must to remember:

Sejarah hanya mampu mencatat orang-orang yang menyisakan jejak dalam hidupnya. Bergeraklah...

Senin, 23 Maret 2009

Matahari Yang Ternoda

Oleh: Yana Yan*)

“Ehm, Arin, mau kemana?”

“Bukan urusanmu!”

Linda membisu. Ia hanya bisa diam menerima sikap Arin yang semakin dingin kepadanya. Arin yang berjalan semakin jauh dan akhirnya menghilang di pembelokan jalan, kini semakin mengukir sesal dihatinya. Pasrah, adalah pilihan tepat baginya saat ini. Tak tahu harus berbuat apa pada Arin. Permohonan maaf telah berulang kali ia lakukan. Berbagai cara, demi meluruskan kesalahpahaman dan kehilafan yang pernah terjadi. Harapan itu masih ada. Dengan berusaha menghimpun ketegaran, Linda selalu mengucapkan kalimat itu.

“Lin,,Linda...!!!” Dari jauh, terdengar suara Dila, sahabat Linda, memanggil.

Linda menoleh, lalu kembali melangkah menuju tempat duduk, di sebuah taman fakultas tak jauh darinya. Dila semakin mendekat. Linda memilih duduk dibawah sebuah pohon yang rindang..

“Teringat Arin lagi?”

“Barusan aku bertemu dengannya.”

“Trus?” Dila semakin mendekati Linda. Ia duduk tepat disampingnya.

“Ia masih seperti yang dulu. Aku bingung Dil, dengan cara apa aku bisa meluruskan kesalahanku. Rasa sesalku semakin hari semakin mengejar. Aku betul-betul bingung,” ucap Linda tanpa menoleh sedikitpun ke Dila. Hatinya sesak!

“Jangan sampai kamu mengutuk dirimu sendiri, Lin. Kamu nggak boleh putus asa. Aku yakin, ada cahaya terang yang menantimu di depan sana. Bukankah kamu selalu bilang kalau harapan itu masih ada?”

Linda menundukkan kepalanya, menatap tanah kering dibawahnya. Lalu, kedua tangannya akhirnya menutup wajah sedih itu. Linda menangis.

“Bukankah Tuhan tak akan memberikan cobaan diluar kemampuan kita?” sambung Dila, sambil merangkul temannya.

Matahari semakin gagah membentang sinarnya. Pepohonan pun semakin kokoh menghadang angin yang sesekali menamparnya. Merpati-merpati kampus (begitu kami menyebutnya), juga semakin riang menikmati hidupnya. Sementara Linda, masih saja dirundung sedih menahan sesal atas sikap yang dulu terlanjur ia lakukan. Dan Dila, terus saja menyirami Linda dengan kata-kata penuh bijak. Ia tahu, saat ini Linda membutuhkannya.

“Dil, pulang yuk,” kata Linda tiba-tiba memecah keheningan. Ia beranjak, lalu langkahnya disusul oleh Dila.

“Kita kemana?”

“Ke rumahmu, bisa?” langkah Linda terhenti, lalu menatap Dila.

Dila mengangguk sambil mengedipkan mata kanannya. Linda akhirnya tersenyum.

***

“Dil, seandainya saja waktu itu aku tak meninggalkan Arin, dia pasti tidak membenciku seperti ini,” ucap Linda sembari melepaskan jilbabnya. Rambutnya yang panjang pun terurai, melambai-lambai terkena hentakan kipas angin tak jauh dari tempatnya duduk.

”Sejak kapan kamu jadi seperti ini Lin? Seharusnya kamu bersyukur, Tuhan masih memberikan kamu kesempatan untuk menghindari dunia gelap itu. Bukan malah menyesalinya seperti ini.”

Astagfirullahal’adzim,,,”

”Yang harus kita pikirkan sekarang, bagaimana cara kita menjauhkan Arin dari barang haram itu. Dan kembali bersahabat dengannya.”

”Tapi tidak semudah itu, Dil.”

”Iya, aku tahu. Masalah ini bukan masalah yang mudah. Tapi, aku yakin kita akan bisa mengatasinya. Tuhan telah memilih kita untuk menghadapi masalah ini. Kenapa kita harus ragu?”

”Kamu bener. Dil, tolong.. Arin itu sahabat kita..”

”Lin, aku akan selalu ada disampingmu... Kamu tenang saja, kita pasti punya jalan keluarnya kok. Tinggal gimana usaha kita mencarinya, Ok?” Dila menatap wajah sahabatnya itu. Dalam! Disusul dengan anggukan lemah dari Linda.

***

Yang kesekian kalinya, Linda kembali mencoba menghubungi Arin. Sebelumnya, ia sudah berusaha mengumpulkan asa dan kekuatannya sebanyak mungkin, untuk Arin.

Lagi-lagi gagal...

”Harapan itu masih ada,” Linda kembali melafazkan kalimat itu, lirih! Jemari tangannya masih saja menari ria di atas tombol handphonenya. Hasilnya sama saja, nihil. Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba handphonenya berdering sebentar. Ada SMS!

Ga’ pernah buka email?

Linda terperangah. Berusaha ia menguasai dirinya. Ketidakpercayaannya atas apa yang terjadi barusan, membuatnya lunglai tak berkutik. Setelah sekian lama aku menghubunginya, baru kali ini dia memberi jawaban. Meski sebenarnya kebingungan masih menyelimuti ruang pikir Linda. Berulangkali Linda membaca SMS itu, jawabnya memang betul. Itu dari Arin. Tanpa basa-basi, Linda langsung beranjak dari duduknya. Setengah berlari ia menuju warnet ”Dhea” tepat disamping rumahnya. Tujuannya hanya satu: membuka emailnya, dan berharap ada setitik pesan berarti yang Arin tinggalkan.

1 new message:

From: arienda_mj@yahoo.com

”Puisi???” Sejuta tanya semakin bergelayut di benak Linda.

Dalam Diamku

Dalam rentetan waktu,

kutelusuri setiap ranah

Nalar terpacu

melawan setiap keganasannya

Hati menjerit

menahan kecamannya

Namun,

Tak perlu kuberlari darinya

Segala asa siap kumuntahkan

Untuknya...

Ya, untuknya!

Dalam pergantian siang,

kemudian menjadi malam,

Lalu kembali pagi

Aku bergulat nafsu

Ditemani asa yang semakin kerdil

Dengan segala daya

Tapi hanya tipu yang kudapat

Ternyata, aku menuai sesal

Kesadaran baru kurenggut

Tameng-tameng kehidupan,

kini berjejer siap menghujatku

Aku bimbang

Kuhembuskan kebingungan

disetiap desahan nafasku

Ingin ku segera lari

Namun, dunia ternyata begitu sempit

Dan waktu

kini semakin mengintai

Aku pun menyerah

:pada keganasannya

pada kekuasaannya

pada kehebatannya,

Aku taubat!

Dan diam adalah perisaiku...

***

“Lin, bangun Lin.. Udah pagi, Nak.”

Antara sadar dan tidak, Linda bangkit dari tidurnya dengan penuh kebingungan. Keringat dingin membasahi keningnya.

Astagfirullah... ternyata hanya mimpi!” gumam Linda sambil mengusap matanya. Tubuhnya kembali lunglai.

“Mimpi apaan Lin?” tanya Mamanya, setelah melihat Linda menundukkan wajah sambil menutupnya dengan kedua tangannya.

“Nggak, Ma. Cuma bunga tidur. Mmm,, Linda mandi dulu ah. Ntar telat lagi!” Linda pun beranjak tanpa menghiraukan Mamanya yang masih terheran-heran.

***

“Dila, tahu nggak. Semalam aku mimpi lagi tentang Arin.”

“Sudahlah Lin. Nggak usah terlalu mikirin dia. Kasihan tuh tubuhmu selalu terbebani. Biarkan Arin tenang di alamnya. Yang harus kita lakukan selalu adalah mendoakan beliau, agar arwahnya bisa diterima di sisiNya.”

Ya, beberapa hari terakhir, Linda memang sering memimpikan Arin. Sejak 2 minggu sepeninggalnya, Linda seolah belum siap menerima kenyataan ini. Yang paling Linda sesali, ia belum sempat membebaskan Arin dari dunia gelapnya: pecandu narkoba.

“Tapi, mimpi ini seolah nyata, Dil.”

“Hush,,, mimpi tuh hanya bunga tidur Lin. Nggak usah dipercaya.” Lagi-lagi, Dila menjawab enteng keseriusan Linda.

“Baru kali ini mimpiku sangat kompleks...” Linda terus saja bercerita. Tanpa menghiraukan Dila, ia pun menceritakan mimpinya semalam. Termasuk tentang puisi di emailnya itu.

“Trus, isi puisinya kaya’ gimana?” akhirnya Dila bersuara juga, pertanda ia masih respect atas cerita mimpi Linda.

“Isinya, aku udah nggak hafal lagi. Yang pastinya, puisi itu seolah menceritakan isi hatinya. Bahwa selama ini, Arin hanya bisa diam dan penyesalan itu ada dalam dirinya. Tapi dia nggak tahu harus berbuat apa dalam kondisi yang sudah terlanjur terjadi. Makanya ia hanya memilih diam saja. Kasihan...”

“Hanya Tuhan Yang Tahu maksud dari mimpimu itu, Lin.”

Linda hanya berdesah panjang mendengar jawaban dari sahabatnya.

***

Matahari, kini mulai bergeser. Kemilau jingga di ufuk barat sana terlihat berbaur bersama langit biru. Sebuah perpaduan warna yang begitu indah. Kompleks! Linda membayangkan, senyuman manis Arin berada diantara lekukan awan-awan itu sambil melambaikan tangan kapadanya.

Matahari, kian lama kian beranjak. Meninggalkan Linda yang dirundung sedih. Linda takkan lagi menyaksikan matahari beranjak dari peraduannya hampir setiap petang seperti sedia kala. Saat Arin masih bersamanya. Tak ada lagi yang menemaninya menikmati indahnya kemilau jingga matahari itu.

”Dia tlah pergi...” desah Linda.

***

*) Ketua FLP Ranting Unhas, Mahasiswi Ners A’07 UH

Terucap salam buat keluarga besar FLP, kawan-kawan PII, dan warga IKMS.

Tidak ada komentar: