Oleh:
A.Saputri Mulyana
PROLOG
“Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran: 104)
***
Waktu yang terus terlalui mengantarkan
pada sebuah analogi bahwa kehidupan ini ibarat sebuah mata uang logam. Ia
mempunyai dua sisi yang saling bertolakbelakang: satu sisi menampilkan gambar,
dan sisi lainnya menampilkan nilai angka dari mata uang tersebut. Tentang kapan
sisi gambar itu muncul, kadang kita tidak menduga sebelumnya. Kalaupun suatu
saat kita secara sengaja ingin menampilkan sisi gambar dari mata uang logam
tersebut, kadang yang muncul justru sisi yang lain yang tidak diharap. Entah
karena tiba-tiba terpelintir dan terjatuh, atau tersenggol oleh tangan teman,
dan berbagai alasan lainnya. Jika mata uang logam itu akan menampilkan dua sisi
yang berbeda, maka kehidupan ini akan hadir dengan menampilkan dua sisi yang
berbeda pula. Tentang kebaikan dan keburukan. Dua sisi inilah yang kemudian
akan silih berganti menemani rutinitas hidup manusia. Sama seperti perumpamaan
uang logam tersebut, tidak ada yang bisa memastikan tentang kapan kebaikan dan
keburukan itu hadir. Manusia, memiliki peluang untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Jika hari ini diri menganggap
dalam kondisi iman terjaga, tidak ada yang bisa menjamin esok hari, diri masih
dalam kondisi yang sama.
Sepertinya bukan menjadi cerita
asing, tentang seorang teman yang dulu menjadi salah satu panutan kita dan
orang-orang sekitarnya. Orang yang dianggap telah memahami keislamannya, lengkap
dengan berbagai atribut yang dapat menyempurnakan anggapan itu. Beberapa tahun
kemudian, kita menemuinya dalam kondisi yang nyaris di luar logika. Tidak masuk
akal. Ia hadir dengan perubahan 180⁰. Atribut keislaman yang disempurnakan oleh
kebaikan akhlaknya dulu, hanya cerita lama yang kini tergantikan dengan
perubahan-perubahan yang sangat mencengangkan. Pun tentang cerita sebaliknya,
tentang sosok preman yang dulu telah dianggap sebagai seseorang yang jauh dari
kebaikan. Bahkan sebagian telah memvonis bahwa kehidupan sosok itu jauh dari yang
namanya pahala. Jangankan menjalankan ibadah, menghindari maksiat saja sulit ia
lakukan. Tapi kesimpulan itu seketika terbantahkan ketika beberapa tahun
kemudian bertemu. Ia hadir menggantikan sosok panutan tadi yang telah berubah
drastis. Realita yang dianggap mustahil terjadi (dengan berbagai dalih), nampak
di depan mata kepala sendiri. Yang baik berubah menjadi buruk, dan yang buruk
telah berubah menjadi baik. Takdir berbicara.
Cerita tersebut seolah menitipkan
hikmah yang cukup penting, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat
keburukan atau kebaikan. Kecenderungan itu akan terus hadir sebagai peluang
selama hidup. Dan tidak ada yang bisa
menjamin, kita hari ini akan sama dengan kita hari esok; di luar izin dan
kendali-Nya. Dalih ini kemudian menjadi salah satu alasan tentang pentingnya saling
menasehati dalam kebaikan. Dalam firman-Nya pada Q.S. Al-‘Asr, yang menurut
‘Amr bin al-‘Ash yang dianggap sebagai salah satu surah yang ringkas namun
sangat padat:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, serta saling menasehati
dalam kebenaran dan kesabaran.”
Syeikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’adi telah menjelaskan dalam kitab Tafsir
Karimirrahman, bahwa ada 4 sifat yang dikecualikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari kerugian itu, diantaranya:
1.
Beriman kepada segala yang menjadi perintah
Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini
sebagai konsekuensi dari keimanan seorang hamba kepada Sang Khalik. Dan iman
tidak mungkin tanpa ilmu. Maka ilmulah yang kemudian akan menyempurnakan
keimanan itu
2.
Beramal shalih, dengan semua bentuk amal kebaikan.
Baik yang wajib maupun sunnah.
3.
Saling menasehati dalam kebenaran, yaitu saling
mendorong dan menyemangati untuk beriman dan beramal shalih.
4.
Saling menasehati dalam kesabaran, yaitu saling
mendorong untuk bersabar dalam menegakkan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya.
Syeikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’adi kemudian menyimpulkan, bahwa poin pertama dan kedua adalah sebagai
upaya untuk menyempurnakan diri sendiri. Sedangkan dua poin selanjutnya adalah sebagai
upaya untuk menyempurnakan orang lain. Demikianlah idealnya seorang muslim. Menegakkan
kebaikan tidak hanya oleh dirinya, tapi juga dapat ditegakkan oleh orang lain. Mengapa
? Karena islam adalah rahmatan lil
‘alamiin; rahmat bagi segenap alam. Dan islam adalah agama risalah. Yang
didalamnya terdapat berita gembira dan peringatan kepada seluruh umat manusia. Inilah
yang menjadi salah satu alasan diutusnya seorang Rasul sebagai qudwah: Muhammad sallallahu’alaihi wasallam, sebagaimana yang termaktub dalam
firman-Nya pada Q.S.Saba’: 28:
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan (menjadi Rasul)
untuk membawa berita gembira dan peringatan kepada seluruh umat manusia. Akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Pernyataan itu kemudian dipertegas
oleh Moh. Natsir, pendiri Masyumi, seorang da’i, cendekiawan muslim, juga
politikus. Dalam bukunya, Fiqhud Dakwah,
beliau menyebutkan bahwa petunjuk/pedoman/huda
adalah intisari dari risalah yang dibawa oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam. Agar seluruh
umat manusia dapat merasakan kenikmatan
ber-islam, sebagai agama yang diterima di sisi-Nya. Pun agar umat islam dapat
menyempurnakan keislaman dan ketaqwaannya. Serta dapat menjaga nilai dan
martabatnya sebagai manusia untuk senantiasa berada dalam tingkatan mulia,
tidak terperosok jauh ke lembah keburukan. Inilah letak substansi dari beramar ma’ruf nahi munkar; saling
menasehati untuk melakukan kebaikan dan mencegah terhadap kemunkaran. Disinilah
titik fundamental bahwa dakwah itu harus ada. Ia bukan hanya sebuah tuntutan
sebagai seorang muslim untuk dapat meneruskan risalah Rasul hingga berakhir
kehidupan; demi menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Tapi ia juga adalah sebuah
kebutuhan. Kebutuhan agar dapat senantiasa saling memperbaharui keimanan dan
ketaqwaan kita sesama muslim. Jika hari ini kita menganggap diri berada dalam
zona aman yang penuh dengan nikmat keimanan, maka hak kita untuk memberikan
nasehat terbaik buat saudara kita yang lain; menyebarkan kenikmatan itu. Sebab
kita tidak bisa menjamin, kapan zona ini akan hilang. Berharap, jika kelak zona
ini perlahan akan menjauh, ada saudara kita yang perlahan mendekatkan diri kita
kembali ke zona aman ini. Tentang bagaimana agar nasehat itu bisa tersampaikan
dengan baik, tentu ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan sebagai bagian
dari metode dakwah. Satu diantaranya adalah melalui pena (tulisan).
Sejarah membuktikan, bahwa pena
memiliki peran yang sangat besar dalam mengislamkan kehidupan hingga hari ini. Risalah
para Nabi dapat sampai pada masa kita hari ini, salah satunya melalui tulisan.
Kita dapat memahami dan mempelajari sejarah hidup para Rasul, sahabat,
keluarga, dan para tabi’ tabi’in, untuk selanjutnya kita temukan hikmahnya,
salah satunya melalui tulisan. Kita dapat mengenal sosok tokoh-tokoh muslim
terdahulu dan memaknai perjuangan hidupnya, salah satunya juga dengan tulisan. Kita
dapat menelaah pemikiran terbaik para tokoh-tokoh muslim, pun karena tulisan. Dan
Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam,
sebagai tokoh yang paling berpengaruh di muka bumi ini, juga tidak meninggalkan
peran dunia tulis menulis dalam dakwahnya. Meskipun ditakdirkan sebagai seorang
yang buta huruf, itu bukan menjadi hambatan dan penghalang. Setiap wahyu yang
diturunkan kepadanya, beliau meminta kepada para sahabatnya untuk menuliskan. Hingga
akhirnya kita dapat merasakan manisnya iman dan islam saat ini. Satu
diantaranya, Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup umat manusia, telah dibukukan dalam
kompilasi terbaik yang begitu sempurna (dituang dalam bentuk tulisan). Dan kita
bisa memahaminya hingga saat ini, padahal ia diturunkan berabad-abad yang lalu.
Sejarah pun menceritakan, tentang pentingnya tulisan dalam berdakwah. Sasaran
dakwah yang sangat jauh, pun dapat terjangkau. Rasulullah pernah mengirimkan surat
kepada para Raja, untuk kemudian diajak beriman kepada Allah subhanahu wata’ala. Diantaranya yang
berhasil masuk islam adalah raja Najasi di Habasyah (Ethiopia-Afrika). Kegiatan
tulis menulis inilah yang kemudian hari dikembangkan oleh para sahabat beliau
dan para Tabi’in. Menyebarkan dakwah islam ke seluruh pelosok dunia. Bahkan
hampir semua ulama meninggalkan karya yang dapat dibaca dan diwariskan oleh
generasi berikutnya. Hingga akhirnya sampai di tangan kita untuk kita telaah dengan
baik. Dan begitulah seterusnya. Maka, hari ini adalah peluang besar bagi kita
untuk meneruskan jalan dakwah itu; menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari
yang munkar. Hingga kelak dapat tercatat dalam mahkamah sejarah, bahwa kita
dapat tergolong ke dalam orang-orang yang meneruskan perjuangan beliau,
Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi
wasallam: melalui medan dakwah
ini.
Pada hakekatnya, dakwah adalah
menginspirasi orang lain untuk melakukan kebaikan, tanpa terbatas ruang dan
waktu. Dan tulisan adalah salah satu cara untuk bisa berbagi inspirasi, tidak
hanya untuk orang-orang yang hadir di sekitar kita hari ini. Tapi lebih dari
itu. Tulisan, bisa menebar inspirasi kepada orang-orang berpuluh-puluh tahun
kemudian, di tempat yang berbeda, bahkan meski raga kita telah hilang tertelan
waktu. Karena dakwah adalah cara untuk menghidupkan kehidupan. Sehingga pena
dalam dakwah adalah bagian untuk semakin menghidupkan kehidupan. Menjadikan
hidup lebih bermakna. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang
lain.
MEMAKNAI
DAKWAH
a.
Defenisi Dakwah
Secara
etimology (bahasa), dakwah berasal
dari bahasa Arab, yaitu da’a – yad’u – da’watan, yang berarti panggilan, ajakan, atau seruan dan undangan,
atau do’a.
Sedangkan
dakwah secara termonilogy (istilah),
Moh.Natsir merumuskan bahwa dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan
menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat manusia konsepsi islam
tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar dengan berbagai
macam cara dan media yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya
dalam perikehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ibn
Taimiyah menyimpulkan bahwa dakwah adalah suatu proses usaha untuk mengajak
agar orang beriman kepada Allah, percaya dan menaati apa yang telah diberitakan
oleh Rasul, serta mengajak agar dalam menyembah kepada Allah seakan-akan
melihat-Nya.
Penulis
kemudian menyimpulkan bahwa secara sederhana, dakwah adalah upaya untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan memaksimalkan
segala kemampuan sebagai wujud penghambaan kita kepada Sang Khalik, yang
selanjutnya termanifestasikan dalam bentuk amalan terbaik.
b.
Keutamaan dakwah
Pada sebuah
brosur serial Media Dakwah, Moh. Natsir memberikan ulasan tentang tujuan dakwah,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Memanggil kita kepada syariat, untuk memecahkan
persoalan hidup. Baik persoalan hidup perseorangan atau persoalan berumah
tangga, berjama’ah-bermasyarakat, berbangsa-bersuku bangsa, bernegara, dan antarnegara
2)
Memanggil kita kepada fungsi hidup kita sebagai
hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini, yang berisi berbagai macam manusia,
bermacam pola pendirian dan kepercayaannya. Fungsi ini disebut juga sebagai syuhada ‘alannaas, menjadi pelopor dan
pengawas bagi umat manusia
3)
Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang
hakiki, yakni menyembah Allah.
Dari beberapa
referensi, penulis kemudian menyimpulkan tentang keutamaan dakwah, diantaranya
adalah:
1)
Dakwah menjadi utama, karena ia adalah muhimmatur rusul (tugas para Nabi dan
Rasul)
Tugas utama diutusnya Nabi dan Rasul
adalah melakukan dakwah, menyebar kebaikan di muka bumi ini; kepada siapa pun. Hari
ini, pintu kenabian dan kerasulan memang telah tertutup selama-lamanya. Namun, kita masih dapat mewarisi pekerjaan
dan tugas mulia mereka.
“Katakanlah
(Hai Muhammad): “Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah
(mengajak kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
Firman Allah dalam Q.S. yusuf:108 ini
menegaskan tentang jalan dakwah yang dirintis oleh Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alihi wasallam dan para
pengikut beliau. Maka kepada siapapun diantara kita yang mengaku sebagai
pengikut beliau, meneruskan estafet perjuangan dakwah adalah sebuah pilihan
yang bukan untuk ditawar lagi.
2)
Dakwah menjadi utama, karena ia adalah ahsanul ‘amal (sebaik-baik amal)
Dalam firman Allah pada Q.S. Fushilat:33
dikatakan: “Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan
amal yang shaleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
menyerah diri?”
Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan
pekerjaan yang baik, sementara dakwah adalah pekerjaan makhluk terbaik; para
Nabi dan Rasul. Dakwah merupakan cara untuk memelihara amal islami dalam
pribadi seorang muslim dan juga kepada masyarakat sekitarnya. Sayyid Quthb rahimahullah menegaskan dalam Fi Zhilal Qur’an: “sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang pernah
diucapkan di bumi ini. Ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya.
Akan tetapi, ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya. Dan
disertai dengan penyerahan diri kepada Allah, sehingga tidak ada penonjolan
diri di dalamnya. Dengan demikian, jadilah dakwah ini untuk Allah. Tidak ada
kepentingan bagi Da’i kecuali menyampaikan. Setelah itu, tidak pantas kalimat
seorang Da’i kita sikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran.
Karena seorang Da’i datang dan maju membawa kebaikan. Sehingga ia berada dalam
kedudukan yang amat tinggi…”
3)
Dakwah menjadi utama, karena dengan berdakwah
seorang muslim meraih pahala yang teramat besar (al-hushul ‘ala al-azhim)
Dalam sabda Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala memberi
banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai
semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang
mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah
Al-Bahili).
Dalam hadist yang lain, Rasulullah
Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam semakin
mempertegas tentang keutamaan dakwah ini: “Siapa
yang mencontohkan perbuatan baik dalam islam, lalu perbuatan itu setelahnya
dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang
yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikitpun pahal mereka yang mencontohnya.
Dan barangsiapa mencontohan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan orang
lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa
mengurangi mereka yang menirunya.” (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah)
4)
Dakwah menjadi utama karena dapat menyelamatkan
dari azab Allah dan pertanggungjawaban di akherat.
Dalam Q.S.Al-A’raf: 163-165 disampaikan
tentang sebuah dialog antara orang-orang yang diam-diam saja dengan mereka yang
berdakwah mengingatkan saudara-saudaranya yang melanggar larangan Allah:
“Dan
tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika
mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka
ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan
di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.
Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah)
ketika suatu umat diantara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang
Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat
keras?” Mereka menjawab: ”Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab)
kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa
yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang
dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan
yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Tentang keutamaan dakwah sebagai control social untuk memperbaharui
kebaikan sehingga menghindari datangnya azab, juga termaktub dalam sebuah
perumpamaan sebagaimana dalam sabda Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
“Perumpamaan
orang yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang melanggarnya,
seperti kaum yang menempati posisinya di atas sebuah bahtera. Ada sebagian yang
mendapatkan tempat di atas, dan sebagian mendapat tempat di bawah. Mereka yang
berada di bawah, jika akan mengambil air harus melewati orang yang berada di
atas, lalu mereka berkata: “Jika kita melubangi bagian bawah milik kita dan
tidak mengganggu mereka..” Kalau mereka membiarkan keinginan orang yang akan
melubangi, mereka semua akan celaka. Dan jika mereka menahan tangan mereka,
maka selamatlah semuanya.” (HR. Bukhari)
5)
Dakwah menjadi utama, karena ia adalah jalan
menuju khairu ummah (terbentuknya
umat yang baik)
Keberhasilan Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengubah
masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman melalui dakwah
terbaik beliau adalah sejarah terbaik yang selayaknya mengetuk alam bawah sadar
kita tentang keutamaan dari sebuah dakwah: menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran. Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan
dalam firman-Nya pada Q.S.Ali Imran:110:
“Kamu
(umat islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah…”
DAKWAH BIL
QALAM
a.
Memaknai Dakwah bil Qalam
Dakwah bil qalam adalah beramar ma’ruf nahi munkar melalui media
tulis, baik dalam bentuk buku maupun opini yang ditulis dalam media cetak.
Dalam pengertian lain, dakwah bil qalam
adalah berdakwah/ menebar kebaikan melalui tulisan, melalui kalimat-kalimat persuasif.
b.
Urgensi Dakwah Bil Qalam
Johanes Pederson, seorang orientalis,
dalam bukunya, The Arabic Book (1984), mengatakan bahwa buku di
dunia Arab berakar dari islam, yang akhirnya menjadi karakter kuat dalam islam.
Secara gamblang mengatakan: “jarang ada
kebudayaan lain dimana dunia tulis menulis memainkan peranan yang begitu
penting seperti peradaban islam.” Lahirnya
tokoh ilmuwan muslim yang menekuni dunia tulis menulis ini, menjadi salah satu
alasan tersebarnya ajaran islam tidak hanya di belahan Jazirah Arab saja. Tapi
telah menyebar ke seluruh pelosok bumi. Hari ini, kita dapat menikmati karya
fenomenal para ulama terdahulu. Tentang sejarah emas yang telah dicatat oleh
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Syaikh Islam Ibn Taimiyah,
Imam at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan tokoh-tokoh muslim lainnya. Ilmu dan
pemikirannya terdokumentasikan melalui penanya, hingga dapat dinikmati oleh
generasi hari ini, zaman kita. Sehingga, secara rinci penulis menyimpulkan
tentang keutamaan dakwah bil qalam:
1)
Menulis adalah pengikat ilmu: memaksimalkan
jalan dakwah
Dalam sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
mewasiatkan; ”ikatlah ilmu dengan tulisan.”
(HR. Thobrani dan Hakim).
Menyelami dunia dakwah berarti menyelami
setiap lorong ilmu. Sebab menebarkan nasehat adalah menebarkan ilmu kepada
orang lain. Wasiat Rasul di atas, menegaskan bahwa menulis bukan lagi menjadi
sebuah pilihan, tapi sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan. Ilmu adalah
sesuatu yang sangat berharga, sehingga menjaganya adalah sebuah kebutuhan.
Salah satunya dengan menuliskannya. Hal ini tidak luput dalam pemeliharaan
wahyu (Al-Qur’an). Kekuatan hafalan para sahabat tidak kemudian menafikan
tentang pentingnya menuliskan wahyu yang diterima oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Beliau
memerintahkan sahabat dekatnya untuk menuliskannya. Diantaranya adalah Zaid ibn
Tsabit dan Ali bin Abi Thalib. Pentingnya
mengikat ilmu melalui tulisan kemudian mendorong para ulama untuk
mengikuti jejak Rasul. Hingga menulis telah menjadi tradisi para ulama. Mereka
telah menyejarah hingga hari ini karena tinta emas yang ditulisnya. Sebut
saja: Imam Ghazali dengan Ihyaa’ ‘Uluum Ad-Diin dan Al-Mustasfha, Imam Nawawi dengan Syarh Shahih Muslim dan Al-Majmu’, Ibnu Sina dengan Qonun Fii Thib, Imam Malik dengan Muwatta’, Imam Syafi’i dengan Al-Umm dan Ar-Risalah, Imam Ahmad bin Hanbal
dengan Musnad, Imam Al Bukhari dan
Muslim dengan kitab Shahih, Ibn
Katsir dengan Tafsir Al-Qur’anul Karimi-nya
yang termasyhur, hingga Muhammad Natsir dengan Capita Selekta dan Fiqh
Dakwah-nya. Bagi para ulama, tinta dan pena adalah dua hal yang sangat penting,
sepenting pedang dan tameng bagi para kesatria. Sebab pena adalah cara salah
satu untuk memaksimalkan jalan dakwahnya.
2)
Menulis adalah mewariskan ilmu: menyempurnakan
jalan dakwah
Urgensi ilmu kemudian menjadi alasan
tentang perlunya menyebarluaskannya. Salah satunya melalui tulisan. Sebab
mendokumentasikan ilmu adalah salah satu cara untuk menyebarkan dan mewariskan
ilmu hingga ke generasi selanjutnya. Sehingga, jalan dakwah akan terus
terbentang jauh, kebaikan akan terus mengalir hadir di setiap generasi, melalui
ilmu yang terdokumentasikan lewat tulisan.
3)
Menulis adalah media untuk menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran
Dakwah melalui tulisan memiliki peranan
yang cukup vital sebagai bentuk upaya untuk menyeru kepada kebaikan. Tulisan
yang dikemas penuh hikmah, dapat memberikan inspirasi bagi orang lain untuk melakukan
kebaikan, sebagaimana yang terlampiaskan dalam tulisan itu. Atau sebaliknya,
memberikan ajakan terbaik kepada umat manusia untuk mencegah kemunkaran.
Kegelisahan tentang kemunkaran dapat terlampiaskan melalui tulisan, yang bisa
jadi tulisan itu dapat menegur titik kesadaran para pelakunya. Tulisan itu pula
dapat menjadi salah satu cara untuk menentang kezaliman dan menolak kemunkaran.
Dalam firman-Nya pada Q.S.An-Nahl: 125 :
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
EPILOG
Tentang pena, ia telah menjadi
salah satu symbol sebuah peradaban. Peristiwa bertahun-tahun silam yang
menyejarah, kita maknai hari ini karenanya. Hingga akhirnya dapat menyisakan
pelajaran berharga: kesalahan kemarin hari ini tidak boleh terulang. Pun
tentang sebuah kebaikan yang telah tercatat sebagai tinta emas pada masa itu,
dapat kita pahami hari ini sebagai sesuatu yang harus diulang dan diperbaharui.
Ber-amar ma’ruf nahi munkar, dimanifestasikan
sebagai proses berbagi inspirasi kepada seluruh umat manusia, sebagai bagian
dari proses dakwah. Maka pena dakwah, adalah cara untuk menebar inspirasi
kehidupan; tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Kepada siapa pun, dan kapan
pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar