah rintihannya, Ibu mulai menyapaku.
“Maafkan aku Ibu. Tak ada maksud untuk meninggalkan Ibu.” Jawabku sedikit terbata, dengan isakan tangis yang mulai kuredam.
Kami bungkam. Terlebih pada kedua adikku. Retno akhirnya melangkah mendekati Ibu.
“Bu, ini Retno. Eh, salah. Dokter Retno. Masih ingat kan Bu’?” kuperkenalkan Retno pada Ibu, sambil mengedipkan mataku sebelah ke arah Retno.
Ibu mengangguk lemah, mengalihkan tatapannya ke Retno, lalu seulas senyum disumbangkan untuknya.
“Jadi, dia yang akan memeriksa Ibu.”
Retno pun mulai memainkan stetoskopnya di dada Ibu. Entah apa yang dia dengar, aku tak tahu. Yang jelas, aku senang. Sangat senang.
“Randi, Ibumu kita bawa ke Rumah Sakit saja ya? Kita harus periksa Ibu. Disana peralatan sudah lumayan lengkap. Saya harus berkolaborasi dengan dokter ahli jantung.”
“Tapi biayanya Ret? Dana kami sama sekali tidak mencukupi.”
“Kamu tak usah pikiran itu. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Ibu.”
“Ya sudah. Terima kasih sebelumnya Retno!”
Retno menjawabnya dengan sebuah anggukan, lalu melukis senyum.
***
Sesampai di Rumah sakit, Retno mulai beraksi dengan sigapnya. Masuk ke sebuah ruangan, berbincang dengan seorang dokter. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi aku yakin, pasti tak lepas tentang Ibu. Aku, Ibu, dan kedua adikku menunggu di sebuah kursi panjang yang membentang. Mungkin ini yang disebut ruang tunggu. Entahlah…
Beberapa menit berlalu, Retno akhirnya keluar, disusul oleh seorang dokter berkacamata.
“Randi, Ibu harus dirawat disini. Ibu harus menjalani perawatan dan pemeriksaan serius,” kata Retno tiba-tiba.
Aku menunduk. Retno pun merangkul pundakku. Lalu aku menoleh ke Ibu yang tengah berbicang dengan dokter yang berkacamata itu, dengan batuknya yang tak kunjung reda. “Ibu didiagnosa mengidap TBC,” bisik Retno sangat pelan. Aku tersentak. Meski aku tak begitu paham dengan penyakit itu, yang jelas kata TBC seolah begitu menyeramkan bagiku. Ahh,,, aku menghempaskan nafas kuat-kuat.
Tak lama, Retno langsung menginstruksikan kepada salah seorang perawat agar Ibu segera dibawa ke ruang pemeriksaan. Dengan kursi roda yang dibawa oleh perawat tadi, Ibu pun dituntun ke ruang yang dimaksud. Kami membuntuti dari belakang.
***
Pagi mulai menyapa. Ibu kini terkulai dengan selang infus terpasang di lengannya. Ada pula selang yang menyusup masuk ke lubang hidungnya, yang disambungkan dengan sebuah tabung. Kata Retno, itu tabung oksigen. Bantuan pernafasan buat Ibu yang kesusahan bernafas.
“Adli, Rina, kakak kembali ke kampung dulu ya. Mau ambil barang-barang yang dibutuhkan. Termasuk pakaian ibu. Kalian jaga Ibu di sini saja. Biar Kakak yang mengambil barang-barang keperluan kalian. Mereka mengangguk.
***
Setelah lumayan lama menunggu di pinggir jalan, akhirnya kutemukan juga angkot dengan tujuan ke arah kampungku. Aku langsung melompat naik. Ingin segera aku sampai ke rumah, dan kembali lagi ke Rumah Sakit menemani Ibu. Aku selalu ingin berada di sampingnya.
Tak berapa lama, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Sang sopir seolah saling memburu dengan hempasan hujan ini. Semakin deras hujannya, mobilnya malah semakin melaju kencang. Beberapa menit berlalu, tiba-tiba sang sopir tak kuasa menghentikan mobil ketika melihat sebuah mobil truk hendak melintas dari arah kanan. Mobil yang kutumpangi akhirnya terpental sangat jauh dari jalan raya, lalu tertubruk pada sebuah pohon besar di sisi jalan itu. Aku, bersama penumpang lainnya ditakdirkan menjadi korban kecelakaan itu. lumuran darah termuntahkan dari tubuh kami.
***
Ternyata, mimpi itu untukku. Biarlah mimpi itu menguap bersama mitos yang tak kunjung punah. Yang pasti, semua karena kehendak_Nya. Tapi, bagaimana dengan Ibu. Terlalu kuatkah kedua adikku memikul beban ini, hingga aku harus melepaskan tanggung jawabku? Rabb, kutahu Engkau Maha Tahu. Jadikan keputusanMu adalah jalan terbaik untuk segala kejadian ini. Kutitip Ibu, Adly,dan Rina pada-Mu Rabb!


Tidak ada komentar: