must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Jumat, 19 Juni 2009

Sketsa Pendidikan Indonesia



Oleh: Yana Yan*)

“Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
(UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5, ayat 1, 2003)

Globalisasi terus saja menggelinding, bersama waktu yang juga ikut berputar. Kemajuan demi kemajuan pun mengiringinya. Berbagai sektor berhasil dilibatkan dalam setiap perjalanannya. Satu diantaranya adalah dunia pendidikan. Motor ideology yang menjadi kunci utama perubahan sebuah bangsa.
Salah satu pilar Negara Indonesia yang tak pernah lekang. Dan kini, telah menyeret Indonesia mencapai sebuah titik kemajuan.
Karenanya, ketidaktahuan mampu terungkap. Karenanya pula, peradaban akhirnya terjamah. Ya, karena pendidikan! Pendidikan bagai menara gading. Dimana puncaknya tertancap sebuah kesuksesan dan kebahagiaan. Di puncak itu pula, sudut-sudut yang masih tersembunyi akan dengan mudah terlihat. Namun, untuk menancapkan kaki di sana, tentu tidak dengan hanya membayangkannya saja. Tanpa ada daya dan upaya untuk meraihnya. Begitulah analogi sebuah pendidikan. Bahkan, tidaklah berlebih jikalau pendidikan dijadikan sebagai pelopor pembaharuan. Wajar, semua berhak menggenggamnya!

Kader Tulang Punggung Pendidikan
Dalam tatanan kehidupan, pemuda seringkali disanding sebagai pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa. Merekalah embrio perjuangan bangsa. Maka tak ayal, jika pemuda disebut sebagai kader tulang punggung pendidikan. Segenap harapan bangsa tertumpu padanya. Pemuda, dengan semangat spontanitas dan kekritisan yang dimilikinya, ia mampu menelanjangi pendidikan. Ia memiliki kemampuan untuk merekonsiliasikan diri secara kreatif dan cerdas. Mampu menelanjangi pendidikan, membedahnya, dan menjadikannya lebih baik. Namun, dengan semangat spontanitas itu pula, ada juga pemuda yang justru meninggalkan pendidikan sebelum menelanjanginya secara tuntas. Lalu meninggalkannya, dan akhirnya tertindas oleh kemajuan dunia. Kehedonisan diri dan lingkungan, bisa menjadi salah satu pemicu utama.
Berangkat dari sini, tulang punggung pendidikan memiliki peranan yang tak kalah pentingnya. Mereka yang akan mengayomi dan memberikan didikan yang baik kepada para kader. Dan tulang punggung pendidikan yang dimaksud adalah para pendidik. Berbicara tentang pendidik, sepertinya tak pernah lepas dari peranan seorang guru. Namun, dalam hal ini, guru yang dimaksud tentu tak hanya terbatas sebagai ‘guru’ di sekolah. Cakupannya tentu lebih luas. Entah itu guru di rumah, di lingkungan sekitar, dan di mana saja. Oleh karena itu, peningkatan kualitas tulang punggung pendidikan akan berbanding lurus dengan kualitas kader tulang punggung pendidikan. Jika pendidiknya baik, maka kader didiknya juga akan ikut berpengaruh. Dan tentu, akan berimbas pada kualitas sebuah pendidikan.

Serpihan Narasi Pendidikan Indonesia Dalam Bingkai 64 Tahun Merdeka
Dibawah lempengan kemerdekaan, Indonesia memang sudah cukup maju. Tapi sayang, Indonesia nampaknya belum ditakdirkan untuk menyandang predikat sebagai ‘negara maju’. Sebongkah cerminan atas kondisi pendidikan di Indonesia, cukuplah menjadi salah satu alasan. Dan membuat kita menoleh sejenak. Apa yang terjadi dengan pendidikan Indonesia?
Dunia modernisasi hilir mudik menghampiri negara kita. Namun, Indonesia ternyata masih menampung banyak rakyat yang belum tersentuh pendidikan. Artinya, masih banyak calon kader tulang punggung pendidikan yang sudah berguguran. Ironi, kebodohan berada ditengah-tengah kemajuan. Fakta tak dapat menampik. Kemiskinan dan kekerdilan asa untuk mengenal dunia pendidikan, tercatat sebagai salah satu penyebabnya. Konkretnya, semua tak terlepas dari minimnya tenaga pendidik, fasilitas pendidikan, permasalahan ekonomi, dan kebutuhan hidup. Lantas, siapa yang bertanggung jawab? Dan siapa yang berhak dituntut?
Tak dapat dipungkiri, rakyat setidaknya akan menoleh kepada pemerintah. Ya, minimal sebagai pihak pemegang dan pengambil kebijakan. Terkait dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu, ternyata layanan pemerintah masih jauh di dalam angan. Tentang anggaran pemerintah misalnya. Berdasar pada pasal 31 ayat 4 UUD 1945, anggaran untuk pendidikan dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20%. Bahkan, pasal 49 UU No. 20/2003 menyatakan, hingga saat ini hanya berkisar antara 2-5%. Miris memang! Pendidikan yang menjadi salah satu kunci kemajuan bangsa, seolah dipandang sebelah mata.
Lebih jauh, terkait masalah kualitas pendidikan Indonesia. Pertanyaan besar menari riang dalam benak kita. Benarkah pendidikan Indonesia berkualitas? Fakta kembali berbicara. Praktek jual-beli gelar, ijasah, bahkan jual-beli nilai, terkadang masih membingkai dunia pendidikan Indonesia. Komersialisasi pendidikan akhirnya ditumbuhsuburkan. Bisnis semakin gencar membuntuti. Jadilah, pendidikan milik orang-orang berduit. Sisanya, daya nalar dan kreatifitas anak akhirnya terkubur hidup-hidup. Layakkah yang demikian itu disebut berkualitas? Padahal, dikatakan berkualitas jika punya kemampuan untuk merekonsiliasikan diri secara kreatif dan cerdas. Sehingga, ia mampu berpijak dengan berbagai tantangan perubahan global yang terjadi. Dan kemudian menciptakan tekstur peradaban yang sebenarnya. Menciptakan kehidupan yang hakiki. Bukan malah menjadikan hidup luntang-lantung , tidak jelas arah dan tujuan.
Kini, 63 tahun kemerdekaan menyelimuti Indonesia. Sudah selayaknya ia bersikap dewasa. Sudah sepantasnya Indonesia berpijak di kaki sendiri, menyongsong globalisasi. Era yang penuh dengan segudang kemajuan. Sudah saatnya Indonesia melukis sketsa pendidikannya yang jelas. Jangan sampai, Ia terus melahirkan ribuan alumni setiap tahun. Tapi, rakyat tetap dibiarkan bodoh. Tentu, kita tak boleh menutup mata!


*) Aktivis FLP (Forum Lingkar Pena)

Tidak ada komentar: