must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Rabu, 06 Mei 2009

Rias Sendu Sang Metropolitan



Oleh: Yana Yan*)

Makassar, Sang Metropolitan!
Kota Daeng! Begitulah sebutan khas kota Makassar. Kota yang mulai tumbuh sebagai kota metropolis mewakili Indonesia timur. Bersama waktu, panorama Makassar terus saja menggelinding. Menggerus cerita yang masih terpendam. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat, Makassar pun hadir dengan berbagai polesan wajah baru. Meninggalkan segala bentuk kekunoannya.
Banyak kemeriahan dan kemodernan terbingkai menyelimutinya. Seolah turut bersaing dengan Sang Ibu Kota. Bangunan-bangunan kokoh mulai tertancap disana-sini. Pusat perbelanjaan berjejeran rapi. Berkelap-kelip lampu menyinarinya di malam hari. Berderet kendaraan memadati hampir setiap sisi jalannya. Suara riuh kendaraan semakin menggema di angkasa, tak kenal waktu! Terombang-ambing masyarakatnya, terlihat sibuk menjamah setiap sudutnya dengan berbagai macam bentuk aktivitas. Tak pernah sepi, tak pernah diam. Terbentang pula Pantai Losarinya di penghujung barat Makassar. Berjejer warung-warung kaki lima di sepanjang pantainya, dengan bubuhan makanan khasnya. Meniupkan aroma yang sulit terlupakan. Bahkan, Makassar seolah tak lupa untuk memuseumkan sejarahnya pada Benteng Rotterdam dan Benteng Somba Opu. Maka tak heran, wacana tentangnya pun terus mengalir, menghiasi setiap jengkal kehidupannya. Mengartikulasikan peradaban yang sempat terbendung. Dan hanya ada satu muara dari cerita-cerita itu: merefleksikan kemegahan kota Makassar. Lalu membiarkan setiap orang berdecak kagum menyaksikannya.

Pudarnya Pesona Makassar
Indah memang! Tapi, tunggu dulu. Ada sisi lain yang juga ikut terpahat di sana. Makassar, ibaratnya sebuah kepingan uang logam. Ada dua sisi yang menyelimutinya. Jika sebelumnya diuraikan tentang kemegahan kota Makassar, ternyata ia pun menyimpan lembaran kusut yang sungguh tak layak untuk dimuseumkan. Di beberapa pinggiran kota, masih menyelipkan aroma kekumuhannya. Kegersangan dan kegerahan yang secara tidak sengaja masih saja dilestarikan. Anak-anak jalanan dan para pengemis masih berseliweran di beberapa penjuru kota, bersandiwara dengan kehidupannya masing-masing. Kemacetan yang hampir setiap kali mengintai di beberapa persimpangan jalan. Dan, tengok pula sampah-sampah yang dengan acuhnya memenuhi beberapa ruas jalan. Menjauhkan Makassar dari kota yang asri. Mungkin tak salah, keramahan kota ini kini memudar.
Banyak yang tidak menggubris dengan segala peristiwa yang terjadi. Merembesnya berbagai permasalahan yang menghiasi kota ini, sama sekali tidak membuatnya pusing. Isu tentang global warming bahkan dibiarkan berlalu begitu saja. Lingkungan pun terabaikan. Semua terlena dengan kemegahannya. Kekerdilan ‘nafsu’ untuk menjadikan Makassar sebagai kota metropolis yang asri, nampaknya menjadi salah satu pemicu atas ketidakramahan itu. Menciptakan dimensi konflik yang beragam semakin merajalela. Padahal, setiap orang akan mendamba sebuah kedamaian, keindahan, dan kesejukan. Dan kini, disadari atau tidak, mozaik itu telah terpental sangat jauh. Sungguh naas!
Akhir dari sebuah permasalahan, tentu akan tuntas dengan adanya solusi jitu. Solusi yang tak hanya sekedar solusi. Tapi solusi yang terus diperbaharui. Hal terpenting adalah adanya penerapan kesadaran seluruh elemen masyarakat. Kesadaran untuk mampu menampilkan inner beauty kota Makassar. Keindahan yang sebenarnya. Bukan kemegahan yang menyengsarakan. Dan tidak pula dengan malah menunduk pasrah pada kehidupan yang semakin mengganas. Kawan! Mari kita usung sebuah optimisme di tengah krisis yang semakin mewabah ini.
“Masa sekarang dan segala masa, adalah masa yang indah kalau saja kita tahu apa yang harus kita perbuat”
(Ralph Waldo Emerson)



*) Penulis adalah Ketua FLP Ranting Unhas,
Mahasiswi Ners A’ 07 Unhas

Tidak ada komentar: