must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Minggu, 16 November 2008

Seluk Beluk Pengesahan UU Pornografi


Prakata
Pertengahan bulan Oktober kemarin, isu pornografi semakin gencar diberitakan di hampir setiap media seluruh tanah air. Terkhusus, tentang pengesahan RUU Pornografi. Maraknya pemberitaan akan hal tersebut seolah membuat masyarakat Indonesia kembali terhentak. Hingga akhirnya, terjadilah aksi besar-besaran di beberapa titik di tanah air. Beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam pihak yang Pro dan pihak Kontra atas pengesahan RUU tersebut hadir dalam aksi itu. Hasilnya, ada 2 kubu dalam ‘pertarungan’ itu.
Teriakan-teriakan : ’Tolak Pornografi!!’ sempat membahana di hampir seluruh pelosok tanah air, menuntut pemerintah mengesahkan UU pornografi. Di sudut lain, pihak yang kontra terhadap pengesahan RUU pornografi menjadi sebuah undang-undang pun tak kalah getirnya. ’Tolak Pengesahan RUU pornografi!!’, kurang lebih begitu bunyi teriakannya. Hingga terjadilah aksi saling teriak. Di sudut kanan ditempati oleh kubu yang pro terhadap pengesahan Undang-undang pornografi, di sudut kiri ditempati oleh kubu yang kontra terhadap pengesahan Undang-undang pornografi.
Hari Kamis, tanggal 30 Oktober, tepatnya pukul 13.15 WIB akhirnya tercatat sebagai sebuah sejarah baru di negeri ini. RUU Pornografi disahkan sebagai sebuah undang-undang!!! Ketukan palu itu berdasarkan hasil kesepakatan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta. Meski sebelumnya telah terjadi aksi ‘tawar-menawar’ terhadap RUU tersebut. Desas-desus Pro dan Kontra akhirnya terjawab.

Mengapa Harus Dengan Pengesahan RUU Pornografi?

Tak bisa dipungkiri, memasuki era globalisasi, gejala westernisasi semakin jelas dampaknya. Aksi pornografi semakin memperlihatkan keberadaannya. Imbasnya, masyarakat Indonesia menjadi korban. Parahnya lagi, tak hanya menimpa kalangan dewasa saja, anak di bawah umur pun (red:dibawah umur 17 tahun) tak ketinggalan. Akhirnya, dampak dari pornografi tersebut semakin menjalar. Sebut saja free sex, terjadinya tindakan-tindakan kriminalitas (seperti pernikahan di bawah umur, pencabulan/pemerkosaan, dsb), meningkatnya angka pelaku aborsi, sikap konsumtif di kalangan remaja semakin tak terkendali hanya untuk memiliki VCD porno, etika semakin tersingkirkan, moralitas anak bangsa menyusut, dan masih banyak lagi dampak dari pornografi tersebut. Ironisnya, pornografi menjadi sebuah momok menakutkan. Masyarakat menjadi resah dibuatnya. Betapa tidak, korban yang didominasi oleh kaum hawa dalam usia yang masih sangat belia itu, menuntut siapa saja yang melihatnya menjadi sangat miris. Sembari mengusap dada, lalu berkata: Astagfirullah! Lantas, apa yang akan kita lakukan untuk bisa keluar dari permasalahan ini?
Kalau nasi sudah menjadi bubur, kalau telur sudah terlanjur pecah, apalagi yang akan kita perbuat selain menerima kenyataan itu? Bukankah bubur tak bisa lagi kembali menjadi nasi? Pun begitu dengan telur, tak dapat lagi kembali dalam bentuk semula kala terlanjur pecah. Nah, haruskah peristiwa itu terus terjadi?
Sebagaimana yang tercantum dalam harian umum Pelita, edisi 30 Oktober 2008, dikatakan bahwa: ”Prinsip dalam RUU ini adalah non-diskriminasi, sehingga nantinya UU ini berlaku tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) serta tidak dikhususkan untuk golongan tertentu. UU ini juga akan berlaku bagi siapa saja yang ada di wilayah Indonesia serta menempatkan semua WNI pada posisi yang sama di depan hukum. RUU tentang pornografi juga menjaga prinsip kebhinnekaan. Substansinya sudah memperhatikan adat istiadat, seni budaya dan kebhinnekaan di masyarakat Indonesia.”
Sebuah referensi dalam warnaislam.com mengatakan bahwa: ”hadirnya Undang-Undang Pornografi merupakan bentuk pernyataan tegas bangsa Indonesia bahwa pornografi merupakan sebuah masalah sosial bukan sekadar masalah moral, menjamin kepastian hukum, memberikan sanksi yang bisa menimbulkan efek Jera, perlindungan terhadap warga negara terutama anak-anak. Dengan lahirnya Undang-Undang Pornografi, kita berharap Indonesia memasuki babak baru ke arah yang lebih baik.” Semoga!

Benarkah UU pornografi = Solusi ???
Setelah melihat fenomena-fenomena sebagai tumbal pornografi tersebut, kini tertanam sebuah tanda tanya besar di benak kita: Benarkah pengesahan RUU Pornografi adalah sebuah solusi?
Pengesahan rancangan undang-undang pornografi menjadi sebuah undang-undang, diharapkan bisa menjadi solusi untuk bisa keluar dari berbagai keterpurukan tersebut. Tapi, bukan berarti UU ini hanya satu-satunya solusi. Undang-undang ini adalah salah satu solusi atas masalah tersebut. Langkah selanjutnya, melakukan follow-up atas UU itu. Jangan sampai hanya tersimpan sebagai sebuah dokumen belaka, tanpa ada realisasi dari apa yang telah disepakati. Langkah awal, perlu sosialisasi dari pemerintah atas UU tersebut. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan isi undang-undang itu. Bukan tidak mungkin hal ini bisa terjadi. Selanjutnya, tergantung ketegasan dari pihak pemerintah dalam penerapan undang-undang ini.
Mengutip isi dari berita harian umum Pelita, edisi 30 Oktober 2008 bahwa: ”Implementasi UU tentang Pornografi, menurut menteri, akan terkait dengan sejumlah ketentuan hukum lainnya, termasuk UU No 01/1946 tentang KUHP, UU No 32/2002 tentang Penyianan, UU No 40/2003 tentang Pers, serta UU No 23/2003 tentang Perlindungan Anak. Menteri Agama mengatakan RUU Pornografi telah memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi masyarakat dari dampak negatif Pornografi .Sesungguhnya RUU ini merupakan perlindungan bagi masyarakat dari dampak negatif pornografi, katanya.”
Yang terpenting, kesadaran seluruh elemen masyarakat dalam mematuhi undang-undang ini. Mengutip apa yang sering diterakkan oleh orang-orang awam: Peraturan tercipta bukan untuk dilanggar, tapi untuk dipatuhi!!!


Tidak ada komentar: