must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Selasa, 08 Desember 2009

"Harga Sebuah Pembelajaran"

Yana Yan 


Jumat, 4 Desember 2009
 
 Di suatu pagi yang cerah, saya ditemani teman saya tengah asyik berbincang dengan seorang Ibu, tepatnya seorang pembina pondok pesantren. Saat itu, suaminya (juga pembina pondok pesantren itu) ada di situ, tapi ia berada di luar, di teras rumah, tak jauh dari tempat kami duduk. Kebetulan malam itu ada jadwal ngajar (Bimbel) di pesantren tersebut, dan kami pun nginap di rumahnya.
 Beberapa menit berlalu, sambil menunggu adiknya yang bungsu, anak pertama dari Bapak-Ibu itu mondar-mandir kesana kemari. Dan sesekali meneriaki Sang Adik, menyuruhnya lebih cepat sedikit. Mungkin karena merasa tak punya kerjaan dan agak bosan menunggui Adiknya yang tak jelas kapan selesainya, Si Sulung pun keluar dari rumah. Lalu mengambil kunci motor Bapaknya, dan mengemudi motor itu (sepertinya ia ingin mutar di sekeliling pondok, sambil melatih kepiawaiannya dalam mengendarai motor. Bayangkan, dia seorang gadis yang baru duduk di kelas 6 SD). Si Adik ke-2 yang telah selesai, pun ikut bersama Sang Kakak. Waktu berlalu, Kakak-beradik itu pun tak nampak lagi batang hidungnya. Saya kembali meneguk minuman hangat yang dibuatkan oleh tuan rumah ini. Dan kembali melanjutkan acara bincang-bincang lepasnya. Sambil sesekali diiringi canda.
 Tak berapa lama, adik ke-2 yang juga ikut bersama Si Sulung tadi datang sambil berlari ringan. Dengan sedikit menahan tawa, ia berkata: “Pak, Bu, Kakak jatuh. Nih ada bagian motor yang pecah,” katanya singkat sambil memperlihatkan pecahan salah satu bagian motor yang dimaksud. Saya dan teman saya agak kaget mendengarnya, sambil membayangkan Si Gadis Sulung tadi yang katanya terjatuh. Mana motornya pecah lagi! Si Ibu, yang tadinya sibuk mengurusi Si Bungsu, kini berjalan dengan santainya mendekati mulut pintu masuk rumah, sembari berkata: ”Begitulah, harga sebuah pembelajaran...” ucapnya enteng, dihiasi dengan simpulan senyum di wajahnya. Dalam hati saya bergumam: ”Lho, ini Ibu kok nggak kaget mendengar anaknya jatuh.” Kemudian Sang Suami yang masih berada di luar akhirnya menimpali: “Betul Bu, harga sebuah pembelajaran. Ada-ada saja yang harus dikorbankan dalam proses pembelajaran. Si Kakak mungkin tidak akan pintar mengendarai motor tanpa ada yang dikorbankan. Dan untungnya, pihak yang dikorbankan kali ini adalah motor, bukan dirinya,”jawabnya juga sambil tersenyum. Dan say kembali menimpali, tapi dalam hati:” Benar juga!”
 Di tengah-tengah perbincangan kami, muncullah Si Kakak yang katanya telah terjatuh. Tapi dengan kondisi masih seperti sebelumnya (maksudnya: nampak tak ada yang lecet pada tubuhnya, begitupun motornya). Saat motornya sudah berhenti, tepat di depan rumah, Si Sulung itu tertawa cengengesan sambil berkata, ”Pak, Ibu,, aku jatuh.” Semua yang ada di situ pun tersenyum mendengarnya, termasuk saya.
***
 Sore hari yang agak sendu karena polesan hujan yang baru saja reda, saya berencana pergi ke sebuah toko di salah satu sudut kota. Ingin memperbaiki printer saya yang agak bermasalah, masih ditemani dengan teman saya. Singkat cerita, setiba di toko itu, saya pun memperlihatkan printer itu kepada orang yang lagi jaga di toko itu (kebetulan sampai saat ini saya belum tahu siapa namanya, meski sudah beberapa kali saya bolak-balik toko ini;-). Sambil menunggu ia mengecek Si Printer itu, saya pamit untuk jalan ke toko lain dulu, ntar balik lagi.
 Sekitar satu jam berlalu, setelah puas mondar-mandir di beberapa toko, saya pun kembali ke toko tadi, tempat mangkal printer saya. Langsung saja saya menanyakan bagaimana kondisi printer saya. Lalu Si Lelaki tadi (orang yang menangani printer saya) menjawabnya dengan panjang lebar. Menjelaskan tentang kondisi printer saya, ini-itu, begini, dan begitu. Yang intinya, printer saya memang bermasalah. Dan parahnya lagi, mesti ganti cetrik warnanya, karena begini dan seterusnya. Saya kaget. Dan kembali bergumam dalam hati: Mesti sampai ganti cetrik?. “Ya sudahlah, kalau memang begitu, ya apa boleh buat. Ganti saja, toh tujuan saya kesini untuk memperbaiki si Printer ini kok (Tapi masalahnya, tidak dengan ganti cetrik maksud saya;-). Urusan selesai!
 Dalam perjalanan pulang, saya sedikit menceritakan asal muasal kenapa Si Printer itu bermasalah kepada teman saya. “Sebenarnya cukup enteng sih, sekitar dua hari yang lalu, saya kan mau nge-print. Tapi, printernya ga’ bisa berfungsi. Dan waktu itu, rasa penasaran saya kumat lagi. Dasar saya nggak bisa tenang kalau punya barang-barang yang rusak, akhirnya saya berpikir kira-kira kenapa ya printer seperti ini. Sambil mengamati ini itu, saya pun mulai beraksi, dan kemudian berujung dengan membanjirnya cetrik itu. Ya spontan saja saya atasi dengan beberapa lembar tissue. Lama berlalu, saya mulai bosan, printer pun masih demikian, tak ada yang berubah. Malah tadi tintanya sempat meler. Ya sudah, saya berhenti. Nah, mungkin penyebabnya dari situ. Dari aksi konyol saya beberapa hari yang lalu,” ceritaku singkat, lalu kembali meneguk minuman dingin yang sedari tadi saya genggam. Kemudian, teman saya akhirnya menimpali: “Yah, begitulah harga sebuah pembelajaran,” jawabnya singkat, sambil tersenyum lebar. Kami pun tertawa beriringan, dengan memori kembali merekam kejadian di pondok pesantren tadi pagi.

Tidak ada komentar: