Oleh: A. Saputri Mulyanna
***
Dalam sebuah ruang kehidupan, terlakoni alur hidup manusia pada suatu pergantian waktu; sore menjelang malam (magrib). Menceritakan tentang seorang lelaki yang baru saja mengakhiri aktivitasnya. Seperti biasa, sebagai seorang aktivis, ia seolah tak lepas dari yang namanya aktivitas. Mungkin ia justru akan sakit ketika ia tak beraktivitas. Atau sebaliknya, ia berhenti dari aktivitasnya ketika ia jatuh sakit. Waktu itu, ia baru saja melakukan rapat pengurus di tempat mangkalnya; sebuah sekretariat dari organisasi yang digelutinya. Tempat ia selalu berlabuh bersama rekan seperjuangannya. Mendiskusikan permasalahan organisasi, menyusun strategi organisasi, bahkan hanya sebagai tempat berbagi cerita dan menularkan semangat hidup dengan rekan-rekannya yang lain.
Rapat baru saja berakhir. Namun, ia belum beranjak dari tempat sederhana dan bersahaja itu. Topik cerita antara ia dan rekan-rekannya sepertinya tak pernah habis dalam perputaran waktu. Mereka pun kembali berdialog, menyambung kata demi kata dalam lisan yang tertutur membingkai cerita pasca rapat. Kali ini, mereka berbincang tentang ketidakhadiran rekan-rekannya yang lain. Menanyakan ketidakmunculan mereka selama beberapa kali rapat diadakan. Dialog yang awalnya hanya untuk membincangkan ketidakhadiran mereka, akhirnya bermuara pada keluh yang terlampiaskan. ”Mengapa mereka tidak pernah muncul, padahal banyak hal yang akan diselesaikan. Mengapa mereka cuek bebek? Mengapa mereka tak mau meluangkan waktunya sedikit pun? Mengapa hanya kita saja yang hadir? Mengapa hanya kita saja yang berkorban? Mengapa begini...mengapa begitu...” Begitulah, lelaki itu terus melisankan keluh. Nyaris tak terkendali. Menuntut banyak ketidaksesuaian yang dirasakannya selama ini. Melampiaskan segala bentuk ketidakterimaannya pada kondisi yang telah terjadi.
***
Pernahkah terlisan keluh seperti lelaki itu? Coba sejenak kita meraba ruang pikir kita masing-masing. Berapa kali dalam sehari kita melampiaskan keluh? Seberapa sering keluh mengikut setiap aktivitas dan gerak kita? Mungkin, kita tak lagi sadar bahwa setiap alur hidup yang telah kita mainkan senantiasa diiringi dengan berderet keluh. Saat seorang bocah kecil berpakaian lusuh datang menghampiri kita, menengadahkan tangannya, mengetuk pintu rezekinya kepada kita, dan karena melihat penampakan bocah dekil yang cukup mampu melahirkan iba, kita pun memberinya (alakadarnya). Namun, ternyata ada umpatan kecil yang mengikut pemberian itu. Ah, bocah itu malas amat. Tahunya cuma minta-minta saja. Memangnya saya gudang uang. Memangnya saya cuma pungut rezeki? Dasar pemalas! Umpatan kecil yang dianggap biasa, dan ternyata terus terlakoni.
Ya, kita memberi. Namun, ada kata yang mengekor pemberian itu. Benarkah kita sedang memainkan ranah ketidakikhlasan pada kondisi-kondisi seperti itu? Jangan sampai, semua langkah, tindakan, dan gerak yang kita anggap sebagai sebuah pengorbanan, harus terkali nol, hanya karena sebait keluh yang menyertai. Berbuat, tapi nilainya nihil, sama saja tidak berbuat. Bahkan, justru kerugian mutlak yang diperoleh. Waktu, tenaga, bahkan materil telah dilampiaskan hingga melahirkan cucuran peluh. Namun tak ada yang terbalaskan selain kelelahan dan sakit yang bersemayam di balik hati, dan terus bergejolak. Berbuat, tapi masih menuntut banyak hal. Berkorban, tapi teramat ingin agar orang lain melampiaskan puji dan memberikan balasan yang lebih konkret. Bekerja, tapi muncul pemberontakan agar orang lain dapat menilainya secara gamblang di hadapannya. Lupakah, bahwa sejak awal Dia telah mengingatkan kita dalam Q.S. At-Taubah:105 : “Bekerjalah, dan biarkan Allah, Rasul, dan orang-orang beriman yang melihatnya.”
Erbe Sentanu, dalam buku Quantum Ikhlas-nya, juga telah mengingatkan bahwa manusia yang memiliki kesadaran tinggi, senantiasa mengetuk ruang sadarnya. Bahwa meskipun selalu berusaha dengan tekun sepenuh hati, ia lebih mengandalkan kekuatan doa di hatinya dibandingkan kekuatan pikirannya. Apalagi ototnya. “Aku dekat...Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Q.S Al-Baqarah:186)
***
Beberapa orang, (mungkin) termasuk diri kita, pernah menjalani siklus hidup yang tidak sesuai dengan apa yang telah terencana. Pernah menemukan jalan hidup yang tidak sesuai dengan apa yang telah terangkai dengan sangat matang. Sore ini janjinya rapat dimulai pukul 4 sore hari. Namun, setelah menanggalkan urusan-urusan penting yang belum sempat terselesaikan menjelang waktu rapat itu, ternyata belum ada orang di tempat rapat. Atau, menjelang ujian di kampus, kita belajar setengah mati. Dan setelah hasilnya keluar, ternyata nilainya tidak sebanding dengan upaya kita sebelumnya. Sementara kita melihat ada teman yang kita anggap tidak mungkin mendapat nilai tinggi, justru nilainya melebihi diri kita...
Kondisi seperti ini merupakan penggal skenario hidup-Nya yang pernah ada. Sederhana namun tersirat banyak makna. Dan akan menjadi faktor pemicu untuk berucap keluh. Tuntutan dan pengandaian pun diumpat panjang lembar. Kenapa seperti ini? Kenapa bisa nilainya lebih baik dari nilaiku, padahal aku masih lebih pintar dari dirinya? Kenapa tidak tepat waktu? Padahal urusanku yang belum selesai terpaksa harus kutinggalkan hanya untuk rapat ini? Seandainya tadi saya selesaikan dulu. Seandainya begini,,, seandainya begitu,,, dst...
Lha..bukannya muncul ketidakterimaan dibalik tuntutan dan pengandaian tersebut? Ketidakterimaan terhadap skenario hidup-Nya yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan? Jika demikian, bukankah sama saja kita menentang ketetapan-Nya? Bukannya sama saja jika kita telah meragukan skenario terbaik-Nya? Kita mungkin terlalu angkuh untuk tidak melibatkan Allah dalam setiap aktivitas kita. Atau, mungkin kita tak lagi enggan untuk mengajak hati dalam melakukan semua itu.Belajar ikhlas, berarti belajar menerima kehidupan.
***
Satu hal yang terkadang kita lupa, bahwa setiap alur hidup yang telah, sedang, dan akan kita lakoni adalah skenario hidup terbaik dari Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Sutradara Kehidupan terbaik, Yang Maha Tahu, melebihi apa yang kita tahu. Mungkin pada saat itu kita tidak sempat tersadarkan, bahwa dibalik cerita hidup yang kita mainkan terdapat hikmah yang kelak akan menjelma. Apa yang kita anggap baik, belum tentu baik di mata-Nya. Dan apa yang kita anggap buruk, belum tentu buruk di mata-Nya. Hanya butuh keyakinan dan kesadaran untuk dapat menemukannya...
Begitulah, seyogyanya kita senantiasa mencoba mementaskan alur hidupnya dengan penuh kepercayaan. Bahwa apa pun yang terjadi, itu adalah ketetapan terbaik dari-Nya. Tentang alur hidup yang kadang melesat dari apa yang telah kita rencanakan. Dan tentang semua kisah hidup lainnya yang tidak dalam jalur nyaman dan zona amannya. Tentu kesemua itu bukan untuk dikeluhkan, bukan untuk disesali, apalagi untuk diumpat. Tapi, mencoba untuk melapangkan hati, mencari jalan terbaik untuk dapat melakoni peta kehidupan yang penuh liku ini. Keikhlasan, kesabaran, dan kesyukuran, adalah 3 modal yang harus digenggam oleh setiap aktor yang akan memainkan sandiwara hidup ini. Demi membentuk sebuah peradaban yang mempesona dan membahagiakan. Bukankah sejak awal pun, Sang Pencipta kita telah mengingatkan dalam Q.S. Ibrahim: 7, bahwa: “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur maka pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar